Selasa, Februari 18, 2014

Sejarah Masuk Islamnya Kerajaan Gowa dan Bima


Oleh: Muh. Didi Haryono

Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Gowa yang beribu negeri di Makassar.

Raja Gowa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaidin al Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada ayahanda Sultan Alaidin yang bernama Tonigallo dari Sultan Ternate yang lebih dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam, ia merasa kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate. Beberapa ulama Kerajaan Gowa di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.[1]
Pada abad ke 15 di Sulawesi berdiri beberapa kerajaan, diantaranya dari suku bangsa Makasar (Gowa dan Tallo) dan Bugis (Luwu, Bone, Soppeng dan Wajo). 2 kerajaan yang memiliki hubungan baik yaitu kerajaan Gowa dan Tallo. Ibu kota kerajaannya adalah Gowa yang sekarang menjadi Makasar. Kerajaan ini pada abad ke 16 sudah menjadi daerah islam. Masuk dan berkembangnya Islam di Makasar atas juga datuk Ribandang (Ulama adat Minangkabau). Secara resmi kerajaan Gowa Islam berdiri pada tahun 1605 M. Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Gowa inilah yang melanjutkan perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo hingga ke Bima dan Manggarai.[2]
Berdasarkan sumber-sumber yang telah ditemukan, dapat dikatakan bahwa  gelombang  emigran  orang-orang Bugis Makassar  ke Semenangjung Melayu melalui tiga priode, yaitu:[3] Pertama,  berlangsung pada masa  sebelum  kawasan Sulawesi Selatan memasuki  proses Islamisasi. Mereka itu sudah tersebar di berbagai tempat semenangjung Sumatra, Malaka dan Kalimantan yang menghubungkan kawasan-kawasan itu dengan rute  perdagangan dengan Pusat Melaka, Kelompok Bugis pada masa itu belum membentuk dirinya dalam suatu kekuatan militer, mereka umumnya masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil  sebagai pedagang antar pulau dan sebagai nelayan. Itulah sebabnya mereka pada umumnya tinggal di kawasan pantai  mereka dapat dikatakan kelompok  the sea men atau orang laut.
Gelombang  kedua terjadi pada masa proses Islamisasi  sedang berlangsung di Sulawesi Selatan. Masa berlangsung Islamisasi itu berkaitan erat  dengan gerakan politik yang si lancarkan Kerajaan Gowa  dan sekutu-sekutunya untuk menundukkan  kwasan-kawasan yang belum masuk Islam  dan sampai Islam diterima masyarakat setempat  konflik politik juga masih berlangsung.
Gelombang ketiga berlangsung setelah  kerajaan Gowa dan Wajo jatuh di tangan VOC. Masa inilah merupakan periode yang paling  banyak terjadi perpindahan orang-orang Bugis Makassar kesemenagjung Melayu.  Perpindahan yang terjadi dalam gelombang ini  berbentuk kelompok yang besar . Mereka tidak saja terdiri dari  masyarakat lapisan bawah  tatapi apat dikatakan terdiri dari  smua lapisan sosial.
Dari ketiga gelombang yang disebutkan di atas,  gelombang terkhir inilah yang paling menarik,  masalahnya adalah karena faktor pemindahan  berkaitan erat dengan  akibat langsung peperangan  yang terjadi di kawasan Sulawesi Selatan. Orang-orang Bugis Makassar  yang termasuk ke dalam  gelombang yang terakhir ini dipimpin langsung oleh kelompok bangsawan. Dengan sisa-sisa kekuatan militer  dan kekayaan yang mereka miliki  kelompok bangsawan ini mengikuti pengikut pengikutnya  atau rakyat yang meninggalkan  kampung halamannya untuk merantau dengan tujuan  utamanya untuk melanjutkan  perjuangan melawan kekuasaan Belanda.Perjuangan dalam melawan kekuasaan Belanda  itu dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan melakukan gangguan pada rute perdagangan atau  pelayaran Belanda di Selat Makassar, pantai Ambon dan di Selat Malaka  pantau Kalimantan yang starategis dan Kepulauan Riau. Tindakan mereka dikaitkan dengan  “bajak laut” hingga di selat Bima. Bahkan di kabupaten Bima kecematan Sape ada kampung Bugis, sebagai bukti bahwa islam di Bima dipengaruhi oleh Bugis-Makassar.
Berangkat dari datangnya para saudagar Bugis-Makassar ke Bima pada awal abad ke-17, proses Islamisasi akan mudah dipahami. Sebelum masuk ke usaha Islamisasi abad ke-17 itu, dapat digambar secara ringkas, bahwa masuknya Islam pad abad ke-16 berdasarkan sejumlah sumber sejarah, tidak di ketahui oleh pihah kerajaan, bahkan kedatangan Sunan Prapen dari Denmak ke Bima pada pertengahan abad ke-16 atau tahun 5040 M tidak diketahui oleh kerajaan Bima, padahal pengaruh Islam sudah masuk ke Bima pada tahun itu. Yang dilakukan oleh Sunan Prapen adalah menyiarkan Islam dan bukan melakukan ekspansi atau menundukkan masyarakat Bima sebagaimana yang yang ditulis oleh Utrech, karne kekuatannta murni bersifat kultural untuk menyiarkan Islam, maka penerimaan masyarakatpun terhadap masyarakat pun terhadap ajaran Islam bersifat sukarela dan berdasarkan pada kesadaran. Masyarakat yang menerima pengaruh Islam pada saat itu adalah masyarakat Islam yang tinggal dipesisir pantai, pengaruh itu tidk sampa pada pusat kekuasaan. Atas kondisi tersebut, Islam pada saat itu hanya menjadi agama rakyat dan bukan agama penguasa atau kerajaan. Sebagai agama rakyat, Islam hanya dianut oleh minoritas kecil masyarakat pesisir pantai.[4] 
Penyiaran Islam di Bima gelombang kedua berlangsung dalam atmosfir politik kekuasaan yang sedang mengalami gejolak, setidaknya persaingan antara generasi dan merekan yang terkait dengan kerajaan dalam rangka meperubutkan kekuasaan. Kubu yang hendak mengambil alaih kekuasaan tidak berdasarkan tradisi kerajaan termasuk pihak yang tidak smpati kepada Islam, ketidak simpatian itu terkait dengan skapnya yang menentang kubu pewaris tahta kekuasaan yang lebih cenderung menerima Isalam. Perspektif konflik kepentingan antar generasi kerajaan menjadi penting juga di ketengahkan dalam memotret kemunculan Islam di Bima. Kalau fase awal yang berlansung pada tahun 154 M dipandang sebagai gelombang pertama masuknya Islam ke Bima, itu dapat disebut dengan “rute” dari Barat ke Timur (dari Jawa ke Bima), maka “rute” kedua menepuh jalur dari Utara ke Selatan (dari Makassar ke Bima).[5]


[1] Siti Waridah Q. Sejarah Nasional dan Umum. (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2001), h. 84
[2] Siti Waridah Q. h, 86
[3] Nico Thamiend R.M.P.B. Manus. Sejarah.  (Jakarta : Yudhistira, 2000). h. 145
[4] Jurdi, Syarifuddin, Islamisasi Dan Penataan Ulang Identitas Masyarakat Bima, Makassar: Alauddin University Press 2011, h. 48
[5] Ibid, h. 49

0 komentar: