Oleh: Muh. Didiharyono (Direktur Islamic Civilizzation Studies)
Pesta memperingati kemerdekaan
Republik Indonesia (RI) rutin digelar setiap tahun, tahun ini peringatannya
sudah yang ke-68. Itu artinya secara de jure indonesia telah merdeka. Bila
