Apakah
Anda cinta Indonesia? Andai pertanyaan ini diajukan kepada rakyat Indonesia
saat ini, barangkali mereka akan menjawab cepat, iya. Wajar. Manusia memang
punya keterikatan emosional dengan tempat ia tinggal, apalagi di situ juga ia
dilahirkan, dibesarkan dan hidup hingga sekarang.
Itu pula yang dialami oleh Baginda Rasulullah Muhammad
saw. Beliau dilahirkan dan dibesarkan di Makkah. Beliau tinggal di kota itu
selama kurang lebih 53 tahun, sebelum akhirnya diperintahkan Allah bersama para
Sahabat berhijrah ke Madinah. Tentang cintanya pada Makkah, Rasulullah berkata,
“Demi Allah, sesungguhnya engkau (Makkah) adalah bumi (negeri)
yang paling baik dan paling dicintai di sisi Allah SWT. Seandainya aku tidak
diusir darimu (Makkah), pasti aku tidak meninggalkanmu.”
(Diriwayatkan dari Ibnu Umar bin Adi bin Abil Humra, dikutip dari ‘Atiq bin
Ghaits al-Biladi).
“Seandainya tidak ada hijrah,
niscaya aku tetap tinggal di Makkah. Sesungguhnya aku belum pernah melihat
langit begitu dekat dengan bumi selain di Makkah. Hatiku belum pernah merasakan
ketenteraman selain di Makkah. Aku pun belum pernah melihat bulan pada
suatu tempat, yang lebih indah dari yang aku lihat di Makkah.”
(Diriwayatkan dari Ibnu Najih, dikutip dari al-Azraqi, Akhbâr Makkah).
Setelah sekian lama tinggal di Madinah, kecintaan
Rasulullah kepada Makkah tak redup. Diriwayatkan bahwa seorang lelaki bernama
Ashil al-Ghifari datang dari Makkah, lalu Rasulullah bertanya kepada dia, “Ashil, bagaimanakah keadaan
Makkah seka-rang?” Ashil menjawab, “Aku melihat Makkah sekarang telah subur
wilayahnya, telah putih sungainya, telah banyak idzkhir (sejenis pohon)-nya,
telah lebat rerumputannya dan telah ranum salam (sejenis tanaman yang biasa
dipakai untuk menyamak kulit)-nya.” Rasulullah pun bersabda, “Cukuplah, Ashil, jangan kau
buat kami bersedih” (Dikutip dari al-Azraqy, Akhbâr Makkah)
*****
Bila cinta pada tanah kelahiran atau tanah air adalah
sesuatu yang wajar, persoalannya kemudian adalah bagaimana ekspresi kecintaan
itu harus kita tunjukkan? Pertama: Ini yang
paling mendasar, kita mestinya tak boleh membiarkan pihak asing melakukan
penguasaan, dominasi apalagi sampai melakukan penjajahan terhadap negeri kita
ini. Inilah yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Tjut
Nyak Dien, Imam Bonjol dan sebagainya ketika mereka terus melakukan perlawanan
terhadap penjajah Belanda. Begitu juga apa yang dilakukan oleh KH. Hasyim
Asy’ari, didukung para ulama dalam barisan Sabilillah dan para santri
Hizbullah, ketika menyerukan jihad untuk menolak kedatangan pasukan Belanda
yang hendak merampas kemerdekaan Indonesia yang belum lama diproklamasikan pada
tahun 1945.
HTI, sebagai wadah perjuangan umat, pun dengan tegas
menolak segala bentuk penjajahan, dan tak henti mengingatkan umat terhadap
ancaman penjahan baru atau neoimperialisme. Umat harus diberi tahu, meski
negeri ini sudah merdeka, tak berarti penjajahan telah usai. Hasrat eksploitasi
dan hegemoni negara-negara imperialis tak pernah padam. Bila penjajahan fisik
tak bisa lagi dilakukan, mereka meneruskan dengan penjajahan ekonomi, politik,
juga penjajahan social-budaya. Dari sinilah, meski sebuah negara, termasuk
Indonesia, sudah merdeka, secara politik dan ekonomi, bahkan juga sosial dan
budaya, tetap saja dalam cengkeraman negara-negara imperialis itu.
Selanjutnya, cinta tanah air juga harus ditunjukkan
dengan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya disintegrasi. Pasalnya,
salah satu strategi negara imperialis dalam melemahkan negeri-negeri Muslim
adalah dengan melancarkan politik pecah belah dan adu domba (devide et impera).
Karena itu harus ditolak dengan tegas gerakan-gerakan separatisme seperti OPM
(Organisasi Papua Merdeka) atau RMS (Republik Maluku Selatan) yang nyata-nyata
juga didukung oleh negara-negara imperialis. Ketika dulu hendak dilakukan
referendum di Timor Timur, HTI menolak keras rencana itu karena, dalam
pandangan HTI, itu akan menjadi jalan lepasnya wilayah Indonesia yang paling
muda itu. Benar saja, pasca jajak pendapat, lepaslah Timor Timur dari kesatuan
wilayah Indonesia.
Kedua: Kecintaan pada Indonesia harus ditunjukkan dengan
penolakan terhadap sekularisme, karena sekularisme adalah paham yang ditanamkan
oleh penjajah untuk melemahkan negara terjajah, khususnya negeri-negeri Muslim
termasuk Indonesia. Mereka tahu, Islam yang dipeluk oleh mayoritas penduduk
negeri Muslim terbesar di dunia ini akan menjadi kekuatan dahsyat bagi
perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Karena itu Islam harus
dilemahkan. Namun, mereka tahu, menghilangkan Islam dari benak penduduk negeri
ini tidaklah mungkin. Christiaan Snouck Hurgronje, orientalis Belanda, lalu
memberikan advis kepada Pemerintah Belanda tentang bagaimana memperlakukan
Islam dan umat Islam di Hindia Belanda ini. Intinya, biarkan Islam di ranah
ibadah spiritual seperti shalat, puasa, zakat, haji, dsb. Namun, mereka i harus
dijauhkan dari ibadah sosial-kemasyarakatan dalam bidang politik, ekonomi dan
lainnya.
Dalam kerangka inilah, berbagai kegiatan yang dilakukan
HTI selama ini sesungguhnya adalah ikhtiar untuk menghadirkan pemahaman Islam
yang syâmilah (menyeluruh)
dan kâmilah (sempurna)
dalam diri umat Islam di negeri ini. HTI sekaligus mengajak umat untuk
mewujudkan Islam dalam realitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara guna
mengatasi berbagai persoalan yang tengah membelit negeri ini seperti persoalan
kemiskinan, kerusakan moral, korupsi, kriminalitas yang merajalela, eksploitasi
SDA oleh korporasi asing dan sebagainya. Dengan itulah akan terwujud kerahmatan
Islam sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah SWT.
Maka dari itu, sungguh aneh bila ada yang mengatakan
bahwa HTI dengan kampanye syariahnya itu akan memecah-belah bangsa. Mengatakan
bahwa syariah akan memecah belah bangsa, apalagi bila itu dikatakan oleh
seorang Muslim, adalah sebuah kedangkalan berpikir yang sangat memalukan.
Bagaimana bisa mereka mengatakan seperti itu, padahal faktanya justru sistem
sekular-kapitalisme-liberal itulah yang telah membuat negara ini selalu dalam
himpitan berbagai persoalan yang tak berkesudahan dalam semua aspek kehidupan.
Mengapa mereka tidak mengatakan sistem sekular itulah yang telah merusak bangsa
dan negara ini?
Jadi, jelaslah bahwa perjuangan HTI adalah
bentuk kecintaan pada Indonesia, dengan bentuk kecintaan yang benar seperti
yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Kecintaan HTI pada Indonesia bukan
kecintaan yang semu apalagi chauvistik seperti yang dilakukan oleh banyak
kelompok nasionalis secular; di satu sisi mereka bilang cinta Indonesia, namun
di sini lain justru menggerogoti pilar-pilar penting tegaknya kedaulatan negeri
ini. Mereka membiarkan berbagai kebijakan yang sangat pro asing, lalu
membiarkan lahirnya aturan-aturan yang jelas-jelas sangat merugikan negara.
Padahal semua itu terbukti justru telah membawa negeri ini pada jurang
kehancuran. Jadi, siapa sebenarnya yang cinta Indonesia? [H.M. Ismail Yusanto]
Artikelnya Bisa Juga dilihat ---> DISINI
Cinta Indonesia (Catatan Jubir HTI)