Oleh: Muh. Didi Haryono
Kontak
pertama antara Bima dan orang-orang Belanda telah dimulai pada awal abad 17,
ketika terjadi perjanjian lisan antara Raja Bima, Salasi, dan orang Belanda
bernama Steven van Hegen pada 1605. Dalam sumber lokal, perjanjian ini disebut
Sumpa Ncake. Isi perjanjian tersebut sampai sekarang belum diketahui. Namun,
pada masa-masa berikutnya, hubungan dagang antara Bima dan VOC tampak terjalin
dan berpusat di Batavia. Dalam catatan harian VOC atau Dah-register disebutkan
bahwa VOC mengirim kapal-kapalnya ke Bima untuk membeli beras dan komoditas
lainnya. Secara politis, hubungan Bima dan VOC mulai berlangsung dengan
ditandatanganinya perjanjian pada 8 Desember 1669 dengan Admiral Speelman.
Perjanjian
itu merupakan kontrak pertama dengan VOC sebagai akibat keikutsertaan Sultan
Bima, Abdul Khair Sirajudin, membantu Kesultanan Gowa memerangi
Belanda. Karena kalah perang, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani
perjanjian dengan Belanda pada 1667, yang dikenal sebagai ”Perjanjian Bongaya”. Isi
perjanjian itu antara lain memisahkan Kesultanan Bima dengan
Kesultanan Gowa agar tidak saling berhubungan dan saling membantu. Pada
perjanjian tahun 1669, Bima memberikan terobosan pada Kompeni untuk berdagang
di Bima dan raja atau sultan tidak boleh meminta atau menarik cukai pelabuhan
terhadap kapal dan barang-barang Kompeni yang keluar masuk pelabuhan.
Setiap
terjadinya pergantian raja atau sultan, Kompeni akan membuat kontrak baru.
Alasannya, selain untuk memperkuat kontrak-kontrak sebelumnya, juga untuk
menjadikan Bima dan kerajaan-kerajaan lain di Pulau Sumbawa di bawah kekuasaan
Kompeni secara perlahan-lahan. Selain itu, pertikaian di antara elit penguasa
di Pulau Sumbawa, baik yang sengaja direkayasa oleh Kompeni atau bukan, pada
dasarnya memberikan kesempatan bagi VOC untuk memperluas pengaruh serta
kekuasaannya di wilayah itu.
Untuk
mewujudkan keinginannya, VOC mengadakan pendekatan melalui pembuatan kontrak
atau perjanjian secara paksa. Sebagai contoh, pada 9 Februari 1765, VOC
mengadakan perjanjian secara kolektif dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, yaitu Bima, Dompu, Tambora,
Sanggar, Pekat, dan Sumbawa. Cornelis Sinkelaar (Gubernur VOC) sepakat dengan
Abdul Kadim (Raja Bima), Datu Jerewe (Raja Sumbawa), Ahmad Alaudin Juhain (Raja
Dompu), Abdul Said (Raja Tambora), Muhamad Ja Hoatang (Raja Sanggar), dan Abdul
Rachman (Raja Pekat) untuk
bersama-sama dengan VOC memelihara ketenteraman, bersahabat baik, dan
mengadakan persekutuan dengan VOC.
Dalam pasal
1 kontrak tersebut dinyatakan bahwa raja-raja di Pulau Sumbawa, baik secara
bersama-sama maupun sendiri-sendiri, berjanji akan terus mematuhi kontrak yang
pernah dibuat sebelumnya. Demikian pula prosedur-prosedur dalam perjanjian yang
telah dibuat sebelumnya dengan VOC, masih berlaku dan akan terus dipatuhi. Pada
1675, VOC diizinkan untuk mendirikan posnya di Bima. Perjanjian itu diperbarui
lagi pada 1701 dan sejak itu secara resmi VOC hadir di Bima. Pada awalnya, ditempatkan seseorang dengan jabatan koopman atau
onderkopman, kemudian seorang residen, dan akhirnya seorang komandan.
Pada 1708,
J. Happon ditunjuk sebagai residen yang pertama. Pada 1771, jabatan residen
digantikan oleh jabatan komandan sampai 1801. Dalam kontrak disebutkan pula
bahwa perjanjian itu dibuat dalam rangka persahabatan dan persekutuan abadi
yang didasarkan pada ketulusan, kepercayaan, dan kejujuran. Sebagai konsekuensi
dari kontrak-kontrak itu, kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa tidak boleh
(dilarang) mengadakan hubungan (politik maupun dagang) dengan daerah-daerah
lain, dengan bangsa Eropa lain, atau dengan seseorang kecuali atas persetujuan
dan izin VOC. Meski demikian, penempatan residen Belanda di Bima pun harus
dengan persetujuan Kerajaan Bima dan sepengetahuan Gubernur dan Dewan Hindia di
Makassar.
Akibat lain
dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah
ini harus diputuskan. Bagi VOC,
orang-orang Makassar merupakan para pengacau dan penyulut kekacauan karena
hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada 1695, orang-orang
Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan,
perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah
Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada
1667. Pada 1701, orang-orang Makassar berhasil diusir dari Manggarai. Namun,
ternyata hubungan antara Bima dengan Makassar tidak dapat diputus dengan
cara-cara kekerasan seperti itu karena hubungan Bima-Makassar tidak semata-mata
bersifat politik dan ekonomi (dagang), tapi juga hubungan perkawinan antara
elit penguasa Bima dan putri bangsawan Gowa.
Pada 1759,
sebagai dampak dari kontrak yang dilakukan raja-raja di Pulau Sumbawa,
orang-orang Makassar menyerang Manggarai dan menduduki daerah itu. Namun,
mereka tidak dapat bertahan lama karena pada 1762, dengan bantuan VOC, Bima
dapat menguasai kembali daerah Manggarai. Usaha yang dilakukan oleh Gowa untuk
menguasai Manggarai tetap dilakukan, misalnya pada 1822 dengan jalan menarik
pajak, namun belum berhasil. Dengan berbagai perjanjian yang terus diperbarui
dari zaman VOC hingga ke Hindia Belanda, perlahan-lahan Kesultanan Bima secara
politis kehilangan kekuasaan. Perjanjian yang merupakan titik puncak
hegemoni Belanda atas Kesultanan Bima adalah perjanjian yang dilakukan oleh
Sultan Ibrahim pada 6 Februari 1908 yang disebut “Contract Meet Bima”.
Perjanjian tersebut antara lain berisi:
1.
Sultan Bima mengakui Kerajaan Bima merupakan bagian
dari Hindia Belanda dan bendera Belanda harus dikibarkan.
2.
Sultan Bima berjanji senantiasa tidak melakukan
kerja sama dengan bangsa kulit putih lain.
3.
Apabila Gubernur Jenderal Hindia Belanda menghadapi
perang, maka Sultan Bima harus mau mengirim bala bantuan.
4.
Sultan Bima tidak akan menyerahkan wilayah
Kesultanan Bima kepada bangsa lain kecuali Belanda.
Walaupun pada perkembangannya perjanjian ini menyulut perlawanan dari
rakyat Bima, tetap saja Kesultanan Bima pada masa itu berada dalam posisi yang
lemah. Hal itu bisa dilihat dari perlawanan rakyat yang dapat dipatahkan oleh
Belanda secara bertahap dan Sultan Ibrahim tidak punya kekuatan yang cukup
untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan. (Wallahu a’lam)
Refrensi:
Abdullah, BA Tajib. Sejarah Bima
Dana Mbojo. Jakarta: PT. Harapan Masa PGRI, 1995.
Chambert-Loir, Henri dkk. Bo’ Sangaji Kai (Catatan Kerajaan Bima),
Yayasan pustaka Obor Indonesia 2012.
---------, Kerajaan Bima Dalam Sastra dan Sejarah. Jakarta: KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia), 2004.
Jurdi, Syarifuddin, Islamisasi Dan Penataan Ulang Identitas
Masyarakat Bima, Makassar: Alauddin University Press 2011
Pemerintah Hindia Belanda dalam Dinamika Politik Kesultanan Bima