Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasi Syariah.com)
Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du. Arab
sejak masa silam, sebelum kedatangan Islam, telah menggunakan kalender
qamariyah (kalender berdasarkan peredaran bulan). Mereka sepakat tanggal 1
ditandai dengan kehadiran hilal. Mereka juga menetapkan nama bulan sebagaimana
yang kita kenal. Mereka mengenal bulan Dzulhijah sebagai bulan haji, mereka
kenal bulan muharam, safar, dan bulan-bulan lainnya.
Bahkan mereka juga
menetapkan adanya 4 bulan suci: Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab.
Selama 4 bulan suci ini, mereka sama sekali tidak boleh melakukan peperangan.
Hanya
saja masyarakat jazirah Arab belum memiliki angka tahun. Mereka tahu tanggal
dan bulan, tapi tidak ada tahunnya. Biasanya, acuan tahun yang mereka gunakan
adalah peristiwa terbesar yang terjadi ketika itu. Kita kenal ada istilah tahun
gajah, karena pada saat itu terjadi peristiwa besar, serangan pasukan gajah
dari Yaman oleh raja Abrahah. Tahun Fijar, karena ketika itu terjadi perang
Fijar. Tahun renovasi Ka’bah, karena ketika itu Ka’bah rusak akibat banjir dan
dibangun ulang. Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian tokohnya
sebagai acuan, semisal; 10 tahun setelah meninggalnya Ka’ab bin Luai.
Keadaan
semacam ini berlangsung terus sampai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan Khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Ketka
itu, para sahabat belum memiliki acuan tahun. Acuan yang mereka gunakan untuk
menamakan tahun adalah peristiwa besar yang terjadi ketika itu. Berikut
beberapa nama tahun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
1.
Tahun izin (sanatul idzni), karena ketika itu kaum muslimin diizinkan Allah
untuk berhijrah ke Madinah.
2.
Tahun perintah (sanatul amri), karena mereka mendapat perintah untuk memerangi
orang musyrik.
3.
Tahun tamhish, artinya ampunan dosa. Di tahun ini Allah menurunkan firmanNya,
ayat 141 surat Ali Imran, yang menjelaskan bahwa Allah mengampuni kesalahan
para sahabat ketika Perang Uhud.
4.
Tahun zilzal (ujian berat). Ketika itu, kaum muslimin menghadapi berbagai
cobaan ekonomi, keamanan, krisis pangan, karena perang khandaq dan
seterusnya. (Arsyif Multaqa Ahlul Hadits, Abdurrahman al-Faqih, 14 Maret
2005)
Sampai
akhirnya di zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah. Di
tahun ketiga beliau menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat
dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai
gubernur untuk daerah Bashrah. Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:
إنه
يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان،
فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي
“Telah datang
kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin, sementara kami tidak tahu
kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang
ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini
ataukah tahun kemarin.”
Kemudian
Umar mengumpulkan para sahabat, beliau berkata kepada mereka:
ضعوا
للناس شيئاً يعرفونه
“Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa
mereka jadikan acuan”.
Ada
yang usul, kita gunakan acuan tahun bangsa Romawi. Namun usulan ini dibantah,
karena tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat
sejak zaman Dzul Qornain (Mahdhu ash-Shawab, 1:316, dinukil dari Fashlul
Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)
Kemudian
disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayib, beliau
menceritakan:
Umar
bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum,
beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun.” Kemudian Ali bin Abi Thalib
mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali adalah ketika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian
Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama
(al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi).
Mengapa
bukan tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi acuan?
Jawabannya
disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai berikut:
أن
الصحابة الذين أشاروا على عمر وجدوا أن الأمور التي يمكن أن يؤرخ بها أربعة، هي
مولده ومبعثه وهجرته ووفاته، ووجدوا أن المولد والمبعث لا يخلو من النزاع في تعيين
سنة حدوثه، وأعرضوا عن التأريخ بوفاته لما يثيره من الحزن والأسى عند المسلمين،
فلم يبق إلا الهجرة
Para sahabat
yang diajak musyawarah oleh Umar bin Khatthab, mereka menyimpulkan bahwa
kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam kalender ada empat: tahun
kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tahun ketika diutus sebagai
rasul, tahun ketika hijrah, dan tahun ketika beliau wafat. Namun ternyata, pada
tahun kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari
perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu. Mereka juga menolak jika tahun
kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum
muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau (Fathul Bari,
7:268).
Abu
Zinad mengatakan:
استشار
عمر في التاريخ فأجمعوا على الهجرة
“Umar
bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk kalender Islam. Mereka sepakat
mengacu pada peristiwa hijrah (Mahdzus Shawab, 1:317, dinukil dari Fashlul
Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)
Karena
hitungan tahun dalam kalender Islam mengacu kepada hijrah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, selanjutnya kalender ini dinamakan kalender hijriah.
Setelah
mereka sepakat, perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka bermusyawarah, bulan apakah yang
dijadikan sebagai bulan pertama.
Pada
musyawarah tersebut, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengusulkan
agar bulan pertama dalam kalender Hijriah adalah Muharam. Karena beberapa
alasan:
a.
Muharam merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab di masa masa
silam.
b.
Di bulan Muharam, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu
haji ke baitullah.
c.
Pertama kali munculnya tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharam. Karena pada
bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah
yang kedua. (Simak keterangan Ibn Hajar dalam Fathul Bari, 7:268). Allahu
a’lam
Sejarah Penetapan Kalender Hijriyah