Oleh: Muh. Didi Haryono
Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama
telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun
motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang mengantar
dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi. Menurut catatan company
dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah
ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu
besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di
Kerajaan Gowa yang beribu negeri di Makassar.
Raja Gowa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan
Alaidin al Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada
tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada ayahanda Sultan
Alaidin yang bernama Tonigallo dari Sultan Ternate yang lebih dulu memeluk
Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam, ia merasa kerajaannya
akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate. Beberapa ulama Kerajaan Gowa di
masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah
mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang dan
Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang
bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang
menyebarkan Islam ke Makassar.[1]
Pada
abad ke 15 di Sulawesi berdiri beberapa kerajaan, diantaranya dari suku bangsa
Makasar (Gowa dan Tallo) dan Bugis (Luwu, Bone, Soppeng dan Wajo). 2 kerajaan
yang memiliki hubungan baik yaitu kerajaan Gowa dan Tallo. Ibu kota kerajaannya
adalah Gowa yang sekarang menjadi Makasar. Kerajaan ini pada abad ke 16 sudah
menjadi daerah islam. Masuk dan berkembangnya Islam di Makasar atas juga datuk
Ribandang (Ulama adat Minangkabau). Secara resmi kerajaan Gowa Islam
berdiri pada tahun 1605 M. Pusat-pusat dakwah
yang dibangun oleh Kerajaan Gowa inilah yang melanjutkan perjalanan ke wilayah
lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu dan
Paloppo hingga ke Bima dan Manggarai.[2]
Berdasarkan sumber-sumber yang telah ditemukan,
dapat dikatakan bahwa gelombang emigran
orang-orang Bugis Makassar ke
Semenangjung Melayu melalui tiga priode, yaitu:[3]
Pertama, berlangsung pada masa sebelum
kawasan Sulawesi Selatan memasuki
proses Islamisasi. Mereka itu sudah tersebar di berbagai tempat
semenangjung Sumatra, Malaka dan Kalimantan yang menghubungkan kawasan-kawasan
itu dengan rute perdagangan dengan Pusat
Melaka, Kelompok Bugis pada masa itu belum membentuk dirinya dalam suatu
kekuatan militer, mereka umumnya masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil sebagai pedagang antar pulau dan sebagai
nelayan. Itulah sebabnya mereka pada umumnya tinggal di kawasan pantai mereka dapat dikatakan kelompok the sea men atau
orang laut.
Gelombang kedua terjadi pada masa proses
Islamisasi sedang berlangsung di
Sulawesi Selatan. Masa berlangsung Islamisasi itu berkaitan erat dengan gerakan politik yang si lancarkan
Kerajaan Gowa dan sekutu-sekutunya untuk
menundukkan kwasan-kawasan yang belum
masuk Islam dan sampai Islam diterima
masyarakat setempat konflik politik juga
masih berlangsung.
Gelombang ketiga
berlangsung setelah kerajaan Gowa dan
Wajo jatuh di tangan VOC. Masa inilah merupakan periode yang paling banyak terjadi perpindahan orang-orang Bugis
Makassar kesemenagjung Melayu.
Perpindahan yang terjadi dalam gelombang ini berbentuk kelompok yang besar . Mereka tidak
saja terdiri dari masyarakat lapisan
bawah tatapi apat dikatakan terdiri
dari smua lapisan sosial.
Dari ketiga gelombang yang disebutkan di atas, gelombang terkhir inilah yang paling
menarik, masalahnya adalah karena faktor
pemindahan berkaitan erat dengan akibat langsung peperangan yang terjadi di kawasan Sulawesi Selatan.
Orang-orang Bugis Makassar yang termasuk
ke dalam gelombang yang terakhir ini
dipimpin langsung oleh kelompok bangsawan. Dengan sisa-sisa kekuatan
militer dan kekayaan yang mereka
miliki kelompok bangsawan ini mengikuti
pengikut pengikutnya atau rakyat yang
meninggalkan kampung halamannya untuk
merantau dengan tujuan utamanya untuk
melanjutkan perjuangan melawan kekuasaan
Belanda.Perjuangan dalam melawan kekuasaan Belanda itu dilakukan dengan berbagai cara, antara lain
dengan melakukan gangguan pada rute perdagangan atau pelayaran Belanda di Selat Makassar, pantai
Ambon dan di Selat Malaka pantau
Kalimantan yang starategis dan Kepulauan Riau. Tindakan mereka dikaitkan
dengan “bajak laut” hingga di selat
Bima. Bahkan di kabupaten Bima kecematan Sape ada kampung Bugis, sebagai bukti
bahwa islam di Bima dipengaruhi oleh Bugis-Makassar.
Berangkat dari datangnya para saudagar
Bugis-Makassar ke Bima pada awal abad ke-17, proses Islamisasi akan mudah
dipahami. Sebelum masuk ke usaha Islamisasi abad ke-17 itu, dapat digambar
secara ringkas, bahwa masuknya Islam pad abad ke-16 berdasarkan sejumlah sumber
sejarah, tidak di ketahui oleh pihah kerajaan, bahkan kedatangan Sunan Prapen
dari Denmak ke Bima pada pertengahan abad ke-16 atau tahun 5040 M tidak
diketahui oleh kerajaan Bima, padahal pengaruh Islam sudah masuk ke Bima pada
tahun itu. Yang dilakukan oleh Sunan Prapen adalah menyiarkan Islam dan bukan
melakukan ekspansi atau menundukkan masyarakat Bima sebagaimana yang yang
ditulis oleh Utrech, karne kekuatannta murni bersifat kultural untuk menyiarkan
Islam, maka penerimaan masyarakatpun terhadap masyarakat pun terhadap ajaran
Islam bersifat sukarela dan berdasarkan pada kesadaran. Masyarakat yang
menerima pengaruh Islam pada saat itu adalah masyarakat Islam yang tinggal
dipesisir pantai, pengaruh itu tidk sampa pada pusat kekuasaan. Atas kondisi
tersebut, Islam pada saat itu hanya menjadi agama rakyat dan bukan agama
penguasa atau kerajaan. Sebagai agama rakyat, Islam hanya dianut oleh minoritas
kecil masyarakat pesisir pantai.[4]
Penyiaran
Islam di Bima gelombang kedua berlangsung dalam atmosfir politik kekuasaan yang
sedang mengalami gejolak, setidaknya persaingan antara generasi dan merekan
yang terkait dengan kerajaan dalam rangka meperubutkan kekuasaan. Kubu yang
hendak mengambil alaih kekuasaan tidak berdasarkan tradisi kerajaan termasuk
pihak yang tidak smpati kepada Islam, ketidak simpatian itu terkait dengan
skapnya yang menentang kubu pewaris tahta kekuasaan yang lebih cenderung
menerima Isalam. Perspektif konflik kepentingan antar generasi kerajaan menjadi
penting juga di ketengahkan dalam memotret kemunculan Islam di Bima. Kalau fase
awal yang berlansung pada tahun 154 M dipandang sebagai gelombang pertama masuknya
Islam ke Bima, itu dapat disebut dengan “rute” dari Barat ke Timur (dari Jawa
ke Bima), maka “rute” kedua menepuh jalur dari Utara ke Selatan (dari Makassar
ke Bima).[5]
[4] Jurdi, Syarifuddin, Islamisasi Dan
Penataan Ulang Identitas Masyarakat Bima, Makassar: Alauddin University
Press 2011, h. 48
Sejarah Masuk Islamnya Kerajaan Gowa dan Bima