Oleh: Muh. Didi Haryono
Para sahabat
begitu tawadhu dalam beribadah dan dalam ketaatan kepada Allah. Lihatlah
ketawadhuan khalifah Abu Bakar yang tidak segan-segan meminta dikoreksi oleh
rakyatnya jika menyimpan dari kebenaran. Kemudian, diceritakan dalam suatu
kisah yang lain, ketika istrinya meminta kepada Abu Bakar untuk dibelikan
manisan karena sudah lama tidak mencicipinya. Beliau hanya menjawab "kita
tidak disantuni negara biaya yang lebih kecuali hanya untuk sekedar
makan". Sang istri mungusulkan untuk menyisihkan sedikit demi sedikit uang
belanja dari santunan negara, akhirnya beliaupun menyetujuinya. Selang beberapa
hari uangpun terkumpul, istrinya lalu menyerahkan uang itu kepada beliau untuk
membeli manisan.
Beliau
menerimanya dan berkata "baru saya ingat bahwa khalifah tidak mendapatkan
santunan berlebih dari baitul mal, oleh karena itu kelebihan uang ini saya akan
kembalikan ke baitul mal karena Allah". Istrinya pun menyetujuinya dan
bahan manisan tidak jadi dibeli. Selanjutnya, khalifah Abu Bakar meminta baitul
mal agar memotong santunannya sebanyak yang pernah dikumpulkan istrinya setiap
hari. Itulah kepribadian khalifah Abu Bakar, sahabat nabi saw paling dekat,
yang pernah dipuji oleh beliau dengan sabdanya "seandainya keimanan Abu
Bakar ditimbang dengan keimanan seluruh manusia maka keimanan Abu Bakar tetap
lebih berat".
Kitapun
harus belajar dengan kerendahan hati dan kesederhanaan Khalifah Umar bin
Khaththab yang tidak segan-segan bersedia dikoreksi oleh rakyatnya, bahkan
dengan pedang sekalipun. Khalifah Umar pun tidak malu-malu untuk mengakui
kebenaran pendapat seorang Shahabiyah yang mengkritik kebijakan Khalifah yang
membatasi jumlah mahar, yang memang bertentangan dengan nash al-Qur'an. Itulah
khalifah umar, sahabat nabi saw yang paling dekat dengan setelah Abu Bakar,
bahkan Umar pernah dipuji oleh rasulullah saw dalam sabdanya "seandainya
ada nabi setelahku, maka Umar lah orangnya".
Jika kita
bandingkan dengan kepemimpinan yang sedang diterapkan saat ini, dikehidupan
yang sekuler dan materialisme, dengan aturan kapitalisme demokrasi yang
merupakan pengejewantahan ahlul fir'aun wal qarun (pengikut fir'aun dan qarun)
sulit kita temukan dan mustahil terjadi. Penguasa hari ini bahkan rela
menggadaikan keimanannya hanya untuk tunduk dan patuh pada kedaulataan
demokrasi, mereka menjadi antek para penjajah, boneka yang bisa disetir oleh
negara besar, cukong (budak) para kapitalis yang telah banyak menjual kekayaan
negeri ini hanya untuk kepentingan swasta dan asing, sungguh ironi mereka
justru beriman kepada syari'at demokrasi dibandingkan syari'at Allah,
menjadikan kedaulatan rakyat sebagai pemutus perkara perselisihan mereka, pahal
hak kedaulatan itu adalah hak Allah. Dia lah yang menetapkan halal-haram,
benar-salah (hasan wal qabil),
baik-buruk (khair wa shar) bukan
rakyat atau manusia. Jika kedaulatan itu diserahkan kepada manusia maka akan
memunculkan pertentangan ditengah-tengah masyarakat sebab manusia memiliki
kelemahan yang serba terbatas. Wallahu a’lam.
Ketawadhuan Para Sahabat