Kamis, Agustus 29, 2013

Memperingati Kemerdekaan RI ke-68: Saatnya menjadi negara yang mandiri



Pesta memperingati kemerdekaan Republik Indonesia (RI) rutin digelar setiap tahun, tahun ini peringatannya sudah yang ke-68. Itu artinya secara de jure indonesia telah merdeka. Bila kita mencoba me-refresh kembali sejarah kemerdekaan, akan terlihat begitu banyak tetesan darah dan keringat para pejuang/ pahlawan yang mempertahankan kemerdekaan negeri ini. Para pejuang berhasil mengusir keberadaan para penjajah/ kolonial yang berada di indonesia. Namun, jika kita menengok kondisi sekarang, telah jauh dari kemerdekaan yang diharapkan.
Tetapi apalah artinya makna kemerdekaan yang dirasakan oleh anak bangsa, jika kenyataan sehari-hari senantiasa dirundung berbagai macam problem jangka panjang yang mengiris hati, masyarakat mengalami keguncangan jiwa (shock culture), kemiskinan, pengangguran, anak terlantar, prilaku elit politik yang menghalalkan segala cara, money politic, pungutan liar, ketidakpastian hukum, tipu-daya partai politik yang sekadar rajin mengibarkan bendera tanpa realisasi, janji-janji omong kosong serta para pemimpin yang kepeduliannya sebatas menaikkan gaji dan harga tanpa kesanggupan memulihkan harapan.
Penulis menelitik tidak sedikit para pengambil kebijakan mengkhianati cita-cita mulia pahlawan terdahulu. Banyak undang-undang yang dilahirkan tidak memihak lagi kepada rakyat, justru berpihak kepada asing. Kebijakan yang dilahirkan bukan untuk kesejahteraan rakyat tetapi kesejahteraan bagi para konglomerat, pemodal asing dan orang-orang tertentu dinegeri ini. Sehingga, tidak bisa dipungkiri bahwa munculnya problem tersebut disebabkan oleh produk-produk hukum yang diterapkan dan kebijakan politik ekonomi kapitalis-neoliberasilme.
Dan tidak boleh juga kita ‘amnesia’ bahwa fakta penjarahan kekayaan negeri ini bisa berjalan mulus diantaranya karena UU yang dilahirkan dari kebijakan status quo. Dan ini melibatkan para politikus yang di DPR dengan peran legislasinya. Padahal masing-masing undang-undang tersebut, bila dianalisis, berdampak pada kehancuran dahsyat bagi perekonomian nasional dan lingkungan, meningkatkan jumlah kemiskinan struktural dan problem berkepanjangan lainnya.
Jika kita telusuri banyak sekali kebijakan-kebijakan politik yang menjadikan kemerdekaan RI hanya omong kosong belaka. Rakyat awam menilainya sebagai kebohongan dengan retorika kemerdekaan. Coba ditelisik pemerintah telah memprivatisasi 12 BUMN pada periode 1991-2001 dan 10 BUMN pada periode 2001-2006. Tahun 2008 melalui Komite Privatisasi BUMN yang diketuai Menko Ekuin Boediono saat itu mengharapkan agar dari 139 BUMN diprivatisasi menjadi 69 BUMN.
Karenanya, privatisasi itu akan terus berjalan dan subsidi dicabut, bagian dari agenda penjajahan yang paling nyata adalah pencabutan secara bertahap subsidi BBM yang telah dilakukan. Juga pencabutan subsidi di bidang pertanian (seperti pencabutan subsidi pupuk), kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia pun dikuasai Asing. Misalkan dibindang perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing.  Diantaranya, Chevron 44%, Pertamina & mitra 16%, Total E&P 10%, Conoco Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1 % lainnya 3% (sumber: Dirjen Migas). Di bidang pertambangan, lebih dari 70% dikuasai asing. 
Melihat utang negara per bulan Mei 2013 sebagaimana laporan dari Sekretariat Nasional (Seknas) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengungkapkan utang Indonesia berdasarkan data yang didapat Fitra dari Kementerian Keuangan telah mencapai Rp 2.036 triliun.
Coba dibandingkan dengan laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Desember 2012, utang negara saat itu Rp 1.850 triliun. Jadi, hanya dalam enam bulan, jumlah utang Indonesia bertambah Rp 186 triliun (kompas.com). Naiknya secara drastis akibat korupsi dan belanja “foya-foya” birokrasi.
Dengan jebakan utang luar negeri berbunga dan kurs dolar. Akhirnya, Indonesia merasa rendah diri dan para para donor (pemberi utang) dipandang superior. Akibatnya, ketika mereka memberikan arahan UU Penanaman Modal, misalnya, maka dengan lancar UU tersebut disahkan. Akibat selanjutnya, pihak asing makin menguasai perekonomian Indonesia. Padahal UU tersebut merupakan payung liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik.
Dan dampak dari perkara diatas bisa kita lihat: Pertama, Kemiskinan. Akibat penjajahan baru, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 100 juta penduduk miskin menurut kategori Bank Dunia. Kedua, kesenjangan. Contoh di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas 16.8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1.650 miliar meter kubik pertahun (2005); minyak bumi 79.7 juta barel pertahun, dengan sisa cadangan masih sekitar 1.3 miliar barel. Namun, dari sekitar 2.5 juta penduduk Kaltim, sekitar 313.040 orang (12.4 persen) tergolong miskin.
Ketiga, Beban berat utang luar negeri. Hingga akhir Juni 2013, total utang pemerintah Indonesia Rp 2.036,14 triliun. Utang ini naik dibandingkan akhir 2012 yang sebesar Rp 1.977,71 triliun. Dikutip dari data Kementerian Keuangan jumlah cicilan utang yang dibayar pemerintah baik pokok atau bunganya selama 6 bulan di 2013 ini adalah Rp 135,482 triliun atau 45,2% dari target cicilan utang yang akan dibayar pemerintah tahun ini (Detikfinance.com, 10/08/2013).
Keempat, kekayaan lebih banyak dinikmati asing. Penerimaan pajak, deviden dan royalti pemerintah dari PT Freeport selama 2010 (sampai bulan September) adalah sebesar Rp 11,8 triliun (Kompas.com). Berapa penghasilan PT Freeport? Dengan saham 91,36%, penghasilan PT Freeport kira-kira Rp 106,2 triliun (Rp 11,8 triliun x 9). Terlebih lagi bahwa tahun 2012 kemarin kontrak kerja PT Freeport diperpanjang hingga tahun 2041. Hal yang serupa juga terjadi pada pengeloaan SDA migas dan tambang lainnya.
Bila itu semua yang dipertahankan oleh pemerintah pada moment peringatan kemerdekaan RI ke-68, maka dengan tegas dan haqqul yaqin penulis menilai Indonesia sulit menjadi negara yang mandiri melaikan “negara gagal”. Namun, kita pasti tetap optimis jika suatu saat nanti ada perubahan baru yang ditawarkan oleh generasi masa depan untuk memperbaiki sistem dan kebijakan secara kompherensip (kaffah) disegala bidang. Dengan harapan agar lini dan bidang bekerja secara profesional tanpa ada diskriminasi, penyalagunaan kekuasaan (abused power), melalaikan amanah rakyat dan melalaikan aturan tuhan (Syariat). 
Semoga paceklik kegalauan tentang makna kemerdekaan yang sebenarnya pun berakhir. Saatnya berkomitmen menjadi negara yang mandiri tanpa tunduk pada kebijakan asing dan para kapitalis (pemilik modal ). Oleh karena itu, penerapan syariat islam menjadi jawabanya karena penataan dan pengelolaan SDA akan mampu diselesaiakan dengan syariat islam. Insya Allah, dengan syariat negara ini menjadi yang mandiri tanpa ada intervensi dan campur tangan asing. Wallahu a’lam bi shawab

Follow me the Twitter @Muh.Didiharyono

0 komentar: