Sabtu, Februari 16, 2013

Budaya korupsi, Indonesia Sekarat!

Oleh: Muh. Didi Haryono (The Leader ICS)


Ibarat satu mobil yang dipenuhi oleh pencuri, salah satu pencopet mencuri dompet penumpang kemudian mereka menuduh pencopet tersebut pencuri padahal mereka juga adalah para pencuri
Kalimat tersebut adalah kalimat kemarahan rakyat melihat kasus korupsi yang terjadi di negara ini yang tidak pernah selesai dan tidak ada jeranya.
Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak dan logis. Disamping itu, sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Korupsi termasuk ke dalam bagian ekstra ordinary crime (kejahatan luar biasa) sebagaimana terorisme dan narkoba, sehingga solusinya pun harus diselesaikan secara luar biasa dan memberikan sanksi yang luar biasa. Maka dibentuk KPK (komisi pemberantasan korupsi) sebagai lembaga khusus yang akan manpu menyelesaikan kasus korupsi tersebut. Keberadaan KPK dinilai penting dalam penanganan kasus korupsi meskipun penegakannya saling tumpang-tindih dengan kepolisian dan kejaksaan. Sebagai lembaga khusus KPK memiliki peran dalam mengeksekusi pelaku kejahatan korupsi tersebut, sehingga diharapakan pada saat proses perkara dipengadilan memberikan sanksi yang tegas.
Berkaitan dengan itu, penulis tidak menilai gagal tetapi memiliki sedikit kemajuan dengan tertangkapnya aktor-aktor korupsi tersebut mulai dari pegawai IIIb (Gayus Tambunan), mantan bendahara partai demokrat (Nazaruddin), Jendral 2 bintang, presiden partai politik, menpora, dan banyak lagi yang lainnya. Tetapi bukan berarti penilaian tersebut bahwa KPK adalah lembaga super body yang tidak pernah melakukan suatu kesalahan sehingga perlu dikontrol. Dan tentunya kita menawarkan islam sebagai aturan yang mempu menberikan efek jera kepada para koruptor.
Jika kita memonitoring kasus korupsi yang terjadi negeri ini tidak pernah ada selesainya dengan harapan mampu menyelesaikan kasus korupsi, tapi sayangnya tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Banyak pernyataan yang didengar baik dari masyarakat awal mapun akademisi bahwa budaya korupsi yang terjadi dinegara ini susah untuk diselesaikan karena sudah mengakar. Terlebih lagi kasus korupsi tidak memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi. Korupsi dinegeri ini cukup memprihatinkan bahkan semua yang ada dinegeri ini bisa dikorup, impor daging sapi dikorupsi, korupsi waktu sudah jadi biasa, yang lebih menghebohkan lagi Al-qur’an kitab kuci juga dikorup. Itu menandakan bahwa apa saja bisa dikorupsi selama yang ada dalam otak dan pikiran mereka adalah korupsi.
Indonesia sakarat karena semua yang dimiliki oleh bangsa saat ini habis dikorup oleh pemegang jabatan. Tentunya, itu sangat memiluhkan dan memalukan bagi bangsa ini. Kita pasti merasa malu jika berkenalan dengan teman-teman luar negeri dan menyebut berasal dari Indonesia mereka pun sepontan menyebut Indonesia sebagai negeri kaya yang subur korupsinya. Sungguh memiluhkan! Penulis melihat ada beberapa hal yang menjadi akar masalah terjadinya korupsi dinegeri ini, yaitu sebagai berikut:
1.    Mental yang buruk
Kurangnya kesadaran tentang kebaikan ditambah lagi dengan keinginan hidup mewah menjadi spirit untuk melakukan korup tersebut. Mental seperti ini dipengaruhi oleh budaya sekularisme dengan anggapan bahwa hidup di dunia dengan foya-foya semata, tanpa ada aturan tuhan yang mengatur. Mental tersebut akan melahirkan sifat-sifat tercela yang jauh dari kebenaran, sehingga aturan Allahpun tidak dihiraukan. Ada pertanyaan dari masyarakat yang tanyakan kepada penulis “kasus korupsi inpor sapi yang melibatan mantan presiden partai dakwah (PKS), apakah mentalnya buruk?” kemudian masyarakat tersebut menjawab pertanyaannya sendiri “tentu tidak mereka itu kan sering menyampaikan ceramah dan menasehati orang”. Kemudian penulis menjawab “jika kita melihat aktifitas dakwah dan yang mereka lakukan itu merupakan kewajiban yang diemban oleh umat islam, tapi mereka juga berpeluang untuk melakukan kesalahan (dosa) baik yang kecil maupun yang besar. Pada saat itu juga akhlak yang terpuji langsung berubah dengan cepat menjadi akhlak atau mental yang rusak sampai mereka sadar dan tidak mengulanginya lagi. Mungkin mereka lupa kepada Allah sehingga mereka ditegur agar kembali ke jalan yang benar”.
2.    Memiliki kekuasaan
Mumpung ada kekuasaan yang didapat, kesempatan ini tidak boleh dibiarkan”. Kalimat ini membenarkan perilaku elit politik yang rakus dengan materi sehingga dalam kesempatan tersebut tidak mereka sia-siakan. Jika kita survei semua kasus korupsi yang terjadi di negara kita, hampir separuh bahkan lebih semuanya dilakukan oleh oknum yang memiliki kekuasaaan. Kekuasaan dijadikan sebagai sarana untuk melakukan tindakan sewenang-wenang dan melalaikan amanah rakyak. Jika pemegang kekuasaan kelakuannya seperti ini maka pantaslah jika masyarakat menilainya dengan penguasa yang “tidak bermoral”.
3.    Lemahnya penegakan hukum
Kadang kita melihat dalam penegakan hukum hanyalah sandiwara. Indikasinya banyak penyelesaikan masalah korupsi yang bertahun-tahun tidak ada selesainya, misalkan kasus Century yang sampai saat ini belum selesai dan belum ditetapkan tersangkanya. Apalagi didukung dengan banyaknya hakim yang bisa disuap oleh tersangka.
4.    Pengawasan yang lemah
Pengamat politik Universitas Jember Rachmat Hidayat mengatakan bahwa adanya perilaku yang melakukan korupsi akibat lemahnya pengawasan terhadap pejabat negara tersebut. Revitalisasi lembaga pengawasan karena selama ini tidak berjalan optimal, sehingga menyebabkan peluang korupsi cukup besar. Bahkan, korupsi bisa dilakukan berjamaah antara kepala daerah dengan anggota dewan. Misalkan, pada saat pemilu belum sepenuhnya berjalan baik karena calon kepala daerah dan calon legislatif harus membayar biaya politik yang cukup besar kepada parpol yang mengusungnya.
Fungsi parpol di Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan baik, bahkan tidak sedikit kepala daerah dan anggota dewan menjadi mesin 'ATM' bagi keuangan parpol. Sehingga, seiapapun bisa menilai penegakan hukum di Indonesia dalam memberantas korupsi masih lemah dan hukuman untuk koruptor masih terlalu ringan, sehingga pejabat negara tidak jera melakukan tindak pidana korupsi.
5.    Sanksi kurang tegas
Sanksi hukum yang tidak memberikan efek jera. Sehingga, korupsi di negeri ini terkesan lambat dan tidak pernah selesai serta mengakar karena sudah menjadi budaya. Ada sebuah cerita nyata “seorang pencuri ayam dimasukan ke dalam bui oleh aparat. Sampai dipenjara pencuri tadi ditanya oleh temannya “kamu masuk penjara mencuri apa?” “saya mencuri ayam” sahutnya. “Kami kan pencuri mobil ko satu sel dengan pencuri ayam? Makanya kalau mencuri tak usah usah tanggung-tanggung lagian hukumannya juga sama” sahut temanya. Dalam hari pencuri tersebut bilang “betul juga ya!” sehingga hal tersebut memotifasinya untuk mencuri yang lebih besar lagi dan belajar kepada temannya yang sama-sama di penjara”. Dari cerita tersebut bisa kita bayangkan beginilah kondisi pemberian sanksi hukum di indonesia.
Mungkin kita ingat dengan Mbak Minah yang mencuri buah Kakao hanya untuk dimakannya kemudian diberikan hukuman 3 bulan masa tahanan sementara para koruptor disiapkan kamar tahanan seperti hotel bintang lima yang di dalamnya dipenuhi oleh perabot yang cukup lengkap. Jika menggunakan logika matematika, mbak Minah mencuri 3 buah kakao dengan harga Rp 3.000,-  dikurung dengan masa percobaan 3 bulan maka yang korupsi Rp.12.000.000.000,- seharusnya diberi hukuman 1.000.000 (satu juta) tahun penjara, jika tidak selesai di dunia di lanjutkan di akhirat.
6.    Salah mengadopsi sistem
Substansi hukum yang berkaitan dengan produk undang-undang yang dihasilkan, tidak memberikan materi yang jelas dalam mengontrol penegakan hukum dalam hal memberantasan korupsi. Sistem yang diadopsi oleh sebuah negara yang sangat penting menentukan keberhasilan sebuah negara. Undang-undang yang merupakan produk sistem negara kita banyak yang menilai menuai suatu kegagalan karena semakin hari semakin bertambah masalahnya bahkan tidak memberikan efek jera sehingga orang tidak melakukan hal yang serupa. Banyak materi undang-undang yang multi-tafsir sehingga penafsirannya tergantung dari pemegang kendali kekuasaan. Hal tersebut sangat berbahaya bagi rakyat yang memiliki tafsiran yang berbeda. Contoh, ungkapan “ancaman negara” dalam UU-Kamnas (keamanan nasional) tidak ada kejelasan ciri atau parameter apa yang menjadi ancaman tersebut. Apakah orang yang mengkritik kebijakan pemerintah yang keliru dinilai menjadi ancaman negara? Ini kan sangat berbahaya. Dan penulis kantakan bahwa masih banyak materi undang-undang yang dinilai multi-tafsir seperti itu.
Jika sistem yang diadopsi salah maka akan terjadi banyak kesalahan di dalamnya. Indonesia yang mengadopsi sistem demokrasi-sekuler dan KUHP yang ditinggalkan oleh Belanda yang justru tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh bangsa yang mayoritas muslim. Demokrasi yang kedaulatannya ada ditangan rakyat yang artinya benar dan salah, baik dan buruk ditentukan oleh rakyat. Ini justru bertentangan dengan pandangan islam bahwa kedaulatan ada ditangan syara’ berarti benar dan salah ada di tanggan syara’.
Kesalahan pengadopsian sistem sekuler inilah yang menjadi biang keladi maraknya kasus korupsi dan kemaksiatan lainnya yang terjadi dinegeri ini. Sehingga diperukan sistem yang baik baik yaitu sistem yang datang dari yang maha benar Allah (syari’ah) yang akan membawa negara ini menjadi negara yang berberkah (baldatun thoibatun wa rabbun gafur). Mengutip pendapat Prof. Yusril Izra Mahendra bahwa dalam sistem yang jelek, orang baik akan dipaksa jadi jelek. Sebaliknya, dalam sistem yang baik, orang buruk akan dipaksa menjadi baik. Begitulah syari’ah yang akan mengatur manusia yang jelek menjadi manusia yang memiliki karakter dan akhlak yang baik.
Solusinya:
Menurut Muhammad Ismail Yusanto (2003) ada sejumlah cara ditawarkan syariat Islam dalam upaya penumpasan budaya korupsi. Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak mencukupi. para birokrat juga manusia.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud dibelakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar---separo untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi---datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi.
Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya. Mendengar ini, orang Yahudi berkata, Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak (Imam Malik dalam al-Muwatta). Tentang suap Rasulullah bersabda, Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap. (HR Abu Dawud).
Ketiga, perhitungan kekayaan. Perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi Khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan, bukan jaksa atau orang lain, diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal.
Bila gagal, Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada Baitul Mal atau membagi dua kekayaan itu separo untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.
Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan takwa pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutupi kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban. 
Kelima, hukuman setimpal. Pada dasarnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah, hukuman setimpal atas korupstor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman tazir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin di tayangkan di televisi), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, Apabila kalian melihatku menyimpang dari jaln Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang. 
Dari paparan di atas, sangat jelas sikap Islam dalam soal korupsi. Islam sangat menentang perilaku korupsi dan Islam juga menawarkan jalan keluar dalam upaya memberantas korupsi yang sudah membudaya di negeri ini. Wallahu a’lam bi shawab

0 komentar: