Oleh: Muh. Didiharyono
Kehidupan
yang bahagia merupakan idaman setiap orang, bahkan menjadi simbol sebuah
keberhasilan dan kesuksesan. Tidak sedikit manusia yang mengorbankan
segala-galanya untuk meraih kebahagiaan. Menggantungkan cita-cita menjulang
setinggi langit, usaha yang maksimal dan berkerja keras. Kesemuaan puncak
tujuan tersebut adalah keinginan untuk hidup bahagia dan berberkah.
Hidup
bahagia merupakan cita-cita tertinggi setiap orang kepada tuhannya karena manusia
memiliki naluri (grarizah) untuk
senantisa senang dan gembira dengan kehidupan mereka. Ada yang beranggapan,
jika kebahagian itu terletak pada harta benda yang begitu banyak, maka mereka
telah mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Bila kebahagian itu terletak
pada ketinggian pangkat dan jabatan, maka mereka telah siap mengorbankan apa
saja yang dituntutnya. Apabila kebahagian itu terletak pada ketenaran nama dan
popularitasnya, maka mereka telah berusaha untuk meraihnya dengan apapun juga.
Demikianlah gambaran cita-cita hidup manusia menginginkan kebahagiaan dengan
cara apapun yang mereka lakukan. Namun, apakah semua itu yang menjadi ukurannya?
Ternyata,
kebahagian tolak ukurnya bukan semua akan tetapi kejernihan hati dengan
ketaatan kepada tuhannya dan memperbaiki hubungan dengan sesama. Kepada tuhan
kita berserah diri dan apa yang telah ditetapkan oleh Allah berupa aturannya
mesti ditaati oleh manusia. Itulah puncak kebahagiaan yang sesungguhnya yaitu
tunduk dan patuh terhadap perintah Allah SWT. Begitu juga kebahagiaan yang
dirasakan pada hari raya bukan diukur dengan materi tetapi kebersamaan dan
silaturrahim dengan sesama sanak keluarga yang diprioritaskan dan juga kepada
yang lainnya.
Itulah
kiranya alasan yang membuat banyak antrean panjang para pemudik dari berbagai
kota besar diseluruh Indonesia, ada yang menggunakan mobil, menggunakan
angkotan umum, bersepeda motor, bertaruh nyawa mengarungi medan hambatan, kemacetan
dan berrisiko kecelakaan. Terbesik pertanyaan dalam hati. Apakah dikota tidak
mendapati kebahagiaan? Semua tempat pada dasarnya ada kebahagiaan tersendiri
yang dirasakan oleh masing-masing orang dimanapun mereka berada.
Bagaimana
cara memperoleh, mendapatkan dan mempertahankan kebahagiaan yang merupakan hal tersembunyi
dari tindakan dan perasaan yang diinginkan kebanyakan orang? Begitu juga dalam
kehidupan beragama, kebahagiaan yang dirasakan orang bukan pada materi tetapi
berada dalam keyakinannya, dijadikan bukti kebenaran dalam memotifasi kehidupan.
Abdurrahman
As-sa’dy dalam mukadimah risalahnya mengatakan: “Sesungguhnya ketenangan dan ketenteraman hati dan hilangnya kegundahgulanaan
darinya itulah yang dicari oleh setiap orang. Karena dengan dasar itulah akan
didapati kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki”.
Dalam
kesulitan menemukan makna hidup ke depan, orang-orang akan mencarinya dengan
berpaling ke belakang. Kepulangan ke kampung halaman dengan membawa “oleh-oleh”
atau tentengan dari kota untuk sanak family yang ada dikampung. Pulang kampung merupakan
mekanisme kehidupan demi mengisi kekosongan makna hidup ketika banyak kesibukan
yang dilakukan dikota-kota dan mencari ketenangan makna spiritual yang begitu
dalam. Itulah kebersamaan.
Pada
saat bulan ramadhan kita banyak menyaksikan orang begitu bersemangat menjalani
ibadah puasa selama sebulan disertai dengan ibadah-ibadah lainnya seperti solat
Tarawih pada malam-malam Ramdhan, bertadarus al-Quran, Quyamullai, Zikrullah
dan berdoa, ittikaf, banyak bersedekah dan sebagainya. Amalan-amalan ini telah
meleburkan dan membersihkan segala dosa sehingga keadaan diri mereka
seolah-olah kembali seperti bayi yang baru dilahirkan. Kemudian bersemangat
meraih hari raya (lebaran) yang fitri.
Rasulullah
SAW pernah heran terhadap kehidupan orang-orang yang beriman di mana mereka
selalu dalam kebaikan siang dan malam demi kebahagiaan yang mereka cari: “Sungguh sangat mengherankan urusannya orang
yang beriman dimana semua urusannya adalah baik dan yang demikian itu tidak
didapati kecuali oleh orang yang beriman. Kalau dia mendapatkan kesenangan dia
bersyukur maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya dan kalau dia
ditimpa mudharat mereka bersabar maka itu merupakan satu kebaikkan baginya”
Banyak
pelajaran yang bisa kita ambil dalam hadits Rasulullah SAW, diantaranya adalah
kebahagian hidup dan kemuliaannya ada bersama keteguhan berpegang dengan agama
dan bersegera mewujudkannya dalam bentuk amal shaleh dan tidak bolehnya
seseorang untuk menunda amal yang pada akhirnya dia terjatuh dalam perangkap
syaithan yaitu merasa aman dari balasan tipu daya Allah SWT.
Setiap
individu Muslim dan Muslimah wajib menilai segala aktivitas yang telah berjalan
selama ini, yang sesetengahnya telah menjadi ‘budaya’ termasuk bentuk acara
menyambut Idil Fitri. Tetapi apalah artinya makna kebahagian yang dirasakan
dihari yang fitri ini, jika kenyataan sehari-hari senantiasa dirundung berbagai
macam problem jangka panjang yang mengiris hati anak bangsa, kemiskinan, pengangguran,
anak terlantar, prilaku elit politik yang menghalalkan segala cara, money politic, pungutan liar,
ketidakpastian hukum, tipu-daya partai politik yang sekadar rajin mengibarkan
bendera tanpa realisasi, janji-janji omong kosong serta para pemimpin yang
kepeduliannya sebatas menaikkan gaji dan harga tanpa kesanggupan memulihkan
harapan.
Namun,
kita pasti tetap optimis jika suatu saat nanti ada perubahan baru yang
ditawarkan oleh generasi masa depan untuk memperbaiki itu semua secara
kompherensip (kaffah) disegala
bidang. Dengan harapan agar lini dan bidang bekerja secara profesional tanpa
ada diskriminasi, penyalagunaan kekuasaan (abused
power), melalaikan amanah rakyat dan melalaikan aturan tuhan (Syariat). Semoga paceklik kebahagiaan
berakhir. Dengan kembali rahim yang fitri, semoga bisa kita suburkan kembali benih-benih
kebahagiaan. Semoga momentum hari yang fitri ini memberikan spirit dan
kesadaran kepada semua agar kembali kepada jalan tuhannya.
Spirit
Idul Fitri adalah semangat persaudaraan universal, bahwa setiap anak terlahir
dalam kejadian asal yang suci (fitrah). Dalam kefitrahan manusia, tuhan tidak
pernah partisan memihak seseorang atau golongan tertentu melainkan kualitas
keberserahan diri, amal saleh dan ketakwaannya.
Hari
Lebaran orang ramai menebar kata “Minal Aidzin wal Faidzin, Maaf lahir dan
batin”. Tetapi banyak yang lupa, mereka belum meminta maaf kepada Allah. “Dan tidak ada seorang pun dari padamu
Melainkan mendatangi Neraka itu. Hal itu Bagi Rabmu adalah suatu kemestian yang
sudah ditetapkan”(QS. Maryam 19:71). Abdullah bin Rawahah terisak membaca
ayat itu padahal ia bukan pecinta dunia dan membuat keruasakan di dalamnya.
Sebelum berangkat ke medan perang ia berkata “Aku tidak tahu bagaimana bisa
keluar darinya, setelah aku memasukinya” Sementara telah kudapati diriku merasa
aman dari adzabnya.
Dengan
penjelasan tersebut maka kita dapat mengambil kesimpulan bahawa Idil Fitri
adalah hari kemenangan bagi umat Islam yang telah berjaya menundukkan nafsu
ammarah sepanjang bulan Ramadhan. Apabila muncul awal bulan Syawal, diri mereka
telah bersih daripada dosa dan mereka sepatutnya benar-benar menjadi orang yang
takwa. Mari kita semua berbahagia menyambut hari yang fitri ini. Wallahu a’lam bi shawwab.
Berbahagia Menyambut hari yang Fitri