Selasa, Februari 18, 2014

Pemerintah Hindia Belanda dalam Dinamika Politik Kesultanan Bima

Kontak pertama antara Bima dan orang-orang Belanda telah dimulai pada awal abad 17, ketika terjadi perjanjian lisan antara Raja Bima, Salasi, dan orang Belanda bernama Steven van Hegen pada 1605. Dalam sumber lokal, perjanjian ini disebut Sumpa Ncake. Isi perjanjian tersebut sampai sekarang belum diketahui. Namun, pada masa-masa berikutnya, hubungan dagang antara Bima dan VOC tampak terjalin dan berpusat di Batavia. Dalam catatan harian VOC atau Dah-register disebutkan bahwa VOC mengirim kapal-kapalnya ke Bima untuk membeli beras dan komoditas lainnya. Secara politis, hubungan Bima dan VOC mulai berlangsung dengan ditandatanganinya perjanjian pada 8 Desember 1669 dengan Admiral Speelman.
Perjanjian itu merupakan kontrak pertama dengan VOC sebagai akibat keikutsertaan Sultan Bima, Abdul Khair Sirajudin, membantu Kesultanan Gowa memerangi Belanda. Karena kalah perang, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda pada 1667, yang dikenal sebagai ”Perjanjian Bongaya”. Isi perjanjian itu antara lain memisahkan Kesultanan Bima dengan Kesultanan Gowa agar tidak saling berhubungan dan saling membantu. Pada perjanjian tahun 1669, Bima memberikan terobosan pada Kompeni untuk berdagang di Bima dan raja atau sultan tidak boleh meminta atau menarik cukai pelabuhan terhadap kapal dan barang-barang Kompeni yang keluar masuk pelabuhan.
Setiap terjadinya pergantian raja atau sultan, Kompeni akan membuat kontrak baru. Alasannya, selain untuk memperkuat kontrak-kontrak sebelumnya, juga untuk menjadikan Bima dan kerajaan-kerajaan lain di Pulau Sumbawa di bawah kekuasaan Kompeni secara perlahan-lahan. Selain itu, pertikaian di antara elit penguasa di Pulau Sumbawa, baik yang sengaja direkayasa oleh Kompeni atau bukan, pada dasarnya memberikan kesempatan bagi VOC untuk memperluas pengaruh serta kekuasaannya di wilayah itu.
Untuk mewujudkan keinginannya, VOC mengadakan pendekatan melalui pembuatan kontrak atau perjanjian secara paksa. Sebagai contoh, pada 9 Februari 1765, VOC mengadakan perjanjian secara kolektif dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, yaitu Bima, Dompu, Tambora, Sanggar, Pekat, dan Sumbawa. Cornelis Sinkelaar (Gubernur VOC) sepakat dengan Abdul Kadim (Raja Bima), Datu Jerewe (Raja Sumbawa), Ahmad Alaudin Juhain (Raja Dompu), Abdul Said (Raja Tambora), Muhamad Ja Hoatang (Raja Sanggar), dan Abdul Rachman (Raja Pekat) untuk bersama-sama dengan VOC memelihara ketenteraman, bersahabat baik, dan mengadakan persekutuan dengan VOC.
Dalam pasal 1 kontrak tersebut dinyatakan bahwa raja-raja di Pulau Sumbawa, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, berjanji akan terus mematuhi kontrak yang pernah dibuat sebelumnya. Demikian pula prosedur-prosedur dalam perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan VOC, masih berlaku dan akan terus dipatuhi. Pada 1675, VOC diizinkan untuk mendirikan posnya di Bima. Perjanjian itu diperbarui lagi pada 1701 dan sejak itu secara resmi VOC hadir di Bima. Pada awalnya, ditempatkan seseorang dengan jabatan koopman atau onderkopman, kemudian seorang residen, dan akhirnya seorang komandan.
Pada 1708, J. Happon ditunjuk sebagai residen yang pertama. Pada 1771, jabatan residen digantikan oleh jabatan komandan sampai 1801. Dalam kontrak disebutkan pula bahwa perjanjian itu dibuat dalam rangka persahabatan dan persekutuan abadi yang didasarkan pada ketulusan, kepercayaan, dan kejujuran. Sebagai konsekuensi dari kontrak-kontrak itu, kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa tidak boleh (dilarang) mengadakan hubungan (politik maupun dagang) dengan daerah-daerah lain, dengan bangsa Eropa lain, atau dengan seseorang kecuali atas persetujuan dan izin VOC. Meski demikian, penempatan residen Belanda di Bima pun harus dengan persetujuan Kerajaan Bima dan sepengetahuan Gubernur dan Dewan Hindia di Makassar.
Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada 1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada 1667. Pada 1701, orang-orang Makassar berhasil diusir dari Manggarai. Namun, ternyata hubungan antara Bima dengan Makassar tidak dapat diputus dengan cara-cara kekerasan seperti itu karena hubungan Bima-Makassar tidak semata-mata bersifat politik dan ekonomi (dagang), tapi juga hubungan perkawinan antara elit penguasa Bima dan putri bangsawan Gowa.
Pada 1759, sebagai dampak dari kontrak yang dilakukan raja-raja di Pulau Sumbawa, orang-orang Makassar menyerang Manggarai dan menduduki daerah itu. Namun, mereka tidak dapat bertahan lama karena pada 1762, dengan bantuan VOC, Bima dapat menguasai kembali daerah Manggarai. Usaha yang dilakukan oleh Gowa untuk menguasai Manggarai tetap dilakukan, misalnya pada 1822 dengan jalan menarik pajak, namun belum berhasil. Dengan berbagai perjanjian yang terus diperbarui dari zaman VOC hingga ke Hindia Belanda, perlahan-lahan Kesultanan Bima secara politis kehilangan kekuasaan. Perjanjian yang merupakan titik puncak hegemoni Belanda atas Kesultanan Bima adalah perjanjian yang dilakukan oleh Sultan Ibrahim pada 6 Februari 1908 yang disebut “Contract Meet Bima”. Perjanjian tersebut antara lain berisi:
1.   Sultan Bima mengakui Kerajaan Bima merupakan bagian dari Hindia Belanda dan bendera Belanda harus dikibarkan.
2.    Sultan Bima berjanji senantiasa tidak melakukan kerja sama dengan bangsa kulit putih lain.
3.    Apabila Gubernur Jenderal Hindia Belanda menghadapi perang, maka Sultan Bima harus mau mengirim bala bantuan.
4.    Sultan Bima tidak akan menyerahkan wilayah Kesultanan Bima kepada bangsa lain kecuali Belanda.
Walaupun pada perkembangannya perjanjian ini menyulut perlawanan dari rakyat Bima, tetap saja Kesultanan Bima pada masa itu berada dalam posisi yang lemah. Hal itu bisa dilihat dari perlawanan rakyat yang dapat dipatahkan oleh Belanda secara bertahap dan Sultan Ibrahim tidak punya kekuatan yang cukup untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan. (Wallahu a’lam)
Refrensi:
Abdullah, BA Tajib. Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta: PT. Harapan Masa PGRI,            1995.
Chambert-Loir, Henri dkk. Bo’ Sangaji Kai (Catatan Kerajaan Bima), Yayasan pustaka Obor Indonesia 2012.
---------, Kerajaan Bima Dalam Sastra dan Sejarah. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),  2004.
Jurdi, Syarifuddin, Islamisasi Dan Penataan Ulang Identitas Masyarakat Bima, Makassar: Alauddin University Press 2011

0 komentar: