Cobaan dan masalah dalam kehidupan manusia tidak
pernah usai, cobaan itu selalu menimpa manusia, baik yang menimpa pribadi,
keluarga, bermasyarakat bahkan yang menimpa negara ini. Semestinya,
setiap pribadi kembali kepada Allah SWT dan jujur menyerahkan diri serta
mengakui kesalahan dan keangkuhan pada dirinya. Setelah itu kita berdoa
mengampini kesalahan dan meminta kekuatan untuk tetap hidup di bawah naungan
rahmat dan ridho-Nya.
Syukur, mendorong pribadi untuk lebih jeli meneropong nikmat dan
keberkahan yang telah dikaruniakan Allah SWT, serta memanfaatkan nikmat itu
semaksimal mungkin sehingga mendapatkan sesuatu yang berguna. Dengan memandang
hal tersebut, lebih menjadikannya untuk berterima kasih. Istigfar, menuntun pribadi untuk sadar ketika dalam kejumudan dan tidak
terbawa arus frustasi ketika mengahadapi kesulitan. Mau mengakui kesalahan yang
dilakukan dan memohon perlindungan dari sang pencipta.
Muhasabah, evaluasi dan introspeksi diri secara total seluruh amalan
kita sebelum dan sesudah kita melakukan sesuatu. Sehingga, kita betul-betul mau
mengakui apakah amalan yang kita lakukan hanya untuk Allah SWT atau karena
pujian manusia?
### Mensyukuri Nikmat
Syukur bermakna berterima kasih kepada yang memberikan sesuatu. Syukur
juga bermakna membalas kebaikan dan memberikan pujian kepada yang telah
memberikan kebaikan dan kenikmatan baik lahir maupun batin. Yang memberikan
kebaikan dan kenikmatan hanyalah Allah SWT. Al-Ashfahani dalam kitabnya Mufradat
al-Fazhil Qur’an menyatakan bahwa syukur adalah mengingat-ingat kenikmatan
dan menampakkannya. Bentuk kesyukuran ada tiga macam yaitu:
1) Syukur hati, dengan mengingat-ingat kenikmatan yang diberikan baik yang
nampak maupun yang tidak nampak. Iman, nafas, nyawa, darah dan seluruh organ
yang kita miliki.
Coba kita
renungkan dan melihat seorang pesien di Rumah Sakit yang sedang menjalani rawat
inap akibat penyakit yang dideritanya. Berapa banyak kantong darah yang
dibutuhkan, bantuan alat pernapasan, dan aneka vitamin yang berupa infus, semua
harus terbayarkan dengan kocehan rupiah yang begitu banyak.
Belum lagi
biaya transportasi, waktu, beban keluarga, beban psikologis dan lain
sebagainya. Namun, sering kali kita melupakan ini semua, bahkan kita tidak
menyadari bahwa betapa besar nikmat kesehatan tersebut.
Oleh karena
itu, kesehatan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk melakukan hal-hal yang
baik dan mengoptimalisasikan ibadah, jangan sampai digunakan untuk berbuat
maksiat dan hal-hal yang penuh dengan kesia-siaan. Kelalaian inilah yang
disebut dengan kufur nikmat.
2) Syukur lisan, dengan memuji sang memberi nikmat. Inilah mengapa setiap
selesai melakukan aktifitas, agama mengajarkan untuk mengucapkan pujian. Tiap
kali berpakaian kita memuji-Nya, sebab betapa banyak orang yang tidak memiliki
pakaian.
Saat kita
mendapatkan gajian kita juga memuji-Nya,
sebab begitu banyak orang yang tidak memiliki gaji. Tiap kali kita
berjalan dan melangkah kemana saja yang kita sukai, kita juga memuji-Nya, sebab
banyak orang yang tidak bisa berjalan.
Oleh karena
itu, dimanapun dan kemanapun kita berada, dalam kondisi apapun kita, maka kita
tetap bersyukut dan terus memuji-Nya. Sebab inilah yang bisa kita lakukan
sebagai seorang hamba yang terus bersyukur.
3) Syukur anggota badang, dengan membalas nikmat sesuai dengan kewajiban
masing-masing organ tersebut.
Tentunya
yang paling utama adalah bersyukur saat menjalankan perintah dan menjauhi
segala larangan-Nya. Semua anggota badan harus ruku’ dan sujud (sholat)
kepada-Nya sebagi bukti kesyukuran atas nikmat yang telah diberikan.
Abu Hazim
pernah ditanya, apa kesyukuran mata? Yaitu apabila melihat kebaikan,
sampaikanlah. Dan jika engkau melihat aib seseorang, tolong rahasiakan. Apa
kesyukuran telinga? Jika engkau mendengar kebaikan, seriuslah mendengarkan dan
jika engkau mendengar keburukan, tolong engkau pendam.
Lalu ditanya
apa kesyukuran tangan? Jangan engkau ambil sesuatu yang bukan haknya, dan
jangan engkau cegah hak Allah padanya. Dan apa kesyukuran perut? Bersabar
dengan apa yang di bawahnya dan mencari ilmu untuk yang di atasnya.
Ia ditanya
lagi, dan apa kesyukuran dua kaki? Yaitu jika engkau melihat kebaikan yang
menjadikanmu senang, engkau pergunakan, dan jika engkau lihat keburukan yang
menjadikanmu risih, engkau hentikan.
Bersyukur kepada Allah SWT tidak cukup hanya dengan memuji, tetapi harus
disertai oleh tindakan-tindakan yang menjadikan ridho dan senang bagi pemberi
kebaikan itu sendiri yaitu Allah SWT.
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim [14]: 7)
Syukur adalah moral dan pribadi para nabi. Mereka menjadikan syukur itu
sebagai kebiasaan yang terus mereka lakukan baik dengan lisan maupun dengan
perbuatan. Allah SWT mengomentari nabi Ibrahim as.
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan
lagi patuh kepada Allah dan hanif[1].
dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).
(lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat
Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus”. (QS. An-Nahl [16]: 120-121)
Allah SWT juga mensifati nabi Nuh as dengan kata syakir yaitu manusia yang selalu bersyukur. Sebagaimana Allah SWT
berfirman:
“(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang
Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Dia
adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur”. (QS. Isra’ [17]: 3)
Allah SWT juga mengomentari sifat yang dimiliki oleh nabi Sulaiman as
sebagaimana firman-Nya:
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu
dari AI Kitab[2]:
"Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip".
Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun
berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku
bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk
(kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya
Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia". (QS. An-Naml [27]: 40)
Allah SWT juga menyatakan bahwa melakukan amalan-amalan yang baik adalah
refleksi, cermin dan ukuran dari kesukuran itu sendiri. Allah SWT memerintahkan
kepada keluarga Dawud as untuk bersyukur:
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa
yang dikehendakiNya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan
piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di
atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga
Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu
yang berterima kasih”. (QS. Saba’ [34]: 13)
Ketika Rasululllah SAW menjelaskan ayat di atas, beliau bersabda “Dawudpun bersujud sebagai wujud taubatnya,
dan kita bersujud sebagai tanda kesyukuran”.
Diriwayatkan
oleh ummul mukminin Aisyah bahwa Nabi SAW suatu kali sholat malam, beliau
sholat hingga kedua kakinya bengkak-bengkak karena lamanya sholat dan qiyamul
lail. Aisyah bertanya “wahai Rasulullah!
Mengapa engkau lakukan demikian, padahal Allah SWT mengampuni dosamu yang telah
lalu dan akan datang?” Rasulullah SAW menjawab “tidak sebaiknyakah aku menjadi hamba-Nya yang selalu bersyukur” (HR. Muttafaq’alaih)
Tindakan Rasulullah yang mendirikan qiyamul lail sampai bengkak kakinya.
Merupakan cerminan kesyukuran beliau. Tindakkan nabi ini menjadi argumentasi bahwa
syukur tidak cukup hanya sebatas lisan. Kesungguhan dan keseriusan amaliah
seorang hamba dalam ketaatan, itulah cermin kualitas syukur sebenarnya.
Itulah sebabnya beliau ajarkan kepada kita untuk membaca doa setelah
kita menyelesaikan sholat:
ﺍَﻟﻠﱠﻬﻢﱠﺍﻋﻨﱢﻲﻋَﻠَﻲﺫِﻛﺮِﻙَﻭَﺷٌﻜﺮِﻙَﻭَﺣٌﺴﻦٍﻋٍﺒَﺎﺩَﺗِﻚ
“Ya Allah, jadikanlah aku orang yang selalu
berdzikir, selalu bersyukur dan mengabdi kepada-Mu dengan baik”. (HR. Abu Dawud dan Nasai)
Kemalasan dan sikap-sikap tidak memperhatikan ibadah kepada Allah SWT,
sama artinya dengan melukai dan mengurangi kesyukuran itu sendiri. Amalan
sunnah saja Rasulullah lakukan demikian serius dan beliau hubungkan dengan rasa
syukur, begitu pula dengan amalan yang wajib beliau lebih serius lagi.
### Senantiasa Beristighfar
Istilah istighfar memiliki akar kata yaitu ghafara-yaghfiru yang berarti menutup. Istigfar juga berasal dari
kata ghafru yang artinya tutup. Ghufran atau magfirah dari Allah SWT maknanya adalah Allah memberi seorang hamba
penghalang atau penutup dari sisksa-Nya. Allah sendiri disebut Ghafir atau Ghaffar yaitu Dzat yang menutupi dosa hamba-Nya atau mengampuni
dosa hamba-Nya.
Jadi, istigfar adalah aktifitas seorang hamba memohon kepada Allah SWT
dengan lisan dan tindakan, disertai dengan niat agar Allah menutup atau
menghalanginya dari siksa, setelah menutupi kesalahan dan kehilafahannya. Manusia
dianjurkan untuk selalu beristigfar, sebab dirinya selalu berada dalam kondisi
rawan atau kondisi yang terpengaruhi oleh ajakan iblis dan pengaruh jahat dari
sesama manusia.
Mengucapkan istigfar adalah tradisi manusia-manusia pilihan termasuk
para nabi. Setelah nabi Adam merasakan bersalah, ia ucapkan penyesalan dan
memohon ampunan ¨
Keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami
sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami,
niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi”. (Qs. Al-A’raf [7]: 23).
Nuh juga mengharapkan ampunan-Nya setelah bertanya tanpa ilmu.
Nuh berkata:
Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada
Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. dan Sekiranya Engkau
tidak memberi ampun kepadaKu, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaKu,
niscaya aku akan Termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Hud [11]: 47).
Nabi Dawud pun tersungkur minta ampun.
Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada
Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (QS. Shad [38]: 24).
Nabi Sulaiman pun minta ampun dan kerajaan.
Ia berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku
kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku” (QS. Shad [38]: 35).
Dan banyak sekali contoh lainnya dimana orang-orang sholeh dan para nabi
memohon ampunan kepada tuhannya.
Istigfar maknanya bukan hanya memohon ampunan, tetapi salah satu jalan
untuk lebih dekat dengan Allah melalui lisan kita. Jika hari-hari kita selalu
beristigfar kepadanya, apa yang kita minta pasti Allah akan kabulkan, hanya
persoalan waktu saja apakah ia cepat ataukan ditunda dulu.
Rasulullah
SAW menyatakan bahwa istigfar adalah solusi multi masalah. Beliau brsabda: “Barang siapa yang banyak beristigfar,
niscaya Allah memberikan kelapangan baginya dari setiap kecemasan, jalan keluar
dari setiap kesempitan serta memberikan rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangka”. (HR. Ahmad).
Terkadang Allah punya cara sendiri agar hambanya mau beristigfar
kepadanya. Karena Allah sangat rindu dengan ucapan istigfar yang keluar dari
lisan kita, yang sudah lama tidak pernah mengucapkannya lagi. Allah ingatkan
dengan berbagai keadaan supaya kita sadar bahwa Allah sangat rindu dengan kita.
Mungkin kita pernah bangga dengan pengetahuan kita, hingga mendapkan
gelar yang begitu tinggi, lantas Allah mengujinya dengan suka kelupaan. Mungkin
kita terlalu percaya diri dengan kekuatan fisik kita, hingga Allah memberi
cobaan dengan sakit-sakitan. Mungkin kita terlalu membangga-banggakan
penghasilan dan keadaan ekonomi kita, lantas Allah mengujinya dengan PHK dan
kemiskinan. Saat kita lupa itulah, Allah menegur kita dengan caranya sendiri,
sehingga kita mau beristigfar kepada-Nya. Subhanallah!
### Muhasabah
Muhasabah bermakna kesadaran diri untuk mengevaluasi ulang seluruh
perbuatan yang pernah dilakukan demi memperoleh kualitas hidup kita. Beriku
adalah hal-hal yang perlu kita evaluasi dalam hidup ini:
1.
Aqidah dan keimanan. Penyerahan diri, ketaatan
kita pada-Nya, tawakal, komunikasi dan keyakinan kita kepada Allah bahwa Dia
akan membela dan mengurusi kita.
2.
Nafsiah (pola sikap). Sudahkah kita bersabar
menghadapi keluarga, masyarakat dan medan dakwah? Apakah kita sudah bijak,
arif, santun dan adil terhadap keluarga dan orang lain? Jika belum maka
berpikirlah untuk lebih baik!
3.
Ibadah Ruhiyah. Sudah berapa juz kita membaca
Al-Quran? Sudahkah kita menjalankan amalan sunnah lainnya, tahajjut, dhuha,
dzikir, dan amalan yang lainnya dengan baik? Jika belum tingkatkanlah!
4.
Keilmuan. Berapa banyak buku yang telah dibaca tiap bulan?
Majelis ilmu yang mana yang kita datangi? Berapa kali kita berdiskusi dan
menyampaikan ilmu dalam sehari?
5.
Keadaan Finansial. Sudakah kita mengelola
keadaan ekonomi kita dengan baik? Apakah kita tahu bahwa harta yang kita
miliki, ada hak orang lain? Apakah kita sudah mengeluarkan zakatnya? Apakah
kita telah menjauhi riba dalam pengelolaan harta kita?
6.
Sosial Kemasyarakatan. Berapa panti asuhan yang
telah kita bantu? Berapa banyak harta yang kita keluarkan untuk para fukara dan
masakin? Sudahkan kita mengisikan waktu untuk berbuat baik kepada tetangga
kita?
7.
Dakwah. Sudah berapa banyak orang
yang sadar karena dakwah kita? Apakah ada berhenti berdakwah ketika ada
tantangan dakwah menghadang? Sudahkah kita berdakwah pada keluarga kita
sendiri? Sungguh ironis jika kita sibuk mengurusi orang lain agar menjadi baik,
namun lupa memperbaiki keluarga sendiri.
Berkenaan deng muhabah ini Umar bin Khaththab pernah berkata:
“Adililah diri kalian sebelum diadili,
timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Sebab perhitungan kalian dihari esok
akan lebih ringan jika kalian hari ini mau menimbang diri, dan kalian
mempersiapkan amal untuk hari ditampakannya amal secara besarbesaran.
Sebagimana firman-Nya:
Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari
keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah). (QS. Al-Haqqah [69]: 18)”
Seorang mukmin mengadili dirinya sendiri dan ia sadar bahwa dirinya akan
diadili di depan Allah, sementara orang munafik melupakan dirinya. Semoga Allah
merahmati seorang hamba yang terus mengevaluasi dirinya sebelum kedatangan
mailakatul maut yang menjemput nyawa. Ya
rabb, jadikanlah syukur, istighfar dan muhasabah kami sebagai amalan yang
terbaik disisi-Mu. [] by Didiharyono.
Perbanyak Bersyukur, Istighfar dan Muhasabah