Oleh: Roni
Ruslan (Lajnah Tsaqafiyyah
DPP HTI)
Pendahuluan
Maraknya kejahatan seksual saat ini tidak bisa
dilepaskan dari lingkungan, dimana kejahatan tersebut tumbuh dan berkembang.
Kejahatan seksual, termasuk pelecehan seksual terhadap kaum perempuan, bukan
merupakan fenomena tunggal, dan berdiri sendiri. Tetapi dipicu oleh banyak
faktor. Di Mesir, menurut laporan http://www.digital.ahram.org.eg
disebutkan, bahwa setiap tahun ada 20,ooo kasus perkosaan. Menurut laporan yang
sama, 90% pelakunya adalah pengangguran. Sebelum ini, kita juga menyaksikan
demo besar-besaran di India yang menuntut perlindungan terhadap kaum perempuan
dari tindak kejahatan seksual.
Fenomena ini jelas bukan merupakan fenomena
tunggal, sehingga diselesaikan hanya dengan menindak pelaku kejahatannya, tanpa
memperhatikan faktor lain yang menjadi akar masalahnya. Namun, fenomena ini
merupakan dampak dari sistem kehidupan yang diterapkan saat ini, baik di Barat
maupun di negeri-negeri kaum Muslim. Sistem Kapitalisme, dengan azas manfaatnya
(naf’iyyah), telah melahirkan kebebasan bertingkah laku (hurriyyah
syakhshiyyah), kebebasan berekspresi (hurriyah ta’bîr), kebebasan beragama (hurriyah
tadayyun), kebebasan memiliki (huriyyah tamalluk) di tengah-tengah masyarakat.
Inilah sistem yang paling bertanggungjawab terhadap lahir dan berkembangnya
fenomena saat ini.
Kejahatan Seksual: Fenomena Komplek
Kejahatan seksual (jarîmah jinsiyyah) ini pada
dasarnya dipicu oleh hasrat dan dorongan seks (dawâfi’ jinsiyyah) yang
membuncah. Hasrat dan dorongan seks ini lahir dari naluri seksual (gharizatu
an-nau’) yang ada pada diri manusia. Naluri ini sebenarnya merupakan fitrah
dalam diri manusia, yang bisa terangsang lalu menuntut dipenuhi. Rangsangan
muncul karena dua faktor: Pertama, pemikiran (al-fikr), termasuk fantasi
(al-wahm) dan khayalan (at-takhayyul); Kedua, fakta (lawan jenis) bagi
masing-masing pria dan wanita.
Maraknya perempuan yang berpakaian minim, dan
mengumbar aurat, bukan hanya rambut dan leher, tetapi belahan dada, bahkan
tidak jarang hingga buah dada, diikuti dengan perut dan pusarnya, hingga paha
sampai betis dan tumitnya, semuanya itu merupakan fakta yang bisa merangsang
lawan jenisnya, yaitu kaum pria. Ditambah maraknya gambar, film, tayangan dan
jejaring sosial yang menayangkan adegan seks. Semuanya ini tentu menjadi pemicu
lahirnya rangsangan seks yang begitu kuat. Rangsangan ini kemudian diikuti
fantasi seks hingga mendorong tindakan. Tindakan ini bisa menjerumuskan
pelakunya dalam kejahatan seks, mulai dari pelecehan hingga perkosaan.
Harus diakui, ini merupakan dampak dari sistem
sosial Kapitalis (an-nidhâm al-ijtimâ’î ar-ra’samâlî), yang membuka kebebasan
bertingkah laku (hurriyah syakhshiyyah), dimana hubungan antara pria dan wanita
begitu bebas, hingga tanpa batas. Hubungan bebas pria dan wanita tanpa batas
ini melengkapi komoditas, fakta dan fantasi seks yang ada. Bagi orang-orang
yang berduit mungkin bisa memenuhinya dengan kencan semalam, tetapi bagi yang
tidak, maka tindakan yang bisa dilakukan akan memangsa korban yang lemah.
Terjadilah tindak perkosaan (jarîmah ightishâb) itu.
Juga perlu dicatat, sistem sosial Kapitalis ini
juga tidak berdiri sendiri, karena sistem ekonomi Kapitalis (an-nidhâm
al-iqtishâdî ar-ra’samâli) yang juga memberikan kontribusi. Terkait dengan
barang dan jasa yang diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di
tengah-tengah masyarakat, sistem ini tidak mempunyai standar baku, selain azas
manfaat (benefit), dimana setiap barang dan jasa yang mempunyai nilai guna
(utility value) bisa diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan, tanpa melihat
halal dan haram. Barang dan jasa bisa dianggap mempunyai nilai guna (utility
value), jika ada yang menginginkan (raghbah). Karena itu, gambar, film termasuk
sex toys dan layanan seks diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di
tengah-tengah masyarakat. Bahkan bisa menjadi komoditas bisnis yang sangat
menggiurkan.
Belum lagi kebebasan memiliki (hurriyah tamalluk)
barang dan jasa tersebut yang memang dijamin oleh sistem ekonomi Kapitalis ini.
Di satu sisi, sistem ekonomi ini juga melahirkan banyak orang sibuk, dengan
tingkat tekanan yang tinggi (stress). Pada saat yang sama, agama tidak
dijadikan sebagai pondasi kehidupan, sebagai dampak dari Sekularisasi, maka
solusi yang mereka tempuh adalah dugem, minum dan hiburan yang menawarkan
layanan seks semalam. Di lain pihak, sistem ekonomi ini melahirkan banyak
pengangguran dan orang-orang kepepet. Dengan tingkat tekanan hidup dan
rangsangan seksual yang tinggi, didukung dengan tidak adanya pondasi agama,
maka cara singkat dan paling mudah adalah memangsa orang-orang lemah di sekitar
mereka. Terjadilah perkosaan terhadap anak-anak di bawah umur, dan sebagainya.
Di sisi lain, karena tekanan hidup yang sama, kaum perempuan tidak jarang
menjadi komoditas seks yang dijajakan. Terjadikan praktik prostitusi, mulai
dari prostitusi jalanan hingga hotel berbintang. Semuanya ini jelas merupakan
dampak sistemik dari sistem Kapitalis ini.
Solusi Islam: Ganti Rezim dan Sistem
Diakui atau tidak, sistem Kapitalis ini bisa
berjalan karena ada yang menerapkan, baik suka atau terpaksa. Bagi kebanyakan
kaum Muslim, boleh jadi mereka menerapkan sistem ini karena terpaksa dan
dipaksa. Tetapi, tentu tidak bagi para penguasa, baik yang duduk di eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Karena mereka adalah para penguasa yang menjadi
penyelenggara negara, dan bebas menentukan pilihan sistem apa yang akan mereka
terapkan.
Ketika sistem Kapitalis ini mereka pilih, maka
diakui atau tidak, sesungguhnya para penguasa itu merupakan antek negara-negara
Kapitalis penjajah. Karena itu, ketika umat Islam ini menyadari kebobrokan
sistem yang diterapkan di tengah-tengah mereka, maka mereka juga harus sadar,
bahwa sistem ini masih diterapkan karena ada rezim yang menerapkannya. Maka,
mengganti sistem yang bobrok itu dengan sistem Islam adalah solusi, tetapi itu
bukan satu-satunya. Karena di sana masih ada rezim yang menjadi kaki tangan
negara-negara penjajah. Karena itu, mereka juga harus diganti dengan
orang-orang yang ikhlas dan amanah. Inilah solusi satu-satunya yang akan bisa
mengakhiri mata rantai kejahatan skesual tersebut.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana Islam
menyelesaikan kejahatan seperti ini? Maka, bisa dikembalikan kepada tiga pihak:
individu, masyarakat dan negara. Dengan diterapkannya sistem Islam, dan
dijadikannya Islam sebagai dasar kehidupan, baik dalam bermasyarakat maupun
bernegara, maka fakta hingga fantasi seksual sebagaimana yang marak saat ini
tidak akan ada lagi. Interaksi di tengah-tengah masyarakat yang melibatkan pria
dan wanita juga diatur sedemikian, sehingga berbagai pintu pelecehan, perzinaan
hingga perkosaan tersebut akan tertutup rapat. Selain sistem tersebut, negara
juga menerapkan sanksi yang tegas dan keras terhadap siapa saja yang melakukan
kejahatan tersebut.
Islam juga memberikan hak kepada individu yang
menjadi korban pelecehan hingga perkosaan tersebut untuk melakukan perlawanan.
Nabi saw bersabda, “Man qutila duna ‘aradhihi fahuwa syahid.” (Siapa saja yang
terbunuh, karena membela kehormatannya, maka dia pun mati syahid) (Hr. ).
Hadits ini berisi ikhbâr (berita), tetapi dengan konotasi amr (perintah).
Karena itu, siapa saja yang kehormatannya dinodai, harus melakukan perlawanan.
Jika karena itu, dia terbunuh, maka dia pun dinyatakan sebagai orang yang mati
syahid. Perintah yang sama juga berlaku untuk keluarga korban, bukan hanya
korban. Pada zaman Khalifah ‘Umar bin al-Khatthab, ada seorang perempuan hendak
diperkosa, kemudian dia melawan dengan cara memukul pelakunya dengan batu
hingga tewas. Ketika perempuan yang menjadi korban ini diajukan ke pengadilan,
dan terbukti bahwa tindakannya membunuh pelaku tadi karena membela diri dari
tindak perkosaan yang hendak dilakukan terhadap dirinya, maka ‘Umar pun
membebaskannya. Ini di satu pihak.
Sanksi Tegas untuk Pelaku
Di pihak lain, Islam juga memberlakukan sanksi
yang tegas dan keras terhadap pelaku tindak perkosaan tersebut. Dalam hal ini
para ulama’ menyatakan, bahwa sanksi bagi pelaku tindak perkosaan ini adalah
had zinâ, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya Muhshan
(sudah menikah); dan dijulid (dicambuk) 100 kali dan diekspos selama 1 tahun,
jika pelakunya Ghair Muhshan (belum menikah). Sebagian ulama’ menambahkan
kewajiban membayar mahar kepada perempuan yang menjadi korban.
Imam Malik berkata, “Menurut kami pria yang
memperkosa perempuan, baik gadis maupun janda, jika perempuan tersebut wanita
merdeka, maka pelakunya wajib membayar mahar yang sepadan denganya. Jika wanita
tersebut budak, maka pelakunya wajib membayar kurang dari harga (budak)-nya.
Sanksi ini berlaku bagi pelaku perkosaan, sementara korban perkosaan tidak ada
sanksi apapun.” (Malik, al-Muwatha’, Juz II/734)
Hal yang sama dinyatakan oleh Imam as-Syâfi’î.
Selain kewajiban membayar mahar, juga sanksi had zinâ. Pendapat ini juga
dinyatakan Imam al-Laits, dan diriwayatkan bahwa Sayyidina ‘Alî bin Abî Thâlib
juga menyatakan hal yang sama. Sedangkan Imam Abû Hanîfah dan Sufyân at-Tsaurî
menyatakan, bahwa pelakunya hanya dikenai sanksi had zinâ, sementara mahar
tidak wajib dia bayar. Perlu dicatat, bahwa had zinâ ini merupakan hak Allah
(haqqu-Llah), sedangkan mahar adalah hak manusia (haqq[un] Adami). Dalam hal
ini, kedua-duanya boleh dikumpulkan dalam satu hukuman, sebagaimana orang yang
mencuri, selain dikenai sanksi potong tangan (had sariqah), yang merupakan
haqqu-Llah, juga diwajibkan mengembalikan harga yang dicuri, yang merupakan
haq[un] Adami. (Lihat, al-Muntaqâ Syarah al-Muwatha’, Juz V/268-269).
Ibn ‘Abd al-Barr menyatakan, “Para ulama’
sepakat, bahwa pria yang memperkosa wajib dikenai sanksi had zina, jika bisa
dibuktikan dengan pembuktian yang mengharuskan had tersebut, atau si pelaku
mengakuinya. Jika tidak, maka dia harus dikenai sanksi (maksudnya, jika had
zina tidak bisa diberlakukan, karena dia tidak mengaku, tidak ada 4 saksi, maka
hakim bisa menjatuhkan sanksi dan ta’zir kepadanya yang bisa mencegahnya dan
orang seperti dia melakukan perkosaan). Bagi korban tidak ada sanksi, jika
benar bahwa pelaku memaksanya dan menindihnya (sehingga dia tidak berdaya),
antara lain diketahui melalui jeritan dan teriakan minta tolong perempuan
tersebut.” (Ibn ‘Abd al-Bârr, al-Istidzkâr, Juz VII/146).
Ini jika pelaku perkosaan tersebut melakukan
kejahatannya tanpa menakuti, mengancam dan menghunus senjata kepada korban.
Jika dia menakuti, mengancam dan menghunus senjata, maka tindakan pelaku bisa
dimasukkan dalam kategori hirâbah. Maka, bisa dibunuh, disalib, dipotong tangan
dan kakinya secara menyilang, atau diasingkan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh
Allah dalam al-Qur’an (Q.s. al-Maidah: 33). Wallahu a’lam.
KEJAHATAN SEKSUAL: Sebab dan Solusinya dalam Pandangan Islam