Oleh: Muh. Didi Haryono (The Leader ICS)
“Ibarat satu mobil yang dipenuhi oleh
pencuri, salah satu pencopet mencuri dompet penumpang kemudian mereka menuduh
pencopet tersebut pencuri padahal mereka juga adalah para pencuri”
Kalimat
tersebut adalah kalimat kemarahan rakyat melihat kasus korupsi yang terjadi di
negara ini yang tidak pernah selesai dan tidak ada jeranya.
Dalam
prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas,
oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak dan logis.
Disamping itu, sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti.
Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai
baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk
dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard
kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang
kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam
golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan
menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Korupsi
termasuk ke dalam bagian ekstra ordinary
crime (kejahatan luar biasa) sebagaimana terorisme dan narkoba, sehingga
solusinya pun harus diselesaikan secara luar biasa dan memberikan sanksi yang
luar biasa. Maka dibentuk KPK (komisi pemberantasan korupsi) sebagai lembaga
khusus yang akan manpu menyelesaikan kasus korupsi tersebut. Keberadaan KPK
dinilai penting dalam penanganan kasus korupsi meskipun penegakannya saling
tumpang-tindih dengan kepolisian dan kejaksaan. Sebagai lembaga khusus KPK
memiliki peran dalam mengeksekusi pelaku kejahatan korupsi tersebut, sehingga
diharapakan pada saat proses perkara dipengadilan memberikan sanksi yang tegas.
Berkaitan
dengan itu, penulis tidak menilai gagal tetapi memiliki sedikit kemajuan dengan
tertangkapnya aktor-aktor korupsi tersebut mulai dari pegawai IIIb (Gayus
Tambunan), mantan bendahara partai demokrat (Nazaruddin), Jendral 2 bintang, presiden
partai politik, menpora, dan banyak lagi yang lainnya. Tetapi bukan berarti
penilaian tersebut bahwa KPK adalah lembaga super
body yang tidak pernah melakukan suatu kesalahan sehingga perlu dikontrol. Dan
tentunya kita menawarkan islam sebagai aturan yang mempu menberikan efek jera
kepada para koruptor.
Jika
kita memonitoring kasus korupsi yang terjadi negeri ini tidak pernah ada
selesainya dengan harapan mampu menyelesaikan kasus korupsi, tapi sayangnya
tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Banyak pernyataan yang didengar baik
dari masyarakat awal mapun akademisi bahwa budaya korupsi yang terjadi dinegara
ini susah untuk diselesaikan karena sudah mengakar. Terlebih lagi kasus korupsi
tidak memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi. Korupsi dinegeri ini
cukup memprihatinkan bahkan semua yang ada dinegeri ini bisa dikorup, impor
daging sapi dikorupsi, korupsi waktu sudah jadi biasa, yang lebih menghebohkan
lagi Al-qur’an kitab kuci juga dikorup. Itu menandakan bahwa apa saja bisa
dikorupsi selama yang ada dalam otak dan pikiran mereka adalah korupsi.
Indonesia
sakarat karena semua yang dimiliki oleh bangsa saat ini habis dikorup oleh
pemegang jabatan. Tentunya, itu sangat memiluhkan dan memalukan bagi bangsa
ini. Kita pasti merasa malu jika berkenalan dengan teman-teman luar negeri dan
menyebut berasal dari Indonesia mereka pun sepontan menyebut Indonesia sebagai
negeri kaya yang subur korupsinya. Sungguh memiluhkan! Penulis melihat ada
beberapa hal yang menjadi akar masalah terjadinya korupsi dinegeri ini, yaitu
sebagai berikut:
1.
Mental yang buruk
Kurangnya
kesadaran tentang kebaikan ditambah lagi dengan keinginan hidup mewah menjadi
spirit untuk melakukan korup tersebut. Mental seperti ini dipengaruhi oleh
budaya sekularisme dengan anggapan bahwa hidup di dunia dengan foya-foya semata,
tanpa ada aturan tuhan yang mengatur. Mental tersebut akan melahirkan
sifat-sifat tercela yang jauh dari kebenaran, sehingga aturan Allahpun tidak
dihiraukan. Ada pertanyaan dari masyarakat yang tanyakan kepada penulis “kasus
korupsi inpor sapi yang melibatan mantan presiden partai dakwah (PKS), apakah
mentalnya buruk?” kemudian masyarakat tersebut menjawab pertanyaannya sendiri “tentu
tidak mereka itu kan sering menyampaikan ceramah dan menasehati orang”. Kemudian
penulis menjawab “jika kita melihat aktifitas dakwah dan yang mereka lakukan itu
merupakan kewajiban yang diemban oleh umat islam, tapi mereka juga berpeluang
untuk melakukan kesalahan (dosa) baik yang kecil maupun yang besar. Pada saat
itu juga akhlak yang terpuji langsung berubah dengan cepat menjadi akhlak atau
mental yang rusak sampai mereka sadar dan tidak mengulanginya lagi. Mungkin mereka
lupa kepada Allah sehingga mereka ditegur agar kembali ke jalan yang benar”.
2.
Memiliki kekuasaan
“Mumpung ada kekuasaan yang didapat,
kesempatan ini tidak boleh dibiarkan”. Kalimat ini membenarkan perilaku
elit politik yang rakus dengan materi sehingga dalam kesempatan tersebut tidak
mereka sia-siakan. Jika kita survei semua kasus korupsi yang terjadi di negara
kita, hampir separuh bahkan lebih semuanya dilakukan oleh oknum yang memiliki
kekuasaaan. Kekuasaan dijadikan sebagai sarana untuk melakukan tindakan
sewenang-wenang dan melalaikan amanah rakyak. Jika pemegang kekuasaan
kelakuannya seperti ini maka pantaslah jika masyarakat menilainya dengan penguasa
yang “tidak bermoral”.
3.
Lemahnya penegakan hukum
Kadang kita
melihat dalam penegakan hukum hanyalah sandiwara. Indikasinya banyak
penyelesaikan masalah korupsi yang bertahun-tahun tidak ada selesainya,
misalkan kasus Century yang sampai saat ini belum selesai dan belum ditetapkan
tersangkanya. Apalagi didukung dengan banyaknya hakim yang bisa disuap oleh
tersangka.
4.
Pengawasan yang lemah
Pengamat politik Universitas Jember Rachmat Hidayat mengatakan
bahwa adanya perilaku yang melakukan korupsi akibat lemahnya pengawasan
terhadap pejabat negara tersebut. Revitalisasi lembaga pengawasan karena selama ini
tidak berjalan optimal, sehingga menyebabkan peluang korupsi cukup besar.
Bahkan, korupsi bisa dilakukan berjamaah antara kepala daerah dengan anggota
dewan. Misalkan, pada saat pemilu belum sepenuhnya berjalan baik karena
calon kepala daerah dan calon legislatif harus membayar biaya politik yang
cukup besar kepada parpol yang mengusungnya.
Fungsi parpol di Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan
baik, bahkan tidak sedikit kepala daerah dan anggota dewan menjadi mesin 'ATM'
bagi keuangan parpol. Sehingga, seiapapun bisa menilai penegakan hukum di
Indonesia dalam memberantas korupsi masih lemah dan hukuman untuk koruptor masih terlalu ringan, sehingga pejabat negara tidak jera melakukan tindak
pidana korupsi.
5.
Sanksi kurang tegas
Sanksi hukum
yang tidak memberikan efek jera. Sehingga, korupsi di negeri ini terkesan
lambat dan tidak pernah selesai serta mengakar karena sudah menjadi budaya. Ada
sebuah cerita nyata “seorang pencuri ayam dimasukan ke dalam bui oleh aparat. Sampai
dipenjara pencuri tadi ditanya oleh temannya “kamu masuk penjara mencuri apa?” “saya
mencuri ayam” sahutnya. “Kami kan pencuri mobil ko satu sel dengan pencuri
ayam? Makanya kalau mencuri tak usah usah tanggung-tanggung lagian hukumannya
juga sama” sahut temanya. Dalam hari pencuri tersebut bilang “betul juga ya!”
sehingga hal tersebut memotifasinya untuk mencuri yang lebih besar lagi dan
belajar kepada temannya yang sama-sama di penjara”. Dari cerita tersebut bisa
kita bayangkan beginilah kondisi pemberian sanksi hukum di indonesia.
Mungkin kita
ingat dengan Mbak Minah yang mencuri buah Kakao hanya untuk dimakannya kemudian
diberikan hukuman 3 bulan masa tahanan sementara para koruptor disiapkan kamar
tahanan seperti hotel bintang lima yang di dalamnya dipenuhi oleh perabot yang
cukup lengkap. Jika menggunakan logika matematika, mbak Minah mencuri 3 buah
kakao dengan harga Rp 3.000,- dikurung
dengan masa percobaan 3 bulan maka yang korupsi Rp.12.000.000.000,- seharusnya
diberi hukuman 1.000.000 (satu juta) tahun penjara, jika tidak selesai di dunia
di lanjutkan di akhirat.
6.
Salah mengadopsi sistem
Substansi hukum
yang berkaitan dengan produk undang-undang yang dihasilkan, tidak memberikan materi
yang jelas dalam mengontrol penegakan hukum dalam hal memberantasan korupsi. Sistem
yang diadopsi oleh sebuah negara yang sangat penting menentukan keberhasilan
sebuah negara. Undang-undang yang merupakan produk sistem negara kita banyak
yang menilai menuai suatu kegagalan karena semakin hari semakin bertambah
masalahnya bahkan tidak memberikan efek jera sehingga orang tidak melakukan hal
yang serupa. Banyak materi undang-undang yang multi-tafsir sehingga
penafsirannya tergantung dari pemegang kendali kekuasaan. Hal tersebut sangat
berbahaya bagi rakyat yang memiliki tafsiran yang berbeda. Contoh, ungkapan
“ancaman negara” dalam UU-Kamnas (keamanan nasional) tidak ada kejelasan ciri
atau parameter apa yang menjadi ancaman tersebut. Apakah orang yang mengkritik
kebijakan pemerintah yang keliru dinilai menjadi ancaman negara? Ini kan sangat
berbahaya. Dan penulis kantakan bahwa masih banyak materi undang-undang yang
dinilai multi-tafsir seperti itu.
Jika sistem yang
diadopsi salah maka akan terjadi banyak kesalahan di dalamnya. Indonesia yang
mengadopsi sistem demokrasi-sekuler dan KUHP yang ditinggalkan oleh Belanda
yang justru tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh bangsa yang mayoritas
muslim. Demokrasi yang kedaulatannya ada ditangan rakyat yang artinya benar dan
salah, baik dan buruk ditentukan oleh rakyat. Ini justru bertentangan dengan
pandangan islam bahwa kedaulatan ada ditangan syara’ berarti benar dan salah
ada di tanggan syara’.
Kesalahan
pengadopsian sistem sekuler inilah yang menjadi biang keladi maraknya kasus
korupsi dan kemaksiatan lainnya yang terjadi dinegeri ini. Sehingga diperukan
sistem yang baik baik yaitu sistem yang datang dari yang maha benar Allah
(syari’ah) yang akan membawa negara ini menjadi negara yang berberkah (baldatun thoibatun wa rabbun gafur).
Mengutip pendapat Prof. Yusril Izra Mahendra bahwa dalam sistem yang jelek,
orang baik akan dipaksa jadi jelek. Sebaliknya, dalam sistem yang baik, orang
buruk akan dipaksa menjadi baik. Begitulah syari’ah yang akan mengatur manusia
yang jelek menjadi manusia yang memiliki karakter dan akhlak yang baik.
Solusinya:
Menurut
Muhammad Ismail Yusanto (2003) ada sejumlah cara ditawarkan syariat Islam dalam
upaya penumpasan budaya korupsi. Pertama,
sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan
sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak
mencukupi. para birokrat juga manusia.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang
diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu,
karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud dibelakangnya, yakni
bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Saat Abdullah
bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi
Khaybar---separo untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi---datang
orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan
lebih dari separo untuk orang Yahudi.
Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin
Rawahah, Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak
memakannya. Mendengar ini, orang Yahudi berkata, Karena itulah (ketegasan
Abdullah) langit dan bumi tegak (Imam Malik dalam al-Muwatta). Tentang suap
Rasulullah bersabda, Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap. (HR Abu
Dawud).
Ketiga, perhitungan kekayaan. Perhitungan kekayaan dan
pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab
menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi Khalifah, Umar
menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat
kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan, bukan jaksa atau orang lain,
diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara
yang halal.
Bila gagal, Umar memerintahkan pejabat itu
menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada Baitul Mal atau
membagi dua kekayaan itu separo untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk
negara. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik
yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.
Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan
berhasil bila para pemimpin dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan
takwa, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan takwa
pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi
dengan pejabat lain untuk menutupi kejahatannya, Allah SWT pasti melihat
semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban.
Kelima, hukuman setimpal. Pada dasarnya, orang akan takut
menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan
hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah, hukuman
setimpal atas korupstor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan
korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman tazir berupa tasyhir atau pewartaan
(dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin di tayangkan di televisi),
penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan
menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Demi menumbuhkan keberanian rakyat
mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, Apabila
kalian melihatku menyimpang dari jaln Islam, maka luruskan aku walaupun dengan
pedang.
Dari paparan di atas, sangat jelas sikap Islam dalam soal korupsi.
Islam sangat menentang perilaku korupsi dan Islam juga menawarkan jalan keluar
dalam upaya memberantas korupsi yang sudah membudaya di negeri ini. Wallahu a’lam bi shawab
Budaya korupsi, Indonesia Sekarat!