Minggu, April 21, 2013

Kepemimpinan: suatu tinjauan sistem pemerintahan Islam

Oleh: Muh Didi Haryono (Direktur Islamic Civilizzation Studies_ICS)


Ada yang beranggapan bahwa kepemimpinan dalam islam tidak ada bedanya dengan sistem kepemimpinan yang ada di berbagai negara saat ini. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi ada juga yang beranggapan bahwa kepemimpina dalam islam dan demokrasi sama atau dengan kata lain tidak ada perbedaan antara kepemimpinan dalam islam dengan demokrasi. Anggapan tersebut tentunya sangat keliru disebabkan karena ketidak mampuan mereka untuk membedakan kedua  istilah tersebut. Kepemimpinan dalam islam merupakan kepemimpinan atau sistem operasional yang khas, berbeda dengan kepemimpinan yang bercorak apapun di dunila ini. Sebelum penulis menjelaskan lebih jauh, tentunya penulis akan menjelaskan tentang definisi atau pengertiannya.
Secara harfiah, pimpin berarti bimbing. Memimpin berarti membimbing atau menuntun. Pemimpin merupakan orang yang memimpin ataupun seorang yang menggunakan wewenang serta mengarahkan bawahannya guna mengerjakan pekerjaan mereka untuk mencapai tujuan bersama dan seorang yang akan melindungi bawahan atau rakyatnya. Dengan kata lain bahwa pemimpin ibarat perisai yang menjadi pelindung bagi rakyatnya. Sebagaimana sabda Nabi Saw: Sesungguhnya Imam (pemimpin) itu laksana perisai, tempatorang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. (HR Muslim)
Jika ada ancaman atau teror yang dialami oleh rakyatnya maka sikap pemimpin segera menenangkan rakyatnya atau menyelesaikan permasalahan tersebut secepat-cepatnya. Sedangkan, kepemimpinan adalah cara atau sikap yang dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mempengaruhi perilaku bawahannya agar mau untuk bekerja sama guna mencapai sebuah tujuan dan cita-cita bersama.
Ada beberapa hal yang perlu kemudian kita perhatikan untuk mengkaji kepemimpinan dalam islam. Sistem sistem kepemimpinan dalam islam berbeda dengan seluruh bentuk sistem kepemimpinan (pemerintahan) yang dikenal di seluruh dunia saat ini, baik dari segi asasnya, dari segi pemikiran, pemahaman, maqâyîs (standar), dan hukum-hukumnya dalam mengatur berbagai urusan ummat atau rakyat. Sehingga, sestem kepemimpinan dalam islam yaitu:
1.    Bukan Sistem Kerajaan
Islam tidak mengakui sistem kerajaan. Kepemimpinan dalam Islam juga tidak menyerupai sistem kerajaan. Hal itu karena dalam sistem kerajaan, seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena  atauran pewarisan.  Umat  tidak  memiliki  andil  dalam pengangkatan raja. Adapun  dalam sistem islam tidak ada pewarisan. Akan tetapi, baiat dari umatlah yang menjadi metode untuk mengangkatan seorang pemimpin (khalifah). Sistem kerajaan juga memberikan keistimewaan dan hak-hak khusus kepada raja yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari individu rakyat.
 Hal itu menjadikan raja berada di atas undang-undang dan menjadikannya simbol bagi rakyat, yakni ia menjabat sebagai raja tetapi tidak memerintah dan yang menjalankan pemerintahannya adalah perdana menteri, seperti  yang  ada  dalam  beberapa  sistem  kerajaan.  Atau  ia menduduki jabatan raja sekaligus memerintah untuk mengatur negeri dan penduduknya sesuai dengan keinginan dan kehendak hawa nafsunya, sebagaimana yang ada dalam beberapa sistem kerajaan yang lain.
2.    Bukan  sistem imperium  (kekaisaran)
Sesungguhnya sistem imperium itu sangat jauh dari Islam.  Berbagai  wilayah yang diperintah oleh Islam meskipun penduduknya berbeda-beda suku dan warna kulitnya, yang semuanya kembali ke satu pusat tidak diperintah dengan sistem imperium, tetapi dengan sistem yang bertolak belakang dengan sistem imperium. Sebab, sistem imperium tidak menyamakan pemerintahan di antara suku-suku di  wilayah-wilayah  dalam  imperium.  Akan  tetapi,  sistem imperium memberikan keistimewaan kepada pemerintahan pusat imperium;  baik  dalam  hal  pemerintahan,  harta,  maupun perekonomian.
3.    Bukan sistem federasi
Dalam sistem federasi, wilayah-wilayah negara terpisah satu sama lain  dengan  memiliki  kemerdekaan  sendiri,  dan  mereka dipersatukan dalam masalah pemerintahan (hukum) yang bersifat umum. Sistem pemerintahan Islam adalah  sistem  kesatuan. Seandainya  suatu  propinsi pemasukannya tidak mencukupi kebutuhannya, maka propinsi itu  dibiayai  sesuai  dengan  kebutuhannya,  bukan  menurut pemasukannya. Seandainya pemasukan suatu propinsi tidak mencukupi kebutuhannya maka hal itu tidak diperhatikan, tetapi akan dikeluarkan biaya dari APBN sesuai dengan kebutuhan propinsi  itu,  baik  pemasukannya  mencukupi kebutuhannya ataupun tidak.
4.    Bukan sistem republik
Sistem  republik  pertama  kali tumbuh  sebagai reaksi praktis terhadap penindasan sistem kerajaan (monarki).  Kemudian datanglah sistem republik yang kedaulatan dan kekuasaan dipindahkan kepada rakyat dalam apa yang disebut dengan demokrasi. Penulis ungkapkan bahwa kepemimpinan islam dan kepemimpinan demokrasi sangat berbeda. Jika ada anggapan bahwa ada persamaannya, maka kita tidak boleh latah dan cepat menyimpulakan bahwa hal tersebut sama.
Sebagai contoh bukankah monyet punya tangan, telingan, kaki, kepala, bisa berjalan, bisa duduk, bisa berlari? Dan manusiapun juga seperti itu. monyet bisa bicara manusia pun juga bisa bicara. Apakah bisa langsung disimpulakan bahwa manusia sama dengan monyet? tentu tidak bisa. Nah, Pada diagram dibawah ini akan terlihat bahwa islam dengan demokrasi ternyata berbeda.
Pokok Persoalan
Islam
Demokrasi
1.  Sumber
Allah swt
Akal manusia
2.   Pedoman
Alquran dan hadist
Undang-undang
3.   Pembuat hukum
Allah swt
Wakil rakyat dan koncon-konconya
4.   Tolak ukur
Kebenaran yang pasti (qot’i)
Berubah-ubah
5.   Penghapusan hukum
Hukum yang jelas hallal haramnya tidak di hapus
Tergantung dari suara mayoritas, belum tentu benar karena yang hallal bisa jadi harram dan yang harram bisa jadi hallal
6.   Perubahan hukum
Tergantung ilatnya(daruroh)
Tergantung kepentingan
7.   Pengambilan hukum
Dalil syar’i yang kuat berdasarkan ijtihat para fuqaha
Mayoritas dan belum tentu para fuqoha
8.   Penyelesaian masalah
Musyawarah (syura)
Votting/pemungutan suara
9.   Kebenaran
Syari’ah
Mayoritas
10. Kewajiban negara
Melaksanakan syari’ah islam untuk kemaslahantan manusia
Menjaga kepentingan masing-masing penguasa dan rakyat banyak yang kelaparan
11.  Sosial politik antara laki-laki dan wanita
Sama di semua urusan kecuali kepala negara
Sama total
           
Kepemimpinan dalam islam juga  tidak  dengan sistem legslatif yang membolohkan membuat aturan baru yang bertentangan dengan aturan ilahi, padahal Adapun  dalam  Islam,  kewenangan  untuk  melakukan legislasi (menetapkan hukum) tidak di tangan rakyat, tetapi ada pada  Allah.  Tidak  seorang  pun  selain  Allah  dibenarkan menentukan  halal  dan  haram.  Dalam  Islam,  menjadikan kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan manusia merupakan kejahatan besar. Karena Allah berfirman: “Menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. (QS Yusuf [10]: 40)”
Jadi, sistem kepemimpinan yang dikenal dalam islam adalah sistem khilafah. Di dalam sistem tersebut, Khalifah  diangkat  melalui  baiat  berdasarkan Kitabullah dan  Sunnah  Rasul-Nya untuk  memerintah sesuai dengan  wahyu  yang  Allah  turunkan.  Dalil-dalil  yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat. Allah berfirman:
Karena itu, putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS al-Maidah [5]: 48)
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu. (TQS al-Maidah [5]: 49)
Perintah dalam seruan ini bersifat tegas karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah-tengah kaum Muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Keberadaan Khalifah tersebut akan menerapkan aturan islam secara sempurna bukan secara parsial (sebagian-sebagian). Karena perintah kewajiban merupakan tuntutan yang mesti dilakukan dan dilaksanakan. Jika tuntutan itu diabaikan maka dosa besar yang mengalir terus menerus.
Adapun dalil dari as-Sunnah, di antaranya adalah apa yang pernah diriwayatkan dari Nafi’. Ia berkata: Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah saw pernah bersabda: Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian Jahiliah. (HR Muslim)
Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Abi Hazim yang berkata: Aku mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun. Aku pernah mendengar ia menyampaikan hadis dari Nabi saw. yang bersabda: “Dulu Bani Israel diurus dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para Khalifah, yang berjumlah banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw. bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis  ini juga terdapat pemberitahuan, bahwa orang yang mengurus kaum Muslim adalah para khalifah, yang berarti, hadis ini merupakan tuntutan untuk mengangkat khalifah. Apalagi Rasul saw. telah memerintahkan kaum Muslim untuk menaati para khalifah dan memerangi siapa saja yang hendak merebut jabatan dalam kekhalifahannya.
Adapun dalil berupa Ijmak Sahabat maka para Sahabat semoga Allah meridhai mereka telah bersepakat atas keharusan mengangkat seorang khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw. setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu  Bakar  sebagai  khalifah,  lalu  Umar  bin  al-Khaththab, sepeninggal  Abu  Bakar,  dan  kemudian  Utsman  bin  Affan dan Ali bin Abi Tholib.
Sesungguhnya tampak jelas penegasan Ijmak Sahabat terhadap kewajiban  pengangkatan  khalifah  dari  sikap  mereka  yang menunda penguburan jenazah Rasulullah saw. saat Beliau wafat. Mereka  lebih  menyibukkan  diri  untuk mengangkat  khalifah (pengganti)  Beliau,  padahal  menguburkan  jenazah  setelah kematiannya adalah wajib. Para Sahabat, yang berkewajiban mengurus  jenazah  Rasul  saw.  dan  menguburnya,  ternyata sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah dan menunda pemakaman jenazah Beliau; sebagian yang lain membiarkan penundaan itu; mereka sama-sama ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw. sampai dua  malam. 
Padahal  mereka  mampu  mengingkarinya  dan mampu menguburkan jenazah Rasulullah saw. Rasul saw. wafat bpada waktu dhuha hari Senin dan belum dikuburkan selama malam Selasa  hingga  Selasa  siang  saat Abu Bakar  dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikuburkan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi, penguburan jenazah Rasul saw. itu ditunda selama dua  malam,  dan  Abu  Bakar  dibaiat  terlebih  dulu  sebelum penguburan  jenazah  Rasul  saw.  Dengan  demikian,  realitas tersebut merupakan Ijmak Sahabat yang menunjukkan keharusan untuk  lebih  menyibukkan  diri  dalam  mengangkat  khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat khalifah lebih wajib (diprioritaskan) daripada memakamkan jenazah. Coba diresapi, ini jenazah rasul saw bagaimana dengan jenazah yang lain?
Jadi penulis berkesimpulan bahwa sistem kepemimpinan dalam islam merupakan sistem kekhilafahan. Dengan pemimpinnya adalah seorang Khalifah atau amirul mukminin yang diangkat  melalui  baiat  untuk menjalankan Kitabullah dan  Sunnah Rasul-Nya. Dengan sturuktur pemerintahan islam dalam bidang pemerintahan dan administrasinya adalah terdiri dari:
1.    Khalifah.                                                                        8. Industri.
2.    Para Mu’âwin at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh).           9. Peradilan.
3.    Wuzarâ’ at-Tanfîdz.                                                     10. Kemaslahatan Umum
4.    Para Wali.                                                                     11. Baitul Mal
5.    Amîr al-Jihâd.                                                               12. Lembaga Informasi.
6.    Keamanan Dalam Negeri,                                           13. Majelis Umat
7. Urusan Luar Negeri

0 komentar: