Bila falsafah “Maja labo dahu” diartikan dengan malu dan takut, sebagaimana dalam kitab
“BO” menggambarkan bahwa “maja labo dahu”
bermakna malu untuk berbuat hal-hal yang di luar batas norma susila dan takut
untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Maka falsafah “Nggahi Rawi Pahu” dalam tradisi kehidupan dou
mbojo (Bima-Dompu) dipahami sebagai satunya kata dengan perbuatan atau
dengan makna lain kata-kata yang telah diucapkan harus sesuai dengan perbuatan.
Makna “Nggahi Rawi Pahu” bila diartikan secara bahasa, maka
istilah “Nggahi” berarti kata atau ucapan, “Rawi” berarti
perbuatan termasuk sikap dan “pahu” berarti muka atau bentuk. Maka bila
disatukan “Nggahi Rawi Pahu” berarti kata dan perbuatan
tersebut harus memiliki bentuk. Atau dengan makna lain, apa saja yang telah
diungkap dan diucapkan harus direalisasikan dalam bentuk perbuatan dan tindakan
yang bermanfaat bagi orang lain. Tidak hanya bermanfaat bagi manusia, akan
tetapi juga bermanfaat bagi seluruh isi alam termasuk tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Falsafah “Nggahi Rawi Pahu” sebenarnya sangat erat kaitannya
dengan ucapan atau janji yang diungkapkan seseorang orang kepada yang lain.
Bila janji itu tidak ditepati maka akan berdampak pada ketidak percayaan akan
janji-janji yang diungkapkan. Maka dalam tradisi dou mbojo yang
menjunjung tinggi nilai keislaman kuat, bila terjadi yang demikian maka secara
otomatis yang bersangkutan akan merasa bersalah dan malu kepada masyarakat yang
lainnya terlebih lagi malu kepada Tuhan yang maha melihat. Meskipun, falsafah
ini telah menjadi moto bagi masyarakat Dompu sebagaimana tertera dalam logo
kabupaten Dompu dalam membangun peradaban masyarakatnya. Namun, tidak hanya
falsafah dou Dompu saja akan tetapi merupakan falsafah kehidupan dou mbojo
(Bima dan Dompu) pada umumnya dimana pun mereka berada.
Kata dan perbuatan memang harus harus selaras dan
menyatu. Bila hanya sekedar kata saja maka itu hanyalah OMDO (omongan doang) atau
NATO (No action talk only) semata. Karenanya, sangat diperlukan
menyelaraskan antara kata dengan perbuatan atau tindakan dalam membangun
kehidupan masyarakat yang lebih baik. Secara terori “Nggahi Rawi
Pahu” mudah diucap, namun pada kenyataannya tidaklah mudah diimplementasikan dalam kehidupan ini. Sebagai contoh,
ketika menasehati orang lain agar berbuat baik dan berlaku jujur, terkadang kita
juga tidak bisa berbuat demikian bahkan seringkali kita tidak sadar bahwa apa
yang kita ucapkan tidak sesuai dengan perilaku kita.
Menyuruh orang lain untuk menepati janji, tetapi malah dia yang mengingkari
janji. Menyuruh rakyat untuk anti korupsi (jangan korupsi!), tetapi malah dia
yang korupsi. Memang, ternyata tidak mudah untuk menjadikan “Nggahi Rawi
Pahu” sebagai jati diri dan identitas diri
masyarakat. Bila seperti itu terjadi maka bisa dikatakan bahwa Identitas diri
kita hanya seseorang yang hypokrit (munafik). Yaitu orang yang selalu
mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya. Bukankah Tuhan kita
telah berfirman “Wahai
orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan”. (QS.
As-Saf: 2-3). Oleh karena itu, tidak jalan lain yang bisa kita
lakukan agar tidak menjadi orang yang hypokrit secuali berusaha agar kata dan
perbuatan tersebut menyatu sebagaimana makna falsafah “Nggahi Rawi Pahu”.
Dalam tradisi masyarakat kita, tidak pernah diajarkan untuk giat
berdusta dan ingkar janji, akan tetapi mengajarkan kepada masyarakat tentang
bagaimana mewujudkan orang yang berakhlaq tinggi dan berbudi pekerti yang agung
dalam menepati janjinya. Memang harus diakui bahwa mewujudkan janji
dalam bentuk tindakan tidaklah begitu mudah apalagi bila janji tersebut berkaitan
dengan dana dan anggaran, sehingga membutuhkan perencanaan yang lebih matang
dan komprehensif serta melibatkan banyak pihak untuk merealisasikannya. Oleh
sebab itu, jangan sekali-kali suka mengucapkan ucapan janji secara sembarangan
bila tidak bisa direalisasikan. Berjanji bukan tindakan yang salah, tetapi lebih
kepada realisasi janji tersebut. Bila tidak bisa direalisasikan alangkah lebih
baik untuk tidak usah berjanji dan memberikan harapan palsu. Sebab janji adalah
hutang yang segera ditunaikan.
Makna “Nggahi Rawi Pahu” dalam nilai
luhur budaya dou mbojo yang menjunjung tinggi nilai agama (Islam) bukan
hanya berarti menepai janji. Tetapi juga, mengerti akan pentingnya sikap tanggung jawab dalam setiap
dimensi kehidupan. Karena dengan sikap bertanggung jawab tersebut akan
melahirkan sikap disiplin, tertib, tegas dan mudah dipercaya serta menjadi
berbudi pekerti luhur. Termasuk memberikan
saran, kritikan dan masukkan kepada sesama anggota masyarakat termasuk kepada pemerintah
dalam menata dana membangun masyarakat yang lebih berperadaban.
Falsafah “Nggahi Rawi Pahu” tidak hanya dipahami dan diaplikasikan untuk
masyarakat saja, tetapi juga untuk para pejabat, wakil rakyat dan para
pemerintah. Wabil khusus berkaitan dengan janji-janji politik saat meraih
simpati masyarakat. Oleh karenanya, harus menepati janji-janji politik tersebut
sebelum masa jabatan anda berakhir atau masa hidup anda berakhir. Sebab setiap
janji akan dimintai pertanggungan jawab baik di dunia, lebih-lebih di akhirat
nanti. Bila janji tersebut belum ditunaikan maka yang bisa dilakukan adalah berdialog atau berdiskusi dengan masyarakat, apa keinginan mereka?
Apakah jani itu sudah direalisasikan atau tidak? Dekatilah mereka dengan hati
yang terbuka dan mengayomi mereka dengan ikhlas tanpa ada deal-deal politik.
Marilah kita jadikan falsafah ini sebagai salah satu
nilai budaya yang harus tetap dijaga dan dipraktekan dalam kehidupan
sosial-kemasyarakatan. Falsafah ini telah menjiwai dan telah menjadi pegangan
hidup dou Mbojo untuk senantiasa
berkata dan berbuat yang baik-baik agar bermanfaat bagi yang lainnya. Dan falsafah
ini harus melekat dalam kehidupan dou mbojo
dalam membentuk kepribadian
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai akhlak dan moral.
Oleh karena itu, sudah
seharusnya falsafah ini menjadi tuntunan bagi masyarakat serta menjadi patokan bagi
para pemerintah dalam memberikan tauladan (contoh yang baik) kepada
masyarakat, sebab dalam falsafah ini mengandung pesan moral agar janji-janji “manis”
pada rakyat segera ditunaikan karena rakyat butuh pembuktian. Malu lah pada
rakyat dan Tuhan anda bila tugas dan tanggung jawabnya kepada masyarakat
diabaikan begitu saja tanpa ada bukti kesejahteraan yang ditunjukan kepada
masyarakat, setiap amanah yang diberikan rakyat akan dimintai pertanggungan jawab
baik di dunia hingga di Akhirat nanti. []
Tulisan ini pernah dipublikasikan oleh mbojoklopedia.com. Arikelnya klik disini!
Makna “Nggahi Rawi Pahu” dalam Tradisi Dou Mbojo