Sa’ad bin Muadz adalah
seorang sahabat dari bani Asyhal dari kalangan Anshar. Beliau masuk islam
ketika dakwah diamanahkan kepada Mush’ab bin Umair untuk menyampaikan islam di
Yastrib (Madinah). Ketika Mush’ab bin Umair tiba di Madinah, ia tinggal
dirumahnya As’ad bin Zurarah (anak bibinya Sa’ad bin Muadz dari pihak ibu). Ini
merupakan awal aktifitas dakwah yang terjadi di Yastrib pada saat itu.
Masuk islamnya Sa’ad bin
Muadz bermula ketika Usaid bin Hudhair masuk islam, padahal Usaid bin Hudhair
adalah orang yang diamanahkan oleh Sa’ad agar mengusir orang yang menemani
sepupunya yaitu Mush’ab bin Umair. Menurut Sa’ad bahwa kedatangannya membuat
orang-orang dari bani Asyhal tambah bodoh, inilah yang membuat Sa’ad murka
kepada utusan Rasulullah tersebut.
***
Ketika Sa’ad mendengar
informasi masuk islamnya Usaid bin Hudhair, raut wajahnya langsung berubah dan
menunjukan kemarahannya. Kemudin Usaid berkata “saya telah berbicara dengan kedua orang ini, maka demi Allah! Aku tidak
melihat suatu kejelekan pada keduannya dan aku telah melarang mereka berdua,
lalu kedunya menjawab kami akan mengerjakan apa yang engkau sukai”. Inilah
komunikasi politik yang disampaikan oleh Usaid agar Sa’ad tidak jadi murka
kepadanya.
Maka Sa’ad pun bangkit dalam
keadaan yang sangat marah dan mengambil tombaknya. Takala beliau melihat mereka
berdua dalam keadaan tenang, ia pun menjadi tahu bahwa Usaid hanya ingin
membuatnya mendengar dari keduanya. Lalu ia berkata kepada As’ad bin Zurarah ”wahai abu Umamah, demi Allah! Kalaulah bukan
karena adanya kekerabatan antara aku dan engkau, aku tidak akan melakukan hal ini,
apakah kamu ingin meliputi kami dengan sesuatu yang tidak kami senangi
dikampung kami?” As’ad pun terdiam dan tidak menjawab pertanyaan sepupunya
tersebut.
Kemudian Mush’ab berkata
kepada Sa’ad “maukah anda duduk, lalu
mendengar! Jika engkau menyukai perkataan saya dan menyenanginya, engkau bisa
menerimanya. Namun, jika engkau tidak menyukainya, kami akan berhenti dari apa
yang tidak engkau senangi”. Sa’ad langsung berkata “engkau telah berbuat adil”. Kemudian ia menancapkan tombaknya, lalu
duduk. Setelah itu Mush’ab memaparkan islam dan membacakan Al-Qur’an kepadanya.
Keduanya berkata ”kami telah melihat, dem
Allah pada wajahnya ada tanda keislamanya sebelum ia berbicara karena
pancarannya dan mudahnya ia menerima tawaran kami”.
***
Dengan
masuk islamnya Sa’ad, bersinarlah di Madinah mata hari baru, Yang pada garis
edarnya akan berputar dan beriringan qalbu yang tidak sedikit jumlahnya, dan
bersama Nabi Muhammad SAW
menyerahkan diri mereka kepada Allah Robbul’alamin.
Bahkan Sa’ad bin
Muadz untuk menggunakan
kedudukan dan kapasitasnya untuk
menyampaikan dakwah islam secara terang-terangan. Ini
dibuktikan ketika beliau berdiri dihadapan kaumnya dan berkata “wahai bani Asyhal, menurut sepengetahuan kalian,
bagaimanakah posisiku dihadapan kalian?”
Mereka menjawab “Engkau adalah pemimpin kami dan orang yang paling utama pendapatnya
serta orang yang paling dipercaya pertimbanganya”. Kemudian Sa’ad berkata:
“Maka sesungguhnya kalian baik laki-laki
maupun perempuan haram berbicara denganku hingga kalian beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya”. Mereka berkata: “Maka
demi Allah, tidaklah masuk waktu sore pada laki-laki dan perempuan diperkampungan
bani Asyhal kecuali mereka telah menjadi muslim dan muslimah”. Subhanallah
begitu banyak pahala untukmu wahai Sa’ad bin Muadz. Sa’ad
telah memeluk Islam, memikul tanggung jawab itu dengan keberanian dan kebesaran hatinya. Dan tatkala
Rasulullah hijrah ke Madinah, maka rumah-rumah kediaman Bani Abdil Asyhal,
yakni kabilah Sa’ad pintunya terbuka lebar bagi golongan Muhajirin, begitu pula
semua harta kekayaan mereka dapat dimanfa’atkan tanpa batas demi kemulian islam.
***
Ketika datang perintah perang
Badar. Rasulullah mengumpulkan sahabat-sahabatnya dari golongan Muhajirin dan
Anshar untuk bermusyawarah dengan mereka tentang urusan perang yang wajahnya
dihadapkan ke arah orang-orang Anshar, seraya berkata “bagaimana
pendapat kalian,
wahai shahabatku?”. Kemudian Sa’ad bin Mu’adz yang berdiri
didekat ar-roya’ (bendera hitam)
berkata: “Wahai Rasulullah, kami telah
beriman kepada engkau,
kami percaya dan mengakui bahwa apa yang engkau
bawa itu adalah benar, dan telah kami berikan pula ikrar dan janji-janji kami.
Maka laksanakanlah terus, ya rasulallah apa yang engkau inginkan, dan kami
akan selalu bersama engkau. Dan demi Allah yang telah mengutus engkau membawa
kebenaran. Seandainya engkau menghadapkan kami ke lautan ini lalu engkau
menceburkan diri ke dalamnya, pastilah kami akan ikut mencebur, tak seorang pun
yang akan mundur dan kami tidak keberatan untuk menghadapi musuh besok pagi.
Sungguh, kami tabah dalam pertempuran dan teguh menghadapi perjuangan. Dan
semoga Allah akan memperlihatkan kepada engkau tindakan kami yang menyenangkan
hati. Maka mulailah kita berangkat dengan berkah Allah SWT.”
Mendengar perkataan Sa’ad bin Muadz, wajah Rasul pun
bersinar-sinar dipenuhi rasa ridho’
dan bangga serta bahagia.
Dan
di waktu perang Uhud, yakni ketika Kaum Muslimin telah cerai-berai disebabkan
serangan mendadak dari tentara musyrikin,
maka takkan sulit bagi penglihatan mata untuk menemukan kedudukan Sa’ad bin
Mu’adz. Kedua kakinya seolah-olah telah dipakukan ke bumi di dekat Rasulullah
mempertahankan dan membelanya mati-matian, suatu hal yang agung, keberanian
yang terpancar dari sikap hidupnya.
***
Kemudian
datang perintah perang khandak, yang dengan jelas membuktikan keberaniannya dan
kepahlawanannya. Perang khandak ini merupakan bukti nyata atas persekongkolan
dan siasat licik yang dilancarkan kepada kaum muslimin tanpa ampun, yaitu dari
orang-orang yang dalam bertentangan mereka, yang menghianati perjanjian atau
keadilan. Rasul menginkan kiranya segolongan pemimpin Yahudi netral dan tetap
pada perjanjian dengan rasulullah. Naum, secara diam-diam pergi ke Mekah lalu
menghasut orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah sambil memberikan janji dan
ikrar akan berdiri di samping Quraisy bila terjadi peperangan dengan
orang-orang Islam nanti.
Mereka
telah menghinati perjanjian dengan kaum muslimin dan membuat perjanjian dengan
orang-orang musyrik Qurais, bersama-sama telah mengatur rencana dan siasat
peperangan dengan kaum muslimin. Di samping itu dalam perjalanan pulang mereka
ke Madinah, mereka berhasil pula menghasut suatu suku terbesar di antara
suku-suku Arab yaitu kabilah Gathfan dan mencapai persetujuan untuk
menggabungkan diri dengan tentara Quraisy. Inilah yang membuat kaum muslimin
marah dan murka kepada yahudi bani Quraidha atas penghinatan tersebut. Maka tatkala Nabi SAW mengetahui
persekongkolan jahat tersebut, beliau mengambil langkah-langkah pengamanan.
Rasul memerintahkan untuk menggali khandak (parit) perlindungan
sekeliling Madinah untuk membendung serbuan
musuh. Di samping itu diutusnya pula Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah
kepada Ka’ab bin Asad pemimpin Yahudi suku Quraidzah
untuk menyelidiki sikap mereka yang sesungguhnya terhadap orang yang akan
datang, walaupun antara mereka dengan Rasulullah sebenamya sudah ada beberapa
perjanjian dan persetujuan damai.
Dan
alangkah terkejutnya kedua utusan Nabi, karena ketika bertemu dengan pemimpin
bani Quraidzah dan menyatakan bahwa “Tak ada persetujuan atau perjanjian antara kami dengan Muhammad”.
Menghadapkan penduduk Madinah kepada pertempuran sengit dan ketat,
terasa amat buat bagi Rasulullah. Oleh karena itulah, beliau memikirkan sesuatu
siasat untuk memisahkan suku Gathfan dari Quraisy, hingga musuh yang akan
menyerang, bilangan dan kekuatan mereka akan tinggal separoh. Siasat itu segera beliau laksanakan yaitu dengan mengadakan perundingan
dengan para pemimpin Gathfan dan menawarkan agar mereka mengundurkan diri dari peperangan
dengan imbalan akan memperoleh sepertiga dari hasil pertanian Madinah. Tawaran
itu disetujui oleh pemimpin Gathfan dan tinggal lagi mencatat persetujuan tersebut
hitam di atas putih.
Sewaktu usaha Nabi sampai sejauh ini, beliau tertegun, karena menyadari
tidak sewajarnya ia memutuskan sendiri masalah tersebut. Maka dipanggilnyalah
para shahabatnya untuk merundingkannya. Terutama Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin
Ubadah, buah fikiran mereka amat diperhatikannya karena kedua mereka adalah
pemuka Madinah, dan yang pertama kali berhak untuk membicarakan hal tersebut
dan memilih langkah mana yang akan diambil. Rasulullah menceritakan
kepada kedua mereka peristiwa perundingan yang berlangsung antaranya dengan
pemimpin-pemimpin Gathfan. Tak lupa ia menyatakan bahwa langkah itu diambilnya
ialah karena ingin menghindarkan kota dan penduduk Madinah dari serangan dan
pengepungan dahsyat.
Kedua pemimpin itu tampil mengajukan pertanyaan “wahai Rasulullah, apakah ini pendapat engkau sendiri, ataukah wahyu
yang dititahkan Allah?” Rasulullah menjawab “Bukan, tetapi ia adalah pendapatku yang kurasa baik untuk tuan-tuan.
Demi Allah, saya tidak hendak melakukannya kecuali karena melihat orang-orang
Arab hendak memanah pasukan kalian secara serentak dan mendesak kalian dari
segenap penjuru. Maka saya bermaksud
hendak membatasi kejahatan mereka sekecil mungkin”. Sa’ad bin Mu’adz merasa
bahwa ini adalah ujian berat bagi orang-orang
beriman.
Maka Sa’ad berkata “wahai
Rasulullah! Dahulu kami dan orang-orang itu berada dalam kemusyrikan dan pemuja
berhala, tiada mengabdikan diri pada Allah dan tidak kenal kepada-Nya, sedang
mereka tak mengharapkan akan dapat makan sebutir kurma pun dari hasil bumi kami
kecuali bila disuguhkan atau dengan cara jual beli. Sekarang, apakah setelah
kami beroleh kehormatan dari Allah dengan memeluk Islam dan mendapat bimbingan
untuk menerimanya, dan setelah kami dimuliakan-Nya dengan anda dan dengan Agama
ini, lain kami harus menyerahkan harta kekayaan kami? Demi Allah, kami tidak
memerlukan itu, dan demi Allah, kami tak hendak memberi kepada mereka kecuali
pedang, hingga Allah menjatuhkan putusan-Nya dalam mengadili kami dengan mereka!”. Tanpa bertangguh Rasulullah merubah pendiriannya dan menyampaikan kepada
para pemimpin suku Gathfan bahwa sahabat-sahabatnya menolak rencana perundingan
dan bahwa beliau menyetujui dan berpegang kepada keputusan shahabatnya.
***
Berselang beberapa hari, kota Madinah mengalami pengepungan ketat.
Sebenarnya pengepungan itu lebih merupakan pilihannya sendiri daripada dipaksa
orang, disebabkan adanya parit yang digali sekelilingnya untuk menjadi benteng
perlindungan bagi dirinya. kaum muslimin pun memasuki suasana perang. Dan Sa’ad
bin Mu’adz keluar membawa pedang dan tombaknya sambil bersajak: “Berhentilah sejenak, nantikan berkecamuknya
peran, maut berkejaran menyambut ajal datang menjelang”.
Perang pun berkecamuk antara kaum muslimin dengan musyrik, tiba-tiba lengannya
Sa’ad bin Muadz disambar anak panah yang dilepaskan oleh salah seorang pasukan
musyrik. Darah menyembur dari pembuluhnya dan segera ia dirawat secara darurat
untuk menghentikan keluamya darah. Nabi SAW menyuruh membawanya ke mesjid dan
agar didirikan kemah untuknya agar ia berada di dekatnya selama perawatan. Sa’ad merupakan tokoh muda mereka itu dibawa oleh Kaum Muslimin ke
tempatnya di mesjid Rasul. Ia menunjukkan pandangan matanya ke arah langit, ia
bermohon kepada Allah SWT:
“Ya Allah, jika dari peperangan
dengan Quuaisy ini masih ada yang Engkau sisakan, maka panjangkanlah umurku
untuk menghadapinya. Karena tak ada golongan yang diinginkan untuk menghadapi
mereka daripada kaum yang telah menganiyaya Rasul-Mu, telah mendustakan dan
mengusirnya.
Dan seandainya Engkau telah
mengakhiri perang antara kami dengan mereka, jadikanlah kiranya musibah yang
telah menimpa diriku sekarang ini sebagai jalan untuk menemui syahid. Dan
janganlah aku dimatikan sebelum tercapainya yang memuaskan hatiku dengan Bani
Quraidzah”.
Allah lah yang menjadi pembimbingmu, wahai Sa’ad bin Mu’adz. Karena
siapakah yang mampu mengeluarkan ucapan seperti itu dalam suasana demikian
selain dirimu? Dan permohonannya dikabulkan oleh Allah. Luka yang dideritanya
menjadi penyebab yang mengantarkannya ke pintu syahid, karena sebulan setelah
itu, akibat luka tersebut ia kembali menemui Tuhannya. Tetapi peristiwa itu
terjadi setelah hatinya terobatil terhadap Bani Quraidzah.
***
Kisahnya ialah setelah orang-orang Quraisy merasa putus asa untuk dapat
menyerbu kota Madinah dan ke dalam barisan mereka menyelinap rasa gelisah, maka
mereka sama mengemasi barang perlengkapan dan alat senjata lalu kembali ke
Mekah dengan hampa tangan. Rasulullah berpendapat mendiamkan perbuatan
orang-orang Quraidzah berarti membuka kesempatan bagi kecurangan dan
pengkhianatan mereka terhadap kota Madinah jika mereka menghendaki, suatu hal yang
tak dapat dibiarkan berlalu. Oleh karena itulah, beliau mengerahkan shahabat-shahabatnya
kepada Bani Quraidzah itu. Mereka mengepung orang-orang Yahudi tersebut selama
25 hari. Dan tatkala dilihat oleh Bani Quraidzah bahwa mereka tak dapat
melepaskan diri dari Kaum Muslimin, mereka pun menyerahlah dan mengajukan
permohonan kepada Rasulullah yang beroleh jawaban bahwa nasib mereka akan
tergantung kepada putusan Sa’ad bin Mu’adz. Di masa jahiliyah dahulu Sa’ad
adalah sekutu Bani Quraidzah.
Nabi SAW mengirim beberapa shahabat untuk membawa Saad bin Mu’adz dari
kemah perawatannya di mesjid. Ia dinaikkan ke atas kuda sementara badannya
kelihatan lemah dan menderita sakit. Kata Rasulullah kepadanya: “Wahai Sa’ad! Berilah keputusanmu terhadap
Bani Quraidzah”. Dalam fikiran Sa’ad terbayang kembali kecurangan Bani
Quraidzah yang berakhir dengan perang Khandak dan nyaris menghancurkan kota
Madinah serta penduduknya. Maka ujar Sa’ad bin Muadz “menurut pertimbanganku, orang-orang yang ikut berperang di antara
mereka hendaklah dihukum (bunuh). Perempuan dan anak mereka diambil jadi
tawanan, sedang harta kekayaan mereka dibagi-bagi” Demikianlah, sebelum
meninggal, hati Sa’ad telah terobat terhadap Bani Quraidzah.
Luka yang diderita Sa’ad setiap hari bahkan setiap jam kian bertambah
parah. Pada suatu hari Rasulullah datang menjenguknya, didapatinya ia dalam
saat terakhir dari hayatnya. Maka Rasulullah meraih kepalanya dan menaruhnya di
atas pangkuannya, kemudian Rasulullah berdo’a kepada Allah “Ya Allah, Sa’ad telah berjihad di jalan-Mu
ia telah membenarkan Rasul-Mu dan telah memenuhi kewajibannya. Maka terimalah
ruhnya dengan sebaik-baiknya cara Engkau menerima ruh”. Do’a yang
dipanjatkan Nabi tersebut rupanya telah memberikan kesejukan dan perasaan
tenteram kepada ruh yang hendak pergi.
Dengan susah payah dicobanya membuka kedua matanya dengan harapan
kiranya wajah Rasulullah adalah yang terakhir dilihatnya semasa ia hidup, ia
berkata “Salam atasmu, wahai Rasulullah,
ketahuilah bahwa aku mengakui bahwa anda adalah Rasulullah”. Rasulullah pun
memandangi wajah Sa’ad lalu beliau berkata “kebahagiaan
bagimu wahai Abu Amru”.
***
Sa’ad bin Muadz telah memperoleh kaberuntungan ketika kematiannya dengan
hadiah yang tidak didapatkan oleh seorangpun yang ada di alam semesta ini,
sampai salah seorang laki-laki dari kaum Ashar berkata “Arsy Allah tidak pernah bergoncang karena kematian seorangpun yang mati
kami mendengarnya, kecuali karena kematian Abu Amru (Sa’ad bin Mu’adz)” (Al-Bidayah wan Nihayah).
Takala jenazah Sa’ad diusung orang-orang munafik berkata “alangkah ringannya jenazahnya, itu karena
keputusannya terhadap bani Quraidzah”. Lalu hal itu ditanyakan kepada Nabi
SAW, maka beliau berkata “bukan, tapi
para malaikat yang mengusungnya”. Subhanallah!
Berkata Abu Sa’id al-Khudri “saya
adalah salah seorang yang menggali makam untuk Sa’ad. Dan setiap kami menggali
satu lapisan tanah, tercium oleh kami wangi kesturi, hingga sampai ke liang
lahat”. Musibah dengan kematian Sa’ad yang menimpa Kaum Muslimin terasa
berat sekali. Tetapi hiburan mereka juga tinggi nilainya, karena mereka dengar
Rasul mereka yang mulia bersabda: “Sungguh,
‘Arasy Tuhan Yang Rahman bergetar karena berpulangnya Sa’ad bin Mu’adz”.
Dan Allah menyempurnakan nikmat-nikmat-Nya atas hamba-Nya tersebut,
sehingga ia diberi kabar gembira dengan surga. Al-Barra bin Malik ra berkata:
Rasulullah pernah diberi hadian berupa pakaian sutra, maka para sahabatpun
mengusap-usapnya dan mereka takjub dengan kehalusannya. Maka Rasulullahpun
bersabda “Apakah kalian merasa takjub
dengan kehalusan pakaian ini? Sungguh, sapu tangan saudaramu Sa’ad bin
Mu’adz di dalam surga lebih baik darinya”
(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Ahmad dengan menggunakan lafadz
yang berdekatan).
Itu lah balasan terbaik bagi engkau wahai Sa’ad bin Muadz, engkaulah
yang memberikan kekuasaanya untuk kemuliaan islam dan kaum muslimin. Maka
pantaslah engkau mendapatkan hal itu. Wallahu a’lam.
by: Muh Didiharyono
Mencontohi Ketegasan dan Kemuliaan Sa’ad Bin Muadz