Senin, April 28, 2014

Ketawadhuan Para Sahabat



Oleh: Muh. Didi Haryono

Para sahabat begitu tawadhu dalam beribadah dan dalam ketaatan kepada Allah. Lihatlah ketawadhuan khalifah Abu Bakar yang tidak segan-segan meminta dikoreksi oleh rakyatnya jika menyimpan dari kebenaran. Kemudian, diceritakan dalam suatu kisah yang lain, ketika istrinya meminta kepada Abu Bakar untuk dibelikan manisan karena sudah lama tidak mencicipinya. Beliau hanya menjawab "kita tidak disantuni negara biaya yang lebih kecuali hanya untuk sekedar makan". Sang istri mungusulkan untuk menyisihkan sedikit demi sedikit uang belanja dari santunan negara, akhirnya beliaupun menyetujuinya. Selang beberapa hari uangpun terkumpul, istrinya lalu menyerahkan uang itu kepada beliau untuk membeli manisan.


Beliau menerimanya dan berkata "baru saya ingat bahwa khalifah tidak mendapatkan santunan berlebih dari baitul mal, oleh karena itu kelebihan uang ini saya akan kembalikan ke baitul mal karena Allah". Istrinya pun menyetujuinya dan bahan manisan tidak jadi dibeli. Selanjutnya, khalifah Abu Bakar meminta baitul mal agar memotong santunannya sebanyak yang pernah dikumpulkan istrinya setiap hari. Itulah kepribadian khalifah Abu Bakar, sahabat nabi saw paling dekat, yang pernah dipuji oleh beliau dengan sabdanya "seandainya keimanan Abu Bakar ditimbang dengan keimanan seluruh manusia maka keimanan Abu Bakar tetap lebih berat".

Kitapun harus belajar dengan kerendahan hati dan kesederhanaan Khalifah Umar bin Khaththab yang tidak segan-segan bersedia dikoreksi oleh rakyatnya, bahkan dengan pedang sekalipun. Khalifah Umar pun tidak malu-malu untuk mengakui kebenaran pendapat seorang Shahabiyah yang mengkritik kebijakan Khalifah yang membatasi jumlah mahar, yang memang bertentangan dengan nash al-Qur'an. Itulah khalifah umar, sahabat nabi saw yang paling dekat dengan setelah Abu Bakar, bahkan Umar pernah dipuji oleh rasulullah saw dalam sabdanya "seandainya ada nabi setelahku, maka Umar lah orangnya".

Jika kita bandingkan dengan kepemimpinan yang sedang diterapkan saat ini, dikehidupan yang sekuler dan materialisme, dengan aturan kapitalisme demokrasi yang merupakan pengejewantahan ahlul fir'aun wal qarun (pengikut fir'aun dan qarun) sulit kita temukan dan mustahil terjadi. Penguasa hari ini bahkan rela menggadaikan keimanannya hanya untuk tunduk dan patuh pada kedaulataan demokrasi, mereka menjadi antek para penjajah, boneka yang bisa disetir oleh negara besar, cukong (budak) para kapitalis yang telah banyak menjual kekayaan negeri ini hanya untuk kepentingan swasta dan asing, sungguh ironi mereka justru beriman kepada syari'at demokrasi dibandingkan syari'at Allah, menjadikan kedaulatan rakyat sebagai pemutus perkara perselisihan mereka, pahal hak kedaulatan itu adalah hak Allah. Dia lah yang menetapkan halal-haram, benar-salah (hasan wal qabil), baik-buruk (khair wa shar) bukan rakyat atau manusia. Jika kedaulatan itu diserahkan kepada manusia maka akan memunculkan pertentangan ditengah-tengah masyarakat sebab manusia memiliki kelemahan yang serba terbatas.   Wallahu a’lam.

0 komentar: