Rabu, November 27, 2013

Masih Ada Ruang 2


‘assalamualaikum... m’f, aku menganggu serpihan malammu. ku skdar hx ingin tau. Gmna kbarmu, Lin?’. Begitu tulisan yang terdapat di kotak masuk pesan yang berbunyi saat aku duduk bersama ibu dekat jendela tadi. Di atas meja ku ambil gelas berisi air putih, ku teguk dan ku simpan lagi sebelum ku lanjutkan dengan merebahkan punggungku di atas kasur. Apa aku harus membalas sms ini, ya? Tanya hati ku pada waktu itu. Aku terbangun kembali, berjalan mendekati jendela menarik horden lalu memandang keluar jendela. Para pemuda di sudut jalan sana begitu entengnya mengeluarkan suara gelak tawa tanpa ada rasa beban, tanpa rasa takut, dan tanpa ada yang ia risaukan. Ya, tanpa ada yang ia risaukan.

Kontras dengan keadaanku saat ini, sambil berjalan menuju kasurku setelah sebelumnya horden di jendela itu ku tutup lagi. Aku lama menimbang-nimbang, apakah aku harus membalas sms darinya atau tidak. Jika aku membalasnya berarti dia akan mengatakan bahwa aku masih menyimpan rasa untuknya. Tapi jika aku tidak membalasnya aku akan merasa bersalah pada diriku sendiri. Bukankah tali agama yang kuat itu dibangun atas dasar cinta dan benci karena Allah semata?, kata-kata dari ibu tadi masih terngiang di telingaku. “ting-ting... ting-ting..” bunyi hp yang sama dengan yang ku dengar pada saat aku bersama ibu di dekat jendela tadi memecah kesunyian kamar dan menghentikan kebimbangan hatiku saat itu. Untuk kedua kalinya aku mengambil hp yang ku simpan di atas tempat tidur dan sambil berbaring ku baca sms yang ada di kotak masuk.  ‘kau msih mrah pdQ, Lin? M’f Q hx ngin mxpamu aj, skli lgi m’f jk smsQ mng6ang6u mlmmu. Met istrahat’.
Huuufftt.... nafasku keluar melewati kedua bibir yang sedikit terbuka akibat tekanan dari udara dalam mulutku yang keluar bersama sedikit kebimbangan, kegelisahan. Ya, kegelisahan hatiku. Ku tarik selimut berwarna sedikit pink dan ku matikan lampu yang saklarnya berada tidak jauh dari sudut kasurku. Malam itu, mataku tertutup dengan hati yang masih gelisah walaupun sebelumnya telah ku panjatkan secarik do’a. Ya, secarik do’a dengan harapan Allah menghadiahkanku dengan mimpi yang menenangkan hati walau aku sendiri tak terlalu yakin akan terkabulnya hal itu karena ku tahu Cinta telah terbungkus bersama gelapnya malam.
Losari, 02 februari 17.15 
Pantai Losari adalah sebuah pantai yang terletak di sebelah barat kota Makassar. Pantai ini menjadi tempat bagi warga Makassar untuk menghabiskan waktu pada pagi, sore dan malam hari menikmati pemandangan matahari tenggelam yang sangat indah.
Dahulu, pantai ini dikenal dengan pusat makanan laut dan ikan bakar di malam hari (karena para penjual dan pedagang hanya beroperasi pada malam hari), serta disebut-sebut sebagai warung terpanjang di dunia (karena warung-warung tenda berjejer di sepanjang pantai yang panjangnya kurang lebih satu kilometer).
Salah satu penganan khas Makassar yang dijajak di warung-warung tenda itu adalah pisang epe (pisang mentah yang dibakar, kemudian dibuat pipih, dan dicampur dengan air gula merah. Paling enak dimakan saat masih hangat). Saat ini warung-warung tenda yang menjajakan makanan laut tersebut telah dipindahkan pada sebuah tempat di depan rumah jabatan Walikota Makassar yang juga masih berada di sekitar Pantai Losari.
Pada sore hari, semua orang bisa menikmati proses atau detik-detik tenggelamnya matahari sunset.
‘Hai, sudah lama di sini? Ma’af, Aku membuatmu menunggu’. Suara yang tak asing itu menyapaku di waktu senja sore itu sedikit memerah yang sinarnya merangkul mesra di wajahku. ‘owh tidak, Aku baru aja datang kok’ jawabku sedikit datar padanya. Malam ketujuh setelah kebersamaanku bersama ibu disudut jendela, ia mengirim sebuah pesan singkat melalui ponselku bahwa ia ingin bertemu denganku di sini. Ya, di sini. Losari, Tempat pertama kali kami jadian. Aku dan Dia sama-sama berdiri menghadap ke arah laut sambil menikmati tenggelamnya mentari secara perlahan-lahan. Sunyi, sepi, terdiam dalam keramaian. Tak ada sepatah kata pun keluar dari kami berdua setelah jawabanku tadi, seperti kertas kosong yang tak tercoreti oleh kata-kata sang pujangga yang mungkin kehabisan tinta untuk menulis luapan hatinya. ‘kenapa kau kembali?’ suaraku memulai percakapannya meskipun aku tetap melihat ke arah matahari yang sedikit mencium lautan. ‘Aku hanya ingin meminta ma’af pada seorang perempuan yang dulu pernah aku kecewakan, mungkin sedikit terdengar egois.
Tapi Aku sungguh ingin meminta ma’af padanya meski kehadiranku tak diharapkan lagi’kalimat itu keluar dari dirinya begitu datar, tapi sedikit ada penyesalan yang tersirat di dalamnya.’Apakah kau mendengar ketika Aku memanggilmu saat kau pergi selama 5 tahun? Apakah kau tau bahwa tetesan air mata ini terus mengalir tanpa henti hanya untuk meratapi kepergianmu? Dan sekarang kau hadir ingin aku mema’afkan apa yang kau lakukan selama ini?’ Aku menolehkan wajahku padanya dan melanjutkan kata-kataku ‘terlalu bodoh jika aku mema’afkan hal itu, Bur!’Aku mengutarakan kekecawaanku. Sebab, jangankan Aku, orang sekaliber Ibnu Hazm Al-Andalusi, ulama dan pujangga besar Islam abad V  saja begitu rapuh dan goyah ketika buhul mahabbahnya terputus. Syahdan, saat usianya belum genap 20 tahun, ia mencintai dan menyayangi Nu’am, perempuan sahayanya juga pernah dirundung pili ketika ditinggal oleh orang yang ia sayangi, Aku pun sama seperti mereka, bahkan mungkin lebih. Pikirku.
Ia sedikit menunduk dan sesaat sebelum Matahari mulai menghilang di balik punggung samudra ia menatap wajahku dalam-dalam sebelum berujar ‘Kau boleh memilih untuk tidak mema’afkanku, Lin. Karena itu merupakan hakmu dan Aku telah membuatmu terluka. Aku paham. Tapi,Tidak semua cinta bersatu. Bukan semua orang memiliki cinta yang didambakan. Bukan semua orang dicintai oleh insan yang dicintainya. Nasib kita berbeda-beda. Ada suka ada duka. Ada pahit ada manis. Oleh karena itu, apa yang perlu dilakukan seandainya cinta tidak kesampaian? Tak berlanjut dan putus di tengah jalan?. Sakit hati memang tak dapat terelekan, Setiap hati yang luka berdarah, pecah berkecai mampu mengundang titik jernih mengalir dari kedua kelopak mata. Menangis dan itu bukan berarti hanya kau yang mengalaminya, Lin? Sungguh, Aku pun merasakan hal yang sama seperti yang kau rasakan.
Tapi Aku ingin kau tahu bahwa nyanyian Rinduku padamu mengalahkan kesedihan hati itu dan bahkan dengan nyanyian Rindu ini Aku mampu melangkahkan kakiku tuk bertemu dengan seorang perempuan yang ku berharap dapat mema’afkan kesalahanku. Meskipun memang Aku sadar bahwa pernah mengecewakanmu, tapi tidak berarti bahwa Aku tak pantas untuk menerima ma’af darimu, Lin?’ kata-kata itu membuatku terdiam, tersadar bahwa mungkin Aku terlalu egois pada semua yang ada. Butiran-butiran kecil lembut mengalir begitu saja dari kedua kelopak mataku. ‘Ma’afkan Aku telah membuatmu terluka’ kata itu keluar sebelum butiran jernih itu ku hapus dari pipiku.
By: AM.Ruslan (Analisis ICS)

0 komentar: