Jumat, Mei 02, 2014

Mencontohi Ketegasan dan Kemuliaan Sa’ad Bin Muadz

Sa’ad bin Muadz adalah seorang sahabat dari bani Asyhal dari kalangan Anshar. Beliau masuk islam ketika dakwah diamanahkan kepada Mush’ab bin Umair untuk menyampaikan islam di Yastrib (Madinah). Ketika Mush’ab bin Umair tiba di Madinah, ia tinggal dirumahnya As’ad bin Zurarah (anak bibinya Sa’ad bin Muadz dari pihak ibu). Ini merupakan awal aktifitas dakwah yang terjadi di Yastrib pada saat itu.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZaHPe2hNaED3cU9U9oV_lPKkBFhiNMJQ1-Vig5PRnxF49f-tc-ry8zbhX7CTuuwfmYKIO5HF11hAZUR1ZqTd6hOgdllFbNZfpXTHSsUM7b50nBjcyWzUQvu_ALtxXiK4w9zDcPpm62OA/s1600/mujahiddesert2ux0.jpgMasuk islamnya Sa’ad bin Muadz bermula ketika Usaid bin Hudhair masuk islam, padahal Usaid bin Hudhair adalah orang yang diamanahkan oleh Sa’ad agar mengusir orang yang menemani sepupunya yaitu Mush’ab bin Umair. Menurut Sa’ad bahwa kedatangannya membuat orang-orang dari bani Asyhal tambah bodoh, inilah yang membuat Sa’ad murka kepada utusan Rasulullah tersebut.

***
Ketika Sa’ad mendengar informasi masuk islamnya Usaid bin Hudhair, raut wajahnya langsung berubah dan menunjukan kemarahannya. Kemudin Usaid berkata “saya telah berbicara dengan kedua orang ini, maka demi Allah! Aku tidak melihat suatu kejelekan pada keduannya dan aku telah melarang mereka berdua, lalu kedunya menjawab kami akan mengerjakan apa yang engkau sukai”. Inilah komunikasi politik yang disampaikan oleh Usaid agar Sa’ad tidak jadi murka kepadanya.
Maka Sa’ad pun bangkit dalam keadaan yang sangat marah dan mengambil tombaknya. Takala beliau melihat mereka berdua dalam keadaan tenang, ia pun menjadi tahu bahwa Usaid hanya ingin membuatnya mendengar dari keduanya. Lalu ia berkata kepada As’ad bin Zurarah ”wahai abu Umamah, demi Allah! Kalaulah bukan karena adanya kekerabatan antara aku dan engkau, aku tidak akan melakukan hal ini, apakah kamu ingin meliputi kami dengan sesuatu yang tidak kami senangi dikampung kami?” As’ad pun terdiam dan tidak menjawab pertanyaan sepupunya tersebut.
Kemudian Mush’ab berkata kepada Sa’ad “maukah anda duduk, lalu mendengar! Jika engkau menyukai perkataan saya dan menyenanginya, engkau bisa menerimanya. Namun, jika engkau tidak menyukainya, kami akan berhenti dari apa yang tidak engkau senangi”. Sa’ad langsung berkata “engkau telah berbuat adil”. Kemudian ia menancapkan tombaknya, lalu duduk. Setelah itu Mush’ab memaparkan islam dan membacakan Al-Qur’an kepadanya. Keduanya berkata ”kami telah melihat, dem Allah pada wajahnya ada tanda keislamanya sebelum ia berbicara karena pancarannya dan mudahnya ia menerima tawaran kami”.
***
Dengan masuk islamnya Sa’ad, bersinarlah di Madinah mata hari baru, Yang pada garis edarnya akan berputar dan beriringan qalbu yang tidak sedikit jumlahnya, dan bersama Nabi Muhammad SAW menyerahkan diri mereka kepada Allah Robbul’alamin. Bahkan Sa’ad bin Muadz untuk menggunakan kedudukan dan kapasitasnya  untuk menyampaikan dakwah islam secara terang-terangan.  Ini dibuktikan ketika beliau berdiri dihadapan kaumnya dan berkata “wahai bani Asyhal, menurut sepengetahuan kalian, bagaimanakah posisiku dihadapan kalian?
Mereka menjawab “Engkau adalah pemimpin kami dan orang yang paling utama pendapatnya serta orang yang paling dipercaya pertimbanganya”. Kemudian Sa’ad berkata: “Maka sesungguhnya kalian baik laki-laki maupun perempuan haram berbicara denganku hingga kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Mereka berkata: “Maka demi Allah, tidaklah masuk waktu sore pada laki-laki dan perempuan diperkampungan bani Asyhal kecuali mereka telah menjadi muslim dan muslimah”. Subhanallah begitu banyak pahala untukmu wahai Sa’ad bin Muadz. Sa’ad telah memeluk Islam, memikul tanggung jawab itu dengan keberanian dan kebesaran hatinya. Dan tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah, maka rumah-rumah kediaman Bani Abdil Asyhal, yakni kabilah Sa’ad pintunya terbuka lebar bagi golongan Muhajirin, begitu pula semua harta kekayaan mereka dapat dimanfa’atkan tanpa batas demi kemulian islam.
***
Ketika datang perintah perang Badar. Rasulullah mengumpulkan sahabat-sahabatnya dari golongan Muhajirin dan Anshar untuk bermusyawarah dengan mereka tentang urusan perang yang wajahnya dihadapkan ke arah orang-orang Anshar, seraya berkatabagaimana pendapat kalian, wahai shahabatku?”. Kemudian Sa’ad bin Mu’adz yang berdiri didekat ar-roya’ (bendera hitam) berkata: “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepada engkau, kami percaya dan mengakui bahwa apa yang engkau bawa itu adalah benar, dan telah kami berikan pula ikrar dan janji-janji kami. Maka laksanakanlah terus, ya rasulallah apa yang engkau inginkan, dan kami akan selalu bersama engkau. Dan demi Allah yang telah mengutus engkau membawa kebenaran. Seandainya engkau menghadapkan kami ke lautan ini lalu engkau menceburkan diri ke dalamnya, pastilah kami akan ikut mencebur, tak seorang pun yang akan mundur dan kami tidak keberatan untuk menghadapi musuh besok pagi. Sungguh, kami tabah dalam pertempuran dan teguh menghadapi perjuangan. Dan semoga Allah akan memperlihatkan kepada engkau tindakan kami yang menyenangkan hati. Maka mulailah kita berangkat dengan berkah Allah SWT.” Mendengar perkataan Sa’ad bin Muadz, wajah Rasul pun bersinar-sinar dipenuhi rasa ridho’ dan bangga serta bahagia.
Dan di waktu perang Uhud, yakni ketika Kaum Muslimin telah cerai-berai disebabkan serangan mendadak dari tentara musyrikin, maka takkan sulit bagi penglihatan mata untuk menemukan kedudukan Sa’ad bin Mu’adz. Kedua kakinya seolah-olah telah dipakukan ke bumi di dekat Rasulullah mempertahankan dan membelanya mati-matian, suatu hal yang agung, keberanian yang terpancar dari sikap hidupnya.
***
Kemudian datang perintah perang khandak, yang dengan jelas membuktikan keberaniannya dan kepahlawanannya. Perang khandak ini merupakan bukti nyata atas persekongkolan dan siasat licik yang dilancarkan kepada kaum muslimin tanpa ampun, yaitu dari orang-orang yang dalam bertentangan mereka, yang menghianati perjanjian atau keadilan. Rasul menginkan kiranya segolongan pemimpin Yahudi netral dan tetap pada perjanjian dengan rasulullah. Naum, secara diam-diam pergi ke Mekah lalu menghasut orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah sambil memberikan janji dan ikrar akan berdiri di samping Quraisy bila terjadi peperangan dengan orang-orang Islam nanti.
Mereka telah menghinati perjanjian dengan kaum muslimin dan membuat perjanjian dengan orang-orang musyrik Qurais, bersama-sama telah mengatur rencana dan siasat peperangan dengan kaum muslimin. Di samping itu dalam perjalanan pulang mereka ke Madinah, mereka berhasil pula menghasut suatu suku terbesar di antara suku-suku Arab yaitu kabilah Gathfan dan mencapai persetujuan untuk menggabungkan diri dengan tentara Quraisy. Inilah yang membuat kaum muslimin marah dan murka kepada yahudi bani Quraidha atas penghinatan tersebut. Maka tatkala Nabi SAW mengetahui persekongkolan jahat tersebut, beliau mengambil langkah-langkah pengamanan. Rasul memerintahkan untuk menggali khandak (parit) perlindungan sekeliling Madinah untuk membendung serbuan musuh. Di samping itu diutusnya pula Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah kepada Ka’ab bin Asad pemimpin Yahudi suku Quraidzah untuk menyelidiki sikap mereka yang sesungguhnya terhadap orang yang akan datang, walaupun antara mereka dengan Rasulullah sebenamya sudah ada beberapa perjanjian dan persetujuan damai. Dan alangkah terkejutnya kedua utusan Nabi, karena ketika bertemu dengan pemimpin bani Quraidzah dan menyatakan bahwa “Tak ada persetujuan atau perjanjian antara kami dengan Muhammad”.
Menghadapkan penduduk Madinah kepada pertempuran sengit dan ketat, terasa amat buat bagi Rasulullah. Oleh karena itulah, beliau memikirkan sesuatu siasat untuk memisahkan suku Gathfan dari Quraisy, hingga musuh yang akan menyerang, bilangan dan kekuatan mereka akan tinggal separoh. Siasat itu segera beliau laksanakan yaitu dengan mengadakan perundingan dengan para pemimpin Gathfan dan menawarkan agar mereka mengundurkan diri dari peperangan dengan imbalan akan memperoleh sepertiga dari hasil pertanian Madinah. Tawaran itu disetujui oleh pemimpin Gathfan dan tinggal lagi mencatat persetujuan tersebut hitam di atas putih.
Sewaktu usaha Nabi sampai sejauh ini, beliau tertegun, karena menyadari tidak sewajarnya ia memutuskan sendiri masalah tersebut. Maka dipanggilnyalah para shahabatnya untuk merundingkannya. Terutama Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah, buah fikiran mereka amat diperhatikannya karena kedua mereka adalah pemuka Madinah, dan yang pertama kali berhak untuk membicarakan hal tersebut dan memilih langkah mana yang akan diambil. Rasulullah menceritakan kepada kedua mereka peristiwa perundingan yang berlangsung antaranya dengan pemimpin-pemimpin Gathfan. Tak lupa ia menyatakan bahwa langkah itu diambilnya ialah karena ingin menghindarkan kota dan penduduk Madinah dari serangan dan pengepungan dahsyat.
 
Kedua pemimpin itu tampil mengajukan pertanyaan “wahai Rasulullah, apakah ini pendapat engkau sendiri, ataukah wahyu yang dititahkan Allah?” Rasulullah menjawab “Bukan, tetapi ia adalah pendapatku yang kurasa baik untuk tuan-tuan. Demi Allah, saya tidak hendak melakukannya kecuali karena melihat orang-orang Arab hendak memanah pasukan kalian secara serentak dan mendesak kalian dari segenap penjuru. Maka saya bermaksud hendak membatasi kejahatan mereka sekecil mungkin”. Sa’ad bin Mu’adz merasa bahwa  ini adalah ujian berat bagi orang-orang beriman.
 
Maka Sa’ad berkata “wahai Rasulullah! Dahulu kami dan orang-orang itu berada dalam kemusyrikan dan pemuja berhala, tiada mengabdikan diri pada Allah dan tidak kenal kepada-Nya, sedang mereka tak mengharapkan akan dapat makan sebutir kurma pun dari hasil bumi kami kecuali bila disuguhkan atau dengan cara jual beli. Sekarang, apakah setelah kami beroleh kehormatan dari Allah dengan memeluk Islam dan mendapat bimbingan untuk menerimanya, dan setelah kami dimuliakan-Nya dengan anda dan dengan Agama ini, lain kami harus menyerahkan harta kekayaan kami? Demi Allah, kami tidak memerlukan itu, dan demi Allah, kami tak hendak memberi kepada mereka kecuali pedang, hingga Allah menjatuhkan putusan-Nya dalam mengadili kami dengan mereka!”. Tanpa bertangguh Rasulullah merubah pendiriannya dan menyampaikan kepada para pemimpin suku Gathfan bahwa sahabat-sahabatnya menolak rencana perundingan dan bahwa beliau menyetujui dan berpegang kepada keputusan shahabatnya.
***
Berselang beberapa hari, kota Madinah mengalami pengepungan ketat. Sebenarnya pengepungan itu lebih merupakan pilihannya sendiri daripada dipaksa orang, disebabkan adanya parit yang digali sekelilingnya untuk menjadi benteng perlindungan bagi dirinya. kaum muslimin pun memasuki suasana perang. Dan Sa’ad bin Mu’adz keluar membawa pedang dan tombaknya sambil bersajak: “Berhentilah sejenak, nantikan berkecamuknya peran, maut berkejaran menyambut ajal datang menjelang.
Perang pun berkecamuk antara kaum muslimin dengan musyrik, tiba-tiba lengannya Sa’ad bin Muadz disambar anak panah yang dilepaskan oleh salah seorang pasukan musyrik. Darah menyembur dari pembuluhnya dan segera ia dirawat secara darurat untuk menghentikan keluamya darah. Nabi SAW menyuruh membawanya ke mesjid dan agar didirikan kemah untuknya agar ia berada di dekatnya selama perawatan. Sa’ad merupakan tokoh muda mereka itu dibawa oleh Kaum Muslimin ke tempatnya di mesjid Rasul. Ia menunjukkan pandangan matanya ke arah langit, ia bermohon kepada Allah SWT:
Ya Allah, jika dari peperangan dengan Quuaisy ini masih ada yang Engkau sisakan, maka panjangkanlah umurku untuk menghadapinya. Karena tak ada golongan yang diinginkan untuk menghadapi mereka daripada kaum yang telah menganiyaya Rasul-Mu, telah mendustakan dan mengusirnya.
Dan seandainya Engkau telah mengakhiri perang antara kami dengan mereka, jadikanlah kiranya musibah yang telah menimpa diriku sekarang ini sebagai jalan untuk menemui syahid. Dan janganlah aku dimatikan sebelum tercapainya yang memuaskan hatiku dengan Bani Quraidzah”.
Allah lah yang menjadi pembimbingmu, wahai Sa’ad bin Mu’adz. Karena siapakah yang mampu mengeluarkan ucapan seperti itu dalam suasana demikian selain dirimu? Dan permohonannya dikabulkan oleh Allah. Luka yang dideritanya menjadi penyebab yang mengantarkannya ke pintu syahid, karena sebulan setelah itu, akibat luka tersebut ia kembali menemui Tuhannya. Tetapi peristiwa itu terjadi setelah hatinya terobatil terhadap Bani Quraidzah.
***
Kisahnya ialah setelah orang-orang Quraisy merasa putus asa untuk dapat menyerbu kota Madinah dan ke dalam barisan mereka menyelinap rasa gelisah, maka mereka sama mengemasi barang perlengkapan dan alat senjata lalu kembali ke Mekah dengan hampa tangan. Rasulullah berpendapat mendiamkan perbuatan orang-orang Quraidzah berarti membuka kesempatan bagi kecurangan dan pengkhianatan mereka terhadap kota Madinah jika mereka menghendaki, suatu hal yang tak dapat dibiarkan berlalu. Oleh karena itulah, beliau mengerahkan shahabat-shahabatnya kepada Bani Quraidzah itu. Mereka mengepung orang-orang Yahudi tersebut selama 25 hari. Dan tatkala dilihat oleh Bani Quraidzah bahwa mereka tak dapat melepaskan diri dari Kaum Muslimin, mereka pun menyerahlah dan mengajukan permohonan kepada Rasulullah yang beroleh jawaban bahwa nasib mereka akan tergantung kepada putusan Sa’ad bin Mu’adz. Di masa jahiliyah dahulu Sa’ad adalah sekutu Bani Quraidzah.
Nabi SAW mengirim beberapa shahabat untuk membawa Saad bin Mu’adz dari kemah perawatannya di mesjid. Ia dinaikkan ke atas kuda sementara badannya kelihatan lemah dan menderita sakit. Kata Rasulullah kepadanya: “Wahai Sa’ad! Berilah keputusanmu terhadap Bani Quraidzah”. Dalam fikiran Sa’ad terbayang kembali kecurangan Bani Quraidzah yang berakhir dengan perang Khandak dan nyaris menghancurkan kota Madinah serta penduduknya. Maka ujar Sa’ad bin Muadz “menurut pertimbanganku, orang-orang yang ikut berperang di antara mereka hendaklah dihukum (bunuh). Perempuan dan anak mereka diambil jadi tawanan, sedang harta kekayaan mereka dibagi-bagi” Demikianlah, sebelum meninggal, hati Sa’ad telah terobat terhadap Bani Quraidzah.
 
Luka yang diderita Sa’ad setiap hari bahkan setiap jam kian bertambah parah. Pada suatu hari Rasulullah datang menjenguknya, didapatinya ia dalam saat terakhir dari hayatnya. Maka Rasulullah meraih kepalanya dan menaruhnya di atas pangkuannya, kemudian Rasulullah berdo’a kepada Allah “Ya Allah, Sa’ad telah berjihad di jalan-Mu ia telah membenarkan Rasul-Mu dan telah memenuhi kewajibannya. Maka terimalah ruhnya dengan sebaik-baiknya cara Engkau menerima ruh”. Do’a yang dipanjatkan Nabi tersebut rupanya telah memberikan kesejukan dan perasaan tenteram kepada ruh yang hendak pergi.
 
Dengan susah payah dicobanya membuka kedua matanya dengan harapan kiranya wajah Rasulullah adalah yang terakhir dilihatnya semasa ia hidup, ia berkata “Salam atasmu, wahai Rasulullah, ketahuilah bahwa aku mengakui bahwa anda adalah Rasulullah”. Rasulullah pun memandangi wajah Sa’ad lalu beliau berkata “kebahagiaan bagimu wahai Abu Amru”.
***
Sa’ad bin Muadz telah memperoleh kaberuntungan ketika kematiannya dengan hadiah yang tidak didapatkan oleh seorangpun yang ada di alam semesta ini, sampai salah seorang laki-laki dari kaum Ashar berkata “Arsy Allah tidak pernah bergoncang karena kematian seorangpun yang mati kami mendengarnya, kecuali karena kematian Abu Amru (Sa’ad bin Mu’adz)” (Al-Bidayah wan Nihayah).
Takala jenazah Sa’ad diusung orang-orang munafik berkata “alangkah ringannya jenazahnya, itu karena keputusannya terhadap bani Quraidzah”. Lalu hal itu ditanyakan kepada Nabi SAW, maka beliau berkata “bukan, tapi para malaikat yang mengusungnya”. Subhanallah!
Berkata Abu Sa’id al-Khudri “saya adalah salah seorang yang menggali makam untuk Sa’ad. Dan setiap kami menggali satu lapisan tanah, tercium oleh kami wangi kesturi, hingga sampai ke liang lahat”. Musibah dengan kematian Sa’ad yang menimpa Kaum Muslimin terasa berat sekali. Tetapi hiburan mereka juga tinggi nilainya, karena mereka dengar Rasul mereka yang mulia bersabda: “Sungguh, ‘Arasy Tuhan Yang Rahman bergetar karena berpulangnya Sa’ad bin Mu’adz”.
 
Dan Allah menyempurnakan nikmat-nikmat-Nya atas hamba-Nya tersebut, sehingga ia diberi kabar gembira dengan surga. Al-Barra bin Malik ra berkata: Rasulullah pernah diberi hadian berupa pakaian sutra, maka para sahabatpun mengusap-usapnya dan mereka takjub dengan kehalusannya. Maka Rasulullahpun bersabda “Apakah kalian merasa takjub dengan kehalusan pakaian ini? Sungguh, sapu tangan saudaramu Sa’ad bin Mu’adz  di dalam surga lebih baik darinya” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Ahmad dengan menggunakan lafadz yang berdekatan).
Itu lah balasan terbaik bagi engkau wahai Sa’ad bin Muadz, engkaulah yang memberikan kekuasaanya untuk kemuliaan islam dan kaum muslimin. Maka pantaslah engkau mendapatkan hal itu.  Wallahu a’lam.
 
by: Muh Didiharyono
 

0 komentar: