Oleh: Muh. Didiharyono
Pesta
Demokrasi adalah pesta rutinitas rakyat Indonesia setiap tahunnya, mulai dari
pemilihan legislatif, presiden, gubernur, walikota/ bupati, kepala desa hingga
pemilihan RT. Tepat 9 April 2014 akan digelar hajatan akbar pesta demokrasi
yang disebut dengan pemilihan umum (Pemilu). Pemilu merupakan acara
seremonial-kolosal, sebuah perhelatan akbar yang wajib diselenggarakan secara
periodik dalam suatu negara penganut sistem demokrasi. Seluruh manusia seolah
diwajibkan untuk turut serta menyukseskan "pesta demokrasi".
Janji-janji keadilan dan kesejahteraan mulai rutin dilakukan, baliho, spanduk
pun mulai dipasang, bahkan tidak sedikit para penceramah dalam penyampainnya
berkampanye. Sehingga, sangat tepat dikatakan bahwa awal tahun 2014 ini
merupakan tahun persaingan politik di Indonesia.
Rakyat
Indonesia telah disodori oleh setidaknya lima momentum pesta demokrasi setiap
lima tahunnya yang berdampak pada kehidupan sosial mereka, momentum tersebut
yaitu Pemilu Legislatif, Pilpres, Pilgub, Pilbub dan Pilkades. Rakyat diset dan
“dipaksa” berhadapan dengan realitas kegitan politik yang membawa dampak
ketidak harmonisan kehidupan sosialnya yang penyebabnya banyak faktor karena
pengaruh pilihan politik.
Menjadi
“petarung” dalam pesta demokrasi nyatanya tidak cukup hanya bermodalkan
retorika, kepintaran, ketampanan, tetapi juga harus butuh duit yang banyak.
Untuk bisa menjadi anggota parlemen dan menjadi penguasa dilevel negara maupun
level tingkat I dan tingkat II (kota/ kabupaten dan propinsi) diperlukan biaya
yang tidak sedikit. Sehingga, kebutuhan dana yang besar tersebut yang kemudian
menjadi pangkal timbulnya problem.
Sebagaimana
dalam penelitian desertasi doktoral Wakil Ketua DPR-RI dari PDI-Perjuangan
Pranomo Anung, mendapati fakta bahwa untuk Pemilu calon anggota legislatif
(Caleg) mengeluarkan dana minimal Rp 600 juta. Ada juga yang menghabiskan Rp 6
Miliar bahkan tidak menutup kemungkinan ada yang melebihi angka tersebut.
Oleh
karena itu, bisa dimengerti jika banyak anggota parlemen dan kepala daerah
terjerat kasus korupsi. Legislatif pun dinilai lembaga terkorup di Indonesia.
Sebagaimana Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan
bahwa sebanyak 69,7% anggota DPR terindikasi korupsi. Sepanjang tahun 2004
hingga 2012 ada sekitar 431 orang DPRD Provinsi dan 998 anggota DPR Kabupaten/
Kota tersangkut kasus korupsi. Kemudian, 17 dari 33 Gubernur yang ada dan 148
walikota/ bupati juga menjadi tersangka korupsi. Itu artinya cita-cita demokrasi
yang adil, damai, dan sejahtera sulit direalisasikan. Masyarakatpun apatis
dengan kondisi yang mencengangkan tersebut.
Kemudian,
biaya pemilu yang dari tahun ke tahun yang cenderung meningkat sebanyak Rp 16
Triliun akan digunakan untuk keperluan penyelenggaraan Pemilu 2014. Dana
tersebut dua kali lipat jumlahnya dari Pemilu 2009 yang berjumlah Rp 8,5
Triliun. Itu angka yang mencengangkan jika kita memperhatikan juga utang negara
sekarang justru bertambah dan tidak pernah terlunasi untuk dibayar, ini sebabkan
oleh bunga utang yang terus bertambah. Peningkatan utang secara drastis salah
satu faktor yang mempengaruhi adalah akibat korupsi dan belanja “foya-foya”
pejabat.
Apakah
mungkin utang yang terus bertambah bisa mensejahterakan rakyat? ternyata tidak bisa,
malahan rakyat yang justru dibebani dan dipaksa membayar bunga dan pokok utang.
Banyak pakar menyatakan bahwa jumlah utang akan terus meningkat dengan cepat
jika melihat perkembangan jumlah utang Indonesia dari akhir tahun 2012.
Sehingga Indonesia menuju kebangkrutan. Konon katanya, kalaw menumpuknya utang
negara disebabkan pengelolaan yang tidak transparan. Realisasi utang luar
negeri banyak diperuntukan bagi proyek-proyek yang tidak produktif sehingga
tidak mampu membayar bunga dan pokok utang tersebut.
Selanjutnya,
ongkos demokrasi harus dibayar mahal, karena sudah terlalu banyak rakyat yang
menjadi korban langsung setiap saat dari pesta demokrasi. Awalnya mereka
berkerjasama untuk memenangkan pemilihan kepala desa (Pildes) misalnya, tetapi
karena kepentingan dan persaingan politik merekapun kembali berhadapan dengan
pilihan politik yang berbeda. Ini juga akan terjadi dengan pemilihan legislatif
dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mendatang. Kemungkinan juga mereka akan
kembali berseberangan dengan kehidupan sosialnya juga, ya minimal tidak diajak
bicara (bersaing secara tidak sehat) yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Sehingga,
bibit perpecahanpun mulai nampak.
Belum
selesai masalah yang timbul dari satu momentum, muncul lagi momentum berikutnya
yang bisa saja menambah parah kehidupan mereka. Contoh sederhana, budaya
kerjasama dan gotong-royong yang sudah menjadi tradisi (culture) budaya dipedesaan, telah pudar dan hampir ditelan oleh
masa karena betapa banyaknya momentum politik yang memaksa mereka untuk saling
bersaing dan bersebrangan.
Kita
juga memperhatikan pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati/WaliKota) yang
dilakukan secara langsung oleh rakyat dan ekses yang terjadi makin menghebohkan
termasuk kecurangan penghitungan suara, pemilih dobel maupun money politic. Kecurangan tersebut
sangat rawan konflik baik horizontal maupun vertikal. Pelajaran begitu
banyak bagi bangsa ini ketika kita melihat banyak para “petarung” yang tidak
legowo menerima kekalahan akhirnya pun menuai kebuntuan dan rakyat dikorbankan.
Kantor Bupati, Kantor KPU, Kantor DPR, dan sebagian kantor-kantor yang lain
dibakar oleh “petarung” yang kalah bersama para pendukungnya. Kantor-kantor dan
tempat umumpun jadi pelampiasan nafsu amarahnya.
Penulis
sengaja tidak menyebutkan daerah mana itu semua, karena sudah menjadi pemahaman
umum itu semua terjadi bagi bangsa ini. Pendidikan politik yang mengajarkan
kepada penguasa agar mengurusi dan menjaga rakyatnya tidak dihiraukan lagi
karena mengejar kekuasaan semata.
Analisa
“nakal” penulis, dari pada setiap momentum pemilihan pesta demokrasi banyak
masyarakat yang saling cuek dan tidak memperdulikan yang lain, maka sangat
tepat ketika ada masyarakat yang marah dengan ketidakadilan tersebut justru
memilih jalan Golongan Putih (Golput). Agar tidak pusing dan menguras pikiran
dan energi memikirkan hal tersebut, toh yang menang tidak jauh berbeda (sama
saja) dengan yang sebelumnya, orang miskin dan anak terlantar dibiarkan begitu
saja tanpa ada usaha yang serius untuk memberikan santunan dan kesejahteraan
kepada mereka. Bahkan bisa saja dikatakan perubahan yang dijanjikan hanyalah
janji manis politik yang kecil
kemungkinan direalisasikan dalam kehidupan sosialnya.
Apalagi,
jika kita melihat penilaian masyarakat kita terhadap para kandidat yang siap
bertarung pada pesta demokrasi dengan berbagai sisi yang mereka lihat. Ada yang
mengandalkan sisi primordialnya, ada yang sedikit mulai logis dengan program
yang ditawarkannya, ada juga karena faktor keluarganya, bahkan ada juga yang
pilih karena “fanatik” dengan Parpol yang diusungnya dan yang lebih para lagi
ada juga karena faktor uang yang dikasi oleh para kadindat atau sangat tepat
dengan istilah korban money politic.
Sehingga,
mereka menyatakan bahwa golput adalah sikap yang tepat yang merupakan satu
bentuk perlawanan dan gugatan mereka. Beragam alasan rakyat menjatuhkan pilihan
untuk golput dan tidak memilih siapa-siapa. Bisa merupakan ungkapan frustasi
atas kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik, bisa karena sikap apatisme
terhadap segala proses politik dan bisa juga sebagai bentuk ketidaksepakatan
atas berlakunya sistem demokrasi yang “tidak adil”.
Sebagian
besar rakyat bangsa ini sudah terbius oleh janji-janji “manis” politik yang
selalu “didakwahkan” oleh para pengusun demokrasi. Ada perkiraan bahwa pesta
demokrasi akan membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik, lebih
sejahteraan, lebih modern. Padahal kenyataannya tidak demikian. Jika
kesejahteraan, bebas dari hutang, dan kepastian hukum tidak diterapkan, maka tepat
kiranya Pesta Demokrasi perlu digugat? Gantinya syari’ah dan Khilafah. Wallahu a’lam bi shawwab.
Menggugat Pesta Demokrasi