‘assalamualaikum...
m’f, aku menganggu serpihan malammu. ku skdar hx ingin tau. Gmna kbarmu, Lin?’.
Begitu tulisan yang terdapat di kotak masuk pesan yang berbunyi saat aku duduk
bersama ibu dekat jendela tadi. Di atas meja ku ambil gelas berisi air putih,
ku teguk dan ku simpan lagi sebelum ku lanjutkan dengan merebahkan punggungku
di atas kasur. Apa aku harus membalas sms ini,
ya? Tanya hati ku pada waktu itu. Aku terbangun kembali, berjalan
mendekati jendela menarik horden lalu memandang keluar jendela. Para pemuda di
sudut jalan sana begitu entengnya mengeluarkan suara gelak tawa tanpa ada rasa
beban, tanpa rasa takut, dan tanpa ada yang ia risaukan. Ya, tanpa ada yang ia
risaukan.
Kontras dengan keadaanku saat ini, sambil
berjalan menuju kasurku setelah sebelumnya horden di jendela itu ku tutup lagi.
Aku lama menimbang-nimbang, apakah aku harus membalas sms darinya atau tidak.
Jika aku membalasnya berarti dia akan mengatakan bahwa aku masih menyimpan rasa
untuknya. Tapi jika aku tidak membalasnya aku akan merasa bersalah pada diriku
sendiri. Bukankah tali agama yang kuat itu dibangun atas dasar cinta dan benci
karena Allah semata?, kata-kata dari ibu tadi masih terngiang di telingaku.
“ting-ting... ting-ting..” bunyi hp yang sama dengan yang ku dengar pada saat
aku bersama ibu di dekat jendela tadi memecah kesunyian kamar dan menghentikan
kebimbangan hatiku saat itu. Untuk kedua kalinya aku mengambil hp yang ku
simpan di atas tempat tidur dan sambil berbaring ku baca sms yang ada di kotak
masuk. ‘kau msih mrah pdQ, Lin? M’f Q hx ngin mxpamu aj, skli lgi m’f jk
smsQ mng6ang6u mlmmu. Met istrahat’.
Huuufftt.... nafasku keluar melewati kedua
bibir yang sedikit terbuka akibat tekanan dari udara dalam mulutku yang keluar
bersama sedikit kebimbangan, kegelisahan. Ya, kegelisahan hatiku. Ku tarik
selimut berwarna sedikit pink dan ku matikan lampu yang saklarnya berada tidak
jauh dari sudut kasurku. Malam itu, mataku tertutup dengan hati yang masih
gelisah walaupun sebelumnya telah ku panjatkan secarik do’a. Ya, secarik do’a
dengan harapan Allah menghadiahkanku dengan mimpi yang menenangkan hati walau
aku sendiri tak terlalu yakin akan terkabulnya hal itu karena ku tahu Cinta
telah terbungkus bersama gelapnya malam.
Losari, 02 februari 17.15
Pantai Losari adalah
sebuah pantai yang terletak di sebelah barat kota Makassar. Pantai ini menjadi
tempat bagi warga Makassar untuk menghabiskan waktu pada pagi, sore dan malam
hari menikmati pemandangan matahari tenggelam yang sangat indah.
Dahulu, pantai ini dikenal dengan pusat
makanan laut dan ikan bakar di malam hari (karena para penjual dan pedagang
hanya beroperasi pada malam hari), serta disebut-sebut sebagai warung
terpanjang di dunia (karena warung-warung tenda berjejer di sepanjang pantai
yang panjangnya kurang lebih satu kilometer).
Salah satu penganan khas Makassar yang
dijajak di warung-warung tenda itu adalah pisang epe
(pisang mentah yang dibakar, kemudian dibuat pipih, dan dicampur dengan air
gula merah. Paling enak dimakan saat masih hangat). Saat ini warung-warung
tenda yang menjajakan makanan laut tersebut telah dipindahkan pada sebuah
tempat di depan rumah jabatan Walikota Makassar yang juga masih berada di
sekitar Pantai Losari.
Pada sore hari, semua orang bisa menikmati
proses atau detik-detik tenggelamnya matahari sunset.
‘Hai, sudah lama di sini? Ma’af, Aku
membuatmu menunggu’. Suara yang tak asing itu menyapaku di waktu senja sore itu
sedikit memerah yang sinarnya merangkul mesra di wajahku. ‘owh tidak, Aku baru
aja datang kok’ jawabku sedikit datar padanya. Malam ketujuh setelah
kebersamaanku bersama ibu disudut jendela, ia mengirim sebuah pesan singkat
melalui ponselku bahwa ia ingin bertemu denganku di sini. Ya, di sini. Losari,
Tempat pertama kali kami jadian. Aku dan Dia sama-sama berdiri menghadap ke
arah laut sambil menikmati tenggelamnya mentari secara perlahan-lahan. Sunyi,
sepi, terdiam dalam keramaian. Tak ada sepatah kata pun keluar dari kami berdua
setelah jawabanku tadi, seperti kertas kosong yang tak tercoreti oleh kata-kata
sang pujangga yang mungkin kehabisan tinta untuk menulis luapan hatinya.
‘kenapa kau kembali?’ suaraku memulai percakapannya meskipun aku tetap melihat
ke arah matahari yang sedikit mencium lautan. ‘Aku hanya ingin meminta ma’af
pada seorang perempuan yang dulu pernah aku kecewakan, mungkin sedikit
terdengar egois.
Tapi Aku sungguh ingin meminta ma’af padanya
meski kehadiranku tak diharapkan lagi’kalimat itu keluar dari dirinya begitu
datar, tapi sedikit ada penyesalan yang tersirat di dalamnya.’Apakah kau
mendengar ketika Aku memanggilmu saat kau pergi selama 5 tahun? Apakah kau tau
bahwa tetesan air mata ini terus mengalir tanpa henti hanya untuk meratapi
kepergianmu? Dan sekarang kau hadir ingin aku mema’afkan apa yang kau lakukan
selama ini?’ Aku menolehkan wajahku padanya dan melanjutkan kata-kataku
‘terlalu bodoh jika aku mema’afkan hal itu, Bur!’Aku mengutarakan kekecawaanku.
Sebab, jangankan Aku, orang sekaliber Ibnu Hazm
Al-Andalusi, ulama dan pujangga besar Islam abad V saja
begitu rapuh dan goyah ketika buhul mahabbahnya terputus. Syahdan, saat usianya
belum genap 20 tahun, ia mencintai dan menyayangi Nu’am, perempuan sahayanya
juga pernah dirundung pili ketika ditinggal oleh orang yang ia sayangi, Aku pun
sama seperti mereka, bahkan mungkin lebih. Pikirku.
Ia sedikit menunduk dan sesaat sebelum
Matahari mulai menghilang di balik punggung samudra ia menatap wajahku
dalam-dalam sebelum berujar ‘Kau boleh memilih untuk tidak mema’afkanku, Lin.
Karena itu merupakan hakmu dan Aku telah membuatmu terluka. Aku paham.
Tapi,Tidak semua cinta bersatu. Bukan semua orang memiliki cinta yang
didambakan. Bukan semua orang dicintai oleh insan yang dicintainya. Nasib kita
berbeda-beda. Ada suka ada duka. Ada pahit ada manis. Oleh karena itu, apa yang
perlu dilakukan seandainya cinta tidak kesampaian? Tak berlanjut dan putus di
tengah jalan?. Sakit hati memang tak dapat terelekan, Setiap hati yang luka
berdarah, pecah berkecai mampu mengundang titik jernih mengalir dari kedua kelopak
mata. Menangis dan itu bukan berarti hanya kau yang mengalaminya, Lin? Sungguh,
Aku pun merasakan hal yang sama seperti yang kau rasakan.
Tapi Aku ingin kau tahu bahwa nyanyian
Rinduku padamu mengalahkan kesedihan hati itu dan bahkan dengan nyanyian Rindu
ini Aku mampu melangkahkan kakiku tuk bertemu dengan seorang perempuan yang ku
berharap dapat mema’afkan kesalahanku. Meskipun memang Aku sadar bahwa pernah
mengecewakanmu, tapi tidak berarti bahwa Aku tak pantas untuk menerima ma’af
darimu, Lin?’ kata-kata itu membuatku terdiam, tersadar bahwa mungkin Aku
terlalu egois pada semua yang ada. Butiran-butiran kecil lembut mengalir begitu
saja dari kedua kelopak mataku. ‘Ma’afkan Aku telah membuatmu terluka’ kata itu
keluar sebelum butiran jernih itu ku hapus dari pipiku.
By: AM.Ruslan (Analisis ICS)
Masih Ada Ruang 2