Sabtu, November 23, 2013

Masih Ada Ruang


Universitas Muhammadiyah Makassar, November 14.35
Dia tersenyum manis dan menanyakan keadaanku "gemana kabarmu, Lin?"
aku tersentak kaget, ada perasaan sakit dalam hatiku seakan suara itu membawaku kembali pada lorong-lorong masa lalu dimana ia memutuskan hubungan itu. 'ma'afkan aku, Lin. aku tak bermaksud menyakiti hatimu, sungguh aku sangat mencintai dan menyayangi dirimu. tapi ini harus ku terima, orang tuaku telah menjodohkan diriku dengan wanita lain yang mereka inginkan. sekali lagi, ma'afkan aku. Tuhan telah menuliskan hal lain di atas sana untukku dan kau yang tak mungkin kita tolak, termasuk bila diriku menjalani hidup bersama wanita pilihan orang tuaku bukan dirimu, Lin'. aku hanya bisa diam menerima kenyataan ini dengan linangan air mata yang tak terbendung jatuh dari pelupuk mataku. entah karena Dia lebih memilih hidup dengan wanita lain dibanding diriku atau karna kata putus itu yang membuatku menangis... Aku tak tau, tapi yang jelas dia bukan milikku lagi mulai detik itu. Itulah serpihan masa lalu yang masih ku ingat ketika dia kembali menyapaku.
'hei, pria itu menanyakan kabarmu Lin?!!' tiba-tiba pacarku membangunkan Aku dari lamunan masa laluku. 'oh.. iya, kabarku baik-baik aja. Aku pulang dulu ya?' aku langsung mengajak pacarku pulang pada saat itu tanpa memikirkan perasaannya.

HERTASNING November 21.15
 Langit malam itu agak begitu sepi. Tapi Bintang-bintang di sana masih tetap ceria, tak seperti diriku. Entah kenapa, semenjak pertemuanku dengannya tadi siang di pintu gerbang kampus bayangannya selalu hinggap dalam pikiran dan perasaanku. ‘Mungkin Tuhan telah menakdirkanku untuk hidup dengan wanita pilihan orang tuaku bukan dirimu’ kata-kata itu terus terngiang-ngiang ditelingaku, terbayang terus dalam ingatanku, dan selalu mengganggu malamku itu. Ada beribu pertanyaan muncul di benakku semenjak pertemuanku dengannya tadi siang, kenapa dulu orang tuanya ndak langsung menolak ku saja? Mengapa pada saat hubungan kami yang begitu indah itu harus ada wanita lain? Mengapa ia ndak berani bicara dengan orang tuanya bahwa dia sangat mencintaiku? Ataukah dia hanya mencintaiku setengah hati?

‘Hey, kenapa melamun, Nak? Loh, Kamu nangis?’ suara ibu mengembalikan ku dari lorong masa lalu malam itu. ‘ndak, bu’. Aku langsung mengambil tisu tuk menghapus tetesan air mataku yang jatuh. ‘kayaknya kau punya masalah? Ceritakan sama ibu, apa masalahmu siapa tau ibu bisa bantu?’. Sambil membelai rambutku dan tersenyum, ibu duduk dekatku sambil memandang keluar jendela ke arah bintang-bintang di langit. ‘ndak ada, bu’. Aku terus mengatakan bahwa aku tak punya masalah apapun, ‘aku hanya sedang memikirkan sesuatu yang tak terlalu penting’. Aku coba meyakinkan ibuku dengan alasan itu bahwa aku memang tidak punya masalah apapun yang aku hadapi saat ini. ‘kau boleh memberikan beribu alasan tuk mengatakan bahwa kau tak punya masalah, tapi matamu tak bisa berbohong pada ibu. Aku adalah ibu yang melahirkan dan membesarkamu, dan kau nak adalah bagian dari jiwaku. Sehingga apa yang kau rasakan... ibu juga bisa rasakan hal itu. Ceritakanlah, nak. Ada sesuatu yang kau pendam?’.
Aku menangis dipundak ibuku sambil berkata ‘Dia bu, dia ada dihadapanku tadi siang di pintu kampus’. ‘ada apa dengan dia, nak!’ Dengan suara lembut ibu mencoba menenangkanku walau sedikit bertanya tentang perasaan yang ku alami. Aku mulai menceritakan kembali apa yang ku alami di gerbang kampusku tadi siang. Perasaan yang bercampur rasa tak percaya bahwa dia bisa menemuiku membuat jantungku bertdetak tak beratur bagaikan bagaikan bunyi lonceng yang dipukul anak-ana kecil yang tidak tahu nada dan irama musik. ‘dia datang dengan rasa tak bersalah, Bu. Seakan apa yang ia lakukan 5 tahun yang lalu itu adalah sebuah hal yang wajar, aku tak terima’. Curhat aku pada ibu yang selalu setia mendengarkan curahan hati ku dari tadi. ‘Apakah kau masih mengingat hal itu, nak?’. ‘ iya, bu. Aku masih mengingat hal itu dan menyimpannya dengan rapi dalam hatiku‘ dengan sedikit mengingat kejadian terakhirku bersamanya Aku menjawab pertanyaan ibu tadi. ‘lalu mengapa ada detak jantung yang tak karuan saat kau bertemu kembali dengannya, nak? Tidakkah itu menandakan bahwa kau masih menyimpan sepercik cinta untuknya dalam hatimu?’. Aku tersentak mendengar mendengar hal itu. Bagaimana mungkin aku masih mencintainya padahal ia telah menghancurkan hatiku, bagaimana mungkin masih ada presaan untuknya padahal keluarganya lebih memilih wanita lain untuk anaknya ketimbang diriku, dan bagaimana mungkin aku menerimanya sedangkan aku sudah memiliki cinta yang lain di hatiku. Apakah ada 2 cinta dalam satu hati? Kalaupun ada, bagaimana hal itu bisa ku jalani? Bukankah cinta itu menafikkan yang lain dan menyanjung serta mengagungkan hanya seseorang saja dalam hati kita?. ‘tidak, bu. Aku sudah melupakan dan menutup rapat-rapat hati ku untuknya semenjak dia memutuskanku waktu itu’. Aku coba meyakinkan ibuku bahwa aku memang tak lagi mencintainya.
‘Tapi matamu memberikan isyarat akan hal itu, Lin? Kau boleh merangkai seribu kata untuk menyatakan dan meyakinkan ibu bahwa kau telah menutup rapat hatimu tapi ingat nak, Kata-kata itu sebenarnya tidak mempunyai makna untuk menjelaskan perasaan. Manusia boleh membentuk seribu kata-kata, seribu bahasa.Tapi kata-kata bukan bukti unggulnya perasaan. Cinta, sekuat apapun kau menyembunyikannya lambat laun pasti akan menyatakan dirinya sendiri meskipun dirimu menutupnya. Karena cinta itu terpendam dalam jiwa seperti api yang tersembunyi di dalam batu. Pasti akan terlihat. Cobalah belajar dari sang bintang di atas sana’. sambil menunjuk bintang lewat jendela kamarku ibu melanjutakan kata-katanya. ‘Bintang di langit sana tak pernah bertanya saat sang rembulan tak menemaninya dan saat rembulan muncul dia begitu ceria melebihi apa yang ia pancarkan pada hari sebelumnya. Bintang mampu menerima sang rembulan kembali meskipun sang rembulan tak selalu ada untuknya, pun sebaliknya jika kita berbicara masalah cinta dan perasaan. Kita terkadang menghakimi seorang kekasih atas apa yang ia lakukan yang menurut penilaian kita ia telah melakukan kesalahan yang fatal dengan menolak segala alasan yang ia kemukakan untuk meyakinkan bahwa ia melakukannya dengan terpaksa, bukan atas kehendaknya semata dan juga terkadang kita mengenyampingkan kondisi faktual yang ada pada saat itu mengapa ia menerima hal itu walaupun menurut ibu mungkin itulah hal terberat yang ia lakukan. Cobalah bersikap dewasa dengan mengenyampingkan perasaan sakit hatimu atas apa yang ia lakukan, bukankah menutup diri pada seseorang itu atas dasar rasa dendam & benci itu dilarang dalam agama kita? Bukankah agama mengajarkan bahwa Tali keimanan yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah?’. Kalimat yang bertubi-tubi dari ibu membuatku terdiam dan merenung atas apa yang telah aku lakuksn pada diriku dan dirinya.
‘ting-ting... ting-ting..’ bunyi hp ku pertanda ada pesan masuk yang mengakhiri kebersamaan kami malam itu.

BERSAMBUNG....
 By: AM.Ruslan (Analisis ICS)

0 komentar: