Senin, Juni 13, 2016

Perbanyak Bersyukur, Istighfar dan Muhasabah


Cobaan dan masalah dalam kehidupan manusia tidak pernah usai, cobaan itu selalu menimpa manusia, baik yang menimpa pribadi, keluarga, bermasyarakat bahkan yang menimpa negara ini. Semestinya, setiap pribadi kembali kepada Allah SWT dan jujur menyerahkan diri serta mengakui kesalahan dan keangkuhan pada dirinya. Setelah itu kita berdoa mengampini kesalahan dan meminta kekuatan untuk tetap hidup di bawah naungan rahmat dan ridho-Nya.

Syukur, mendorong pribadi untuk lebih jeli meneropong nikmat dan keberkahan yang telah dikaruniakan Allah SWT, serta memanfaatkan nikmat itu semaksimal mungkin sehingga mendapatkan sesuatu yang berguna. Dengan memandang hal tersebut, lebih menjadikannya untuk berterima kasih. Istigfar, menuntun pribadi untuk sadar ketika dalam kejumudan dan tidak terbawa arus frustasi ketika mengahadapi kesulitan. Mau mengakui kesalahan yang dilakukan dan memohon perlindungan dari sang pencipta.
Muhasabah, evaluasi dan introspeksi diri secara total seluruh amalan kita sebelum dan sesudah kita melakukan sesuatu. Sehingga, kita betul-betul mau mengakui apakah amalan yang kita lakukan hanya untuk Allah SWT atau karena pujian manusia?
### Mensyukuri Nikmat
Syukur bermakna berterima kasih kepada yang memberikan sesuatu. Syukur juga bermakna membalas kebaikan dan memberikan pujian kepada yang telah memberikan kebaikan dan kenikmatan baik lahir maupun batin. Yang memberikan kebaikan dan kenikmatan hanyalah Allah SWT. Al-Ashfahani dalam kitabnya Mufradat al-Fazhil Qur’an menyatakan bahwa syukur adalah mengingat-ingat kenikmatan dan menampakkannya. Bentuk kesyukuran ada tiga macam yaitu:
1)  Syukur hati, dengan mengingat-ingat kenikmatan yang diberikan baik yang nampak maupun yang tidak nampak. Iman, nafas, nyawa, darah dan seluruh organ yang kita miliki.
Coba kita renungkan dan melihat seorang pesien di Rumah Sakit yang sedang menjalani rawat inap akibat penyakit yang dideritanya. Berapa banyak kantong darah yang dibutuhkan, bantuan alat pernapasan, dan aneka vitamin yang berupa infus, semua harus terbayarkan dengan kocehan rupiah yang begitu banyak.
Belum lagi biaya transportasi, waktu, beban keluarga, beban psikologis dan lain sebagainya. Namun, sering kali kita melupakan ini semua, bahkan kita tidak menyadari bahwa betapa besar nikmat kesehatan tersebut.
Oleh karena itu, kesehatan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk melakukan hal-hal yang baik dan mengoptimalisasikan ibadah, jangan sampai digunakan untuk berbuat maksiat dan hal-hal yang penuh dengan kesia-siaan. Kelalaian inilah yang disebut dengan kufur nikmat.
2)  Syukur lisan, dengan memuji sang memberi nikmat. Inilah mengapa setiap selesai melakukan aktifitas, agama mengajarkan untuk mengucapkan pujian. Tiap kali berpakaian kita memuji-Nya, sebab betapa banyak orang yang tidak memiliki pakaian.
Saat kita mendapatkan gajian kita juga memuji-Nya,  sebab begitu banyak orang yang tidak memiliki gaji. Tiap kali kita berjalan dan melangkah kemana saja yang kita sukai, kita juga memuji-Nya, sebab banyak orang yang tidak bisa berjalan.
Oleh karena itu, dimanapun dan kemanapun kita berada, dalam kondisi apapun kita, maka kita tetap bersyukut dan terus memuji-Nya. Sebab inilah yang bisa kita lakukan sebagai seorang hamba yang terus bersyukur.  
3)  Syukur anggota badang, dengan membalas nikmat sesuai dengan kewajiban masing-masing organ tersebut.
Tentunya yang paling utama adalah bersyukur saat menjalankan perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Semua anggota badan harus ruku’ dan sujud (sholat) kepada-Nya sebagi bukti kesyukuran atas nikmat yang telah diberikan.
Abu Hazim pernah ditanya, apa kesyukuran mata? Yaitu apabila melihat kebaikan, sampaikanlah. Dan jika engkau melihat aib seseorang, tolong rahasiakan. Apa kesyukuran telinga? Jika engkau mendengar kebaikan, seriuslah mendengarkan dan jika engkau mendengar keburukan, tolong engkau pendam.
Lalu ditanya apa kesyukuran tangan? Jangan engkau ambil sesuatu yang bukan haknya, dan jangan engkau cegah hak Allah padanya. Dan apa kesyukuran perut? Bersabar dengan apa yang di bawahnya dan mencari ilmu untuk yang di atasnya.
Ia ditanya lagi, dan apa kesyukuran dua kaki? Yaitu jika engkau melihat kebaikan yang menjadikanmu senang, engkau pergunakan, dan jika engkau lihat keburukan yang menjadikanmu risih, engkau hentikan.
Bersyukur kepada Allah SWT tidak cukup hanya dengan memuji, tetapi harus disertai oleh tindakan-tindakan yang menjadikan ridho dan senang bagi pemberi kebaikan itu sendiri yaitu Allah SWT.
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim [14]: 7)
Syukur adalah moral dan pribadi para nabi. Mereka menjadikan syukur itu sebagai kebiasaan yang terus mereka lakukan baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Allah SWT mengomentari nabi Ibrahim as.
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif[1]. dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan). (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus”. (QS. An-Nahl [16]: 120-121)
Allah SWT juga mensifati nabi Nuh as dengan kata syakir yaitu manusia yang selalu bersyukur. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
“(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur”. (QS. Isra’ [17]: 3)
Allah SWT juga mengomentari sifat yang dimiliki oleh nabi Sulaiman as sebagaimana firman-Nya: 
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab[2]: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia". (QS. An-Naml [27]: 40)
Allah SWT juga menyatakan bahwa melakukan amalan-amalan yang baik adalah refleksi, cermin dan ukuran dari kesukuran itu sendiri. Allah SWT memerintahkan kepada keluarga Dawud as untuk bersyukur:
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakiNya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba’ [34]: 13)
Ketika Rasululllah SAW menjelaskan ayat di atas, beliau bersabda “Dawudpun bersujud sebagai wujud taubatnya, dan kita bersujud sebagai tanda kesyukuran”.
Diriwayatkan oleh ummul mukminin Aisyah bahwa Nabi SAW suatu kali sholat malam, beliau sholat hingga kedua kakinya bengkak-bengkak karena lamanya sholat dan qiyamul lail. Aisyah bertanya “wahai Rasulullah! Mengapa engkau lakukan demikian, padahal Allah SWT mengampuni dosamu yang telah lalu dan akan datang?” Rasulullah SAW menjawab “tidak sebaiknyakah aku menjadi hamba-Nya yang selalu bersyukur” (HR. Muttafaq’alaih)
Tindakan Rasulullah yang mendirikan qiyamul lail sampai bengkak kakinya. Merupakan cerminan kesyukuran beliau. Tindakkan nabi ini menjadi argumentasi bahwa syukur tidak cukup hanya sebatas lisan. Kesungguhan dan keseriusan amaliah seorang hamba dalam ketaatan, itulah cermin kualitas syukur sebenarnya.
Itulah sebabnya beliau ajarkan kepada kita untuk membaca doa setelah kita menyelesaikan sholat:
ﺍَﻟﻠﱠﻬﻢﱠﺍﻋﻨﱢﻲﻋَﻠَﻲﺫِﻛﺮِﻙَﻭَﺷٌﻜﺮِﻙَﻭَﺣٌﺴﻦٍﻋٍﺒَﺎﺩَﺗِﻚ
Ya Allah, jadikanlah aku orang yang selalu berdzikir, selalu bersyukur dan mengabdi kepada-Mu dengan baik”. (HR. Abu Dawud dan Nasai)
Kemalasan dan sikap-sikap tidak memperhatikan ibadah kepada Allah SWT, sama artinya dengan melukai dan mengurangi kesyukuran itu sendiri. Amalan sunnah saja Rasulullah lakukan demikian serius dan beliau hubungkan dengan rasa syukur, begitu pula dengan amalan yang wajib beliau lebih serius lagi.
### Senantiasa Beristighfar
Istilah istighfar memiliki akar kata yaitu ghafara-yaghfiru yang berarti menutup. Istigfar juga berasal dari kata ghafru yang artinya tutup. Ghufran atau magfirah dari Allah SWT maknanya adalah Allah memberi seorang hamba penghalang atau penutup dari sisksa-Nya. Allah sendiri disebut Ghafir atau Ghaffar yaitu Dzat yang menutupi dosa hamba-Nya atau mengampuni dosa hamba-Nya.
Jadi, istigfar adalah aktifitas seorang hamba memohon kepada Allah SWT dengan lisan dan tindakan, disertai dengan niat agar Allah menutup atau menghalanginya dari siksa, setelah menutupi kesalahan dan kehilafahannya. Manusia dianjurkan untuk selalu beristigfar, sebab dirinya selalu berada dalam kondisi rawan atau kondisi yang terpengaruhi oleh ajakan iblis dan pengaruh jahat dari sesama manusia.
Mengucapkan istigfar adalah tradisi manusia-manusia pilihan termasuk para nabi. Setelah nabi Adam merasakan bersalah, ia ucapkan penyesalan dan memohon ampunan ¨
Keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi”. (Qs. Al-A’raf [7]: 23).
Nuh juga mengharapkan ampunan-Nya setelah bertanya tanpa ilmu.
Nuh berkata: Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. dan Sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaKu, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaKu, niscaya aku akan Termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Hud [11]: 47).
Nabi Dawud pun tersungkur minta ampun.
Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (QS. Shad [38]: 24).
Nabi Sulaiman pun minta ampun dan kerajaan.
Ia berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku” (QS. Shad [38]: 35).
Dan banyak sekali contoh lainnya dimana orang-orang sholeh dan para nabi memohon ampunan kepada tuhannya.
Istigfar maknanya bukan hanya memohon ampunan, tetapi salah satu jalan untuk lebih dekat dengan Allah melalui lisan kita. Jika hari-hari kita selalu beristigfar kepadanya, apa yang kita minta pasti Allah akan kabulkan, hanya persoalan waktu saja apakah ia cepat ataukan ditunda dulu.
Rasulullah SAW menyatakan bahwa istigfar adalah solusi multi masalah. Beliau brsabda: “Barang siapa yang banyak beristigfar, niscaya Allah memberikan kelapangan baginya dari setiap kecemasan, jalan keluar dari setiap kesempitan serta memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka”. (HR. Ahmad).
Terkadang Allah punya cara sendiri agar hambanya mau beristigfar kepadanya. Karena Allah sangat rindu dengan ucapan istigfar yang keluar dari lisan kita, yang sudah lama tidak pernah mengucapkannya lagi. Allah ingatkan dengan berbagai keadaan supaya kita sadar bahwa Allah sangat rindu dengan kita.
Mungkin kita pernah bangga dengan pengetahuan kita, hingga mendapkan gelar yang begitu tinggi, lantas Allah mengujinya dengan suka kelupaan. Mungkin kita terlalu percaya diri dengan kekuatan fisik kita, hingga Allah memberi cobaan dengan sakit-sakitan. Mungkin kita terlalu membangga-banggakan penghasilan dan keadaan ekonomi kita, lantas Allah mengujinya dengan PHK dan kemiskinan. Saat kita lupa itulah, Allah menegur kita dengan caranya sendiri, sehingga kita mau beristigfar kepada-Nya. Subhanallah!
### Muhasabah
Muhasabah bermakna kesadaran diri untuk mengevaluasi ulang seluruh perbuatan yang pernah dilakukan demi memperoleh kualitas hidup kita. Beriku adalah hal-hal yang perlu kita evaluasi dalam hidup ini:
1.    Aqidah dan keimanan. Penyerahan diri, ketaatan kita pada-Nya, tawakal, komunikasi dan keyakinan kita kepada Allah bahwa Dia akan membela dan mengurusi kita.
2.    Nafsiah (pola sikap). Sudahkah kita bersabar menghadapi keluarga, masyarakat dan medan dakwah? Apakah kita sudah bijak, arif, santun dan adil terhadap keluarga dan orang lain? Jika belum maka berpikirlah untuk lebih baik!
3.    Ibadah Ruhiyah. Sudah berapa juz kita membaca Al-Quran? Sudahkah kita menjalankan amalan sunnah lainnya, tahajjut, dhuha, dzikir, dan amalan yang lainnya dengan baik? Jika belum tingkatkanlah!
4.    Keilmuan. Berapa  banyak buku yang telah dibaca tiap bulan? Majelis ilmu yang mana yang kita datangi? Berapa kali kita berdiskusi dan menyampaikan ilmu dalam sehari?
5.    Keadaan Finansial. Sudakah kita mengelola keadaan ekonomi kita dengan baik? Apakah kita tahu bahwa harta yang kita miliki, ada hak orang lain? Apakah kita sudah mengeluarkan zakatnya? Apakah kita telah menjauhi riba dalam pengelolaan harta kita?
6.    Sosial Kemasyarakatan. Berapa panti asuhan yang telah kita bantu? Berapa banyak harta yang kita keluarkan untuk para fukara dan masakin? Sudahkan kita mengisikan waktu untuk berbuat baik kepada tetangga kita?
7.    Dakwah. Sudah berapa banyak orang yang sadar karena dakwah kita? Apakah ada berhenti berdakwah ketika ada tantangan dakwah menghadang? Sudahkah kita berdakwah pada keluarga kita sendiri? Sungguh ironis jika kita sibuk mengurusi orang lain agar menjadi baik, namun lupa memperbaiki keluarga sendiri.
Berkenaan deng muhabah ini Umar bin Khaththab pernah berkata:
Adililah diri kalian sebelum diadili, timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Sebab perhitungan kalian dihari esok akan lebih ringan jika kalian hari ini mau menimbang diri, dan kalian mempersiapkan amal untuk hari ditampakannya amal secara besarbesaran. Sebagimana firman-Nya:
Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah). (QS. Al-Haqqah [69]: 18)”
Seorang mukmin mengadili dirinya sendiri dan ia sadar bahwa dirinya akan diadili di depan Allah, sementara orang munafik melupakan dirinya. Semoga Allah merahmati seorang hamba yang terus mengevaluasi dirinya sebelum kedatangan mailakatul maut yang menjemput nyawa. Ya rabb, jadikanlah syukur, istighfar dan muhasabah kami sebagai amalan yang terbaik disisi-Mu. [] by Didiharyono.



[1] Hanif Maksudnya: seorang yang selalu berpegang kepada kebenaran dan tak pernah meninggalkannya.
[2] Al kitab di sini Maksudnya: ialah kitab yang diturunkan sebelum Nabi Sulaiman ialah Taurat dan Zabur.

0 komentar: