Oleh: Harits Abu Ulya (Pemerhati
Kontra-Terorisme dan Ketua Lajnah Siyasiyah DPP-HTI)
Dalam sepekan lebih, isu NII (Negara
Islam Indonesia) menjadi buah bibir di media elektronik maupun cetak.
Banyak kalangan mendiskusikan dan memberikan penilaian, sikap dan
tawaran solusi. Pro-kontra; Pemerintah terkesan tidak tegas bahkan
ambivalen, kemudian justru menggiring opini kearah perlunya pemerintah
memiliki seperangkat regulasi RUU Intelijen.
Banyak pihak yang menuding pemerintah seolah menutup mata, melakukan pembiaran dan menganggap enteng gerakan NII. Sikap ini beralasan, karena melihat pemerintah seperti yang di ungkapkan Menko Polhukam RI DJoko Suyanto; NII belum bisa dianggap makar karena baru bersifat mengajak orang untuk mengikuti jalan mereka. “Kalau hanya menghimbau dan meminta untuk mengikuti NII, kan tidak bisa dikatakan menggangu kedaulatan negara,” ujar Djoko di sebuah media. Karenanya, beliau meminta agar media tidak membesar-besarkan masalah NII.
Di kesempatan yang berbeda Djoko kembali menegaskan pernyataannya bahwa NII belum menjadi ancaman Nasional. Dalihnya karena NII belum merupakan gerakan yang bersifat massif, (Media Indonesia, 2/5/2011).
Sementara mayoritas Umat Islam Indonesia mempersoalkan
eksistensi NII, alasan mendasarnya adalah adanya
penyimpangan-penyimpangan menyangkut akidah, pokok-pokok syariat dan
terjadinya tindakan kriminal yang dilakukan secara terorganisir.
NII KW IX bukan DI/TII Kartosoewiryo
Isu NII yang muncul sebenarnya lebih fokus mengarah kepada kelompok NII KW IX yang ditengarai pemimpinya adalah Abu Toto alias Abu Mariq alias Abu Marif alias Syamsul Alam dengan julukan atau gelar Syekh Panji Gumilang. Jika dilacak akar embrionalnya tentu tidak bisa lepas dari sejarah eksistensi gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dibawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosoewiryo yang diproklamirkan pada 7 Agustus 1949. Sebuah sikap anak bangsa di awal kemerdekaan Indonesia, yang merasa tidak terakomodir kepentingan dan visi politiknya dalam format dan sistem yang dibangun untuk kehidupan sosial politik negara Indonesia. Namun NII KW IX tidak otomatis bisa diklaim adalah DI/TII itu sendiri, karena faktanya dalam banyak aspek yang dikembangkan oleh KW IX tidak dan bukan aspek (visi dan misinya) murni seperti yang pernah di perjuangkan oleh DI/TII Kartosoewiryo.
Dalam riset MUI (2002) terungkap; menurut Raden Abdul Fatah Wirangganapati, mantan Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII yang bertugas memilih dan mengangkat panglima komandemen wilayah (KW), sejak Juli 1962 secara organisasi NII sudah bubar. Saat itu hanya ada tujuh KW, jadi belum ada KW IX. Menurutnya, pada tahun 1975 (1974), Adah Jailani (mantan salah satu komandan wilayah) mengangkat dirinya sebagai imam NII (1975), dan sempat dipenjara tahun itu.
Pada tahun 1976 tercium kuat adanya fakta penetrasi intelijen (Ali Murtopo/BAKIN) ke tubuh NII, melalui Adah Jailani. Lalu di bentuk komandemen baru yaitu KW VIII untuk wilayah Lampung dan KW IX yang meliputi Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bekasi, Banten). KW IX dipimpin oleh Seno Aji alias Basyar. Lalu dia digantikan oleh Abu Karim Hasan, orang yang paling berpengaruh dalam pembentukan doktrin Mabadiuts Tsalatsah yang digunakan KW IX hingga kini.
NII KW IX bukan DI/TII Kartosoewiryo
Isu NII yang muncul sebenarnya lebih fokus mengarah kepada kelompok NII KW IX yang ditengarai pemimpinya adalah Abu Toto alias Abu Mariq alias Abu Marif alias Syamsul Alam dengan julukan atau gelar Syekh Panji Gumilang. Jika dilacak akar embrionalnya tentu tidak bisa lepas dari sejarah eksistensi gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dibawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosoewiryo yang diproklamirkan pada 7 Agustus 1949. Sebuah sikap anak bangsa di awal kemerdekaan Indonesia, yang merasa tidak terakomodir kepentingan dan visi politiknya dalam format dan sistem yang dibangun untuk kehidupan sosial politik negara Indonesia. Namun NII KW IX tidak otomatis bisa diklaim adalah DI/TII itu sendiri, karena faktanya dalam banyak aspek yang dikembangkan oleh KW IX tidak dan bukan aspek (visi dan misinya) murni seperti yang pernah di perjuangkan oleh DI/TII Kartosoewiryo.
Dalam riset MUI (2002) terungkap; menurut Raden Abdul Fatah Wirangganapati, mantan Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII yang bertugas memilih dan mengangkat panglima komandemen wilayah (KW), sejak Juli 1962 secara organisasi NII sudah bubar. Saat itu hanya ada tujuh KW, jadi belum ada KW IX. Menurutnya, pada tahun 1975 (1974), Adah Jailani (mantan salah satu komandan wilayah) mengangkat dirinya sebagai imam NII (1975), dan sempat dipenjara tahun itu.
Pada tahun 1976 tercium kuat adanya fakta penetrasi intelijen (Ali Murtopo/BAKIN) ke tubuh NII, melalui Adah Jailani. Lalu di bentuk komandemen baru yaitu KW VIII untuk wilayah Lampung dan KW IX yang meliputi Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bekasi, Banten). KW IX dipimpin oleh Seno Aji alias Basyar. Lalu dia digantikan oleh Abu Karim Hasan, orang yang paling berpengaruh dalam pembentukan doktrin Mabadiuts Tsalatsah yang digunakan KW IX hingga kini.
Abu Karim Hasan meninggal tahun 1992,
lalu Adah Jaelani mengangkat Abu Toto menggantikan Abu Karim. Sejak
tahun 1993, KW IX membangun struktur dibawahnya hingga meliputi seluruh
wilayah Indonesia. Juga membangun sistem keuangan dan doktrin dasar yang
sebelumnya tidak pernah diajarkan dalam gerakan DI/TII Kartosoewiryo.
NII KW IX itu eksis hingga kini. Dari penelitian MUI tahun 2002
ditemukan indikasi kuat adanya relasi antara Ma’had az-Zaytun (MAZ) dan
organisasi NII KW IX.
Tidak keliru kalau sebagian pihak menyatakan, bahwa orang-orang NII KW IX adalah mereka yang mencari uang dengan menjual nama NII atau berkedok perjuangan agama yang telah didesain “kelompok tertentu” bahkan banyak diisukan telah dipelihara intelijen untuk mendelegitimasi Islam.
Tidak keliru kalau sebagian pihak menyatakan, bahwa orang-orang NII KW IX adalah mereka yang mencari uang dengan menjual nama NII atau berkedok perjuangan agama yang telah didesain “kelompok tertentu” bahkan banyak diisukan telah dipelihara intelijen untuk mendelegitimasi Islam.
Cita-cita NII yang
sekarang, lebih tepat menjadi tameng dari sebuah kriminalitas
terorganisir bahkan disinyalir melibakan instrument kekuasaan (intelijen
negara).
Lihat saja, dalam masalah akidah dan
syariat terungkap banyak doktrin NII yang sekarang (lebih tepat disebut
NII Gadungan) ini sarat akan penyimpangan;
Pertama,
Menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kepentingan organisasi, Kedua,
membagi shalat menjadi dua, shalat ritual dan shalat universal, Ketiga,
merubah zakat jadi harakah Ramadhan dan harakah Qurban. Keempat,
melaksanakan haji ke ibu kota negara (di lembaga mantelnya; ma’had
az Zaytun Indramayu -Jabar). Kelima, mengkafirkan orang diluar
kelompoknya, Keenam, menyamakan posisi negara dengan Allah, dan para
pimpinanya sebagai Rasul. Ketuju, sangat eksklusif dan tertutup. Kedelapan,
menghalalkan segala cara untuk meraih target. Tentu doktrin seperti
ini akan berdampak kepada penafsiran al-Qur’an dan hadis mengikuti hawa
nafsu. Merubah arti dan bentuk ibadah yang sudah pasti (tauqifiyah),
melegalisasi segala bentuk kriminalitas dengan al Qur’an.(dari
www.nii-crisis-center.com).
Dengan membandingkan hal ini, seharusnya cukup menjadi penjelas bagi masyarakat. Bahwa “NII asli” (saat digagas S.M. Kartosoewirjo) adalah murni bernilai luhur islami. Sedang sepeninggal beliau sudah ada unsur intelijen (era Ali Mortopo) masuk. Karenanya, tidak salah, jika banyak orang menyebut NII yang sekarang banyak diramaikan itu tak lain adalah “NII Gadungan” yang tak mencerminkan nilai-nilai Islam. Masalahnya, jika NII yang saat ini meresahkan, mengapa terus dipelihara?
Sikap aneh penguasa
Media sudah banyak mengekspos korban tindak pidana dari kelompok NII KW IX ini. Dari berbagai kalangan, masyarakat kecuali dari keluarga Polri dan TNI. Ada banyak laporan kasus penculikan, penipuan, pencurian bahkan sampai tindakan perampokan adalah produk dari kelompok ini. Juga pengaduan korban, kesaksian mantan anggota NII dan hasil penelitian Balitbang Depag (Februari 2004), MUI (5 oktober 2002) dan temuan Intelkam Mabes Polri seharusnya cukup memberikan pijakan kepada pemerintah untuk merumuskan sikap dan tindakan tegas terhadap kelompok NII KW IX.
Tapi toh faktanya yang kita lihat lain. Yang terkadi, justru pakar teroris, aparat, pengamat justru menyeret isu NII ini ke mana-mana. Sampai-sampai ada yang mengusulkan merobah kurikulum agama, mengawasi kegiatan kegamaan di kampus, menghambat ektrakurikuler di sekolah juga termasuk isu-isu syariat Islam.
Dalam benak umat Islam bergelayut pertanyaan; Pertama; kenapa pemerintah tidak begitu tegas meski jelas banyak fakta dan saksi yang melapor? Kedua, mengapa yang terjadi justru sibuk menyeret kasus ini pada ranah yang berkaitan dengan apapun berbau Islam?
Mari kita lihat. Dalam kasus kriminal perampokan 2010 (Bank CIMB-Medan) tiba-tiba diluncurkan opini bahwa visi perampokan adalah mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah) dalam kasus terbaru, bom buku yang kemudian hari terungkap motif pelakunya lebih dominan adalah bisnis, pihak BNPT juga “bernyanyi” bahwa mereka adalah kelompok “teroris” dengan misi politik hendak mendirikan Daulah Islam global (Khilafah Islamiyah). Sungguh aneh. Fakta korban “NII gadungan” beserak di depan mata. Namun yang terjadi justru mengembangkan isu syariat global, daulah islamiyah dan segala tetek-mbengek nya.
Sebagai bagian masyarakat kita layak bertanya.Apakah penguasa memiliki kepentingan politik dibalik eksistensi NII?
Sebagai bagian masyarakat, kita juga punya kesan. Ada yang menginginkan isu Negara Islam Indonesia (NII) ini dimunculkan agar orang akan takut mendengar namanya. Jadi jangankan ikut gabung, mendengar saja sudah takut. Selanjutnya, isu NII seolah dijadikan alat bahwa gerakan ini sangat berbahaya dan ancaman bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Yang terakhir, isu NII bisa dijadikan “jualan” dan propaganda untuk mengesankan bahwa syariah Islam adalah sebagai ancaman NKRI yang ujungnya menjauhkan umat Islam dari perjuangan penerapan syariah Islam.
Dengan membandingkan hal ini, seharusnya cukup menjadi penjelas bagi masyarakat. Bahwa “NII asli” (saat digagas S.M. Kartosoewirjo) adalah murni bernilai luhur islami. Sedang sepeninggal beliau sudah ada unsur intelijen (era Ali Mortopo) masuk. Karenanya, tidak salah, jika banyak orang menyebut NII yang sekarang banyak diramaikan itu tak lain adalah “NII Gadungan” yang tak mencerminkan nilai-nilai Islam. Masalahnya, jika NII yang saat ini meresahkan, mengapa terus dipelihara?
Sikap aneh penguasa
Media sudah banyak mengekspos korban tindak pidana dari kelompok NII KW IX ini. Dari berbagai kalangan, masyarakat kecuali dari keluarga Polri dan TNI. Ada banyak laporan kasus penculikan, penipuan, pencurian bahkan sampai tindakan perampokan adalah produk dari kelompok ini. Juga pengaduan korban, kesaksian mantan anggota NII dan hasil penelitian Balitbang Depag (Februari 2004), MUI (5 oktober 2002) dan temuan Intelkam Mabes Polri seharusnya cukup memberikan pijakan kepada pemerintah untuk merumuskan sikap dan tindakan tegas terhadap kelompok NII KW IX.
Tapi toh faktanya yang kita lihat lain. Yang terkadi, justru pakar teroris, aparat, pengamat justru menyeret isu NII ini ke mana-mana. Sampai-sampai ada yang mengusulkan merobah kurikulum agama, mengawasi kegiatan kegamaan di kampus, menghambat ektrakurikuler di sekolah juga termasuk isu-isu syariat Islam.
Dalam benak umat Islam bergelayut pertanyaan; Pertama; kenapa pemerintah tidak begitu tegas meski jelas banyak fakta dan saksi yang melapor? Kedua, mengapa yang terjadi justru sibuk menyeret kasus ini pada ranah yang berkaitan dengan apapun berbau Islam?
Mari kita lihat. Dalam kasus kriminal perampokan 2010 (Bank CIMB-Medan) tiba-tiba diluncurkan opini bahwa visi perampokan adalah mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah) dalam kasus terbaru, bom buku yang kemudian hari terungkap motif pelakunya lebih dominan adalah bisnis, pihak BNPT juga “bernyanyi” bahwa mereka adalah kelompok “teroris” dengan misi politik hendak mendirikan Daulah Islam global (Khilafah Islamiyah). Sungguh aneh. Fakta korban “NII gadungan” beserak di depan mata. Namun yang terjadi justru mengembangkan isu syariat global, daulah islamiyah dan segala tetek-mbengek nya.
Sebagai bagian masyarakat kita layak bertanya.Apakah penguasa memiliki kepentingan politik dibalik eksistensi NII?
Sebagai bagian masyarakat, kita juga punya kesan. Ada yang menginginkan isu Negara Islam Indonesia (NII) ini dimunculkan agar orang akan takut mendengar namanya. Jadi jangankan ikut gabung, mendengar saja sudah takut. Selanjutnya, isu NII seolah dijadikan alat bahwa gerakan ini sangat berbahaya dan ancaman bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Yang terakhir, isu NII bisa dijadikan “jualan” dan propaganda untuk mengesankan bahwa syariah Islam adalah sebagai ancaman NKRI yang ujungnya menjauhkan umat Islam dari perjuangan penerapan syariah Islam.
Pertanyaan ini sangat wajar. Sebab
bukan rahasia lagi, bagaimana gerakan Islam di era 70-an sampai 90-an
penuh dengan politisasi pemerintah kita. Banyak buku sejarah mengungkap,
kasus Woyla, Komando Jihad (Komji), Gerakan Usroh dll ada unsur
intelijen di dalamnya.
Benarkah ada kaitan Al Zaitun sebagai
basis NII KW-IX? Benarkan “NII Gadungan” saat ini adalah bagian rekayasa
intelijen? semua harus dijawab dan dibuktikan. Jika dugaan itu tidak
benar, maka, jawabannnya sederhana saja. Masyarakat sedang menunggu
bukti nyata dari pemerintah. Sebab sudah banyak saksi dan ratusan
pengadu mantan aktivis “NII Gadungan” bisa dasar awal penyelidikan. Wallahu
a’lam.
Isu NII dan Sikap Hipokrit Penguasa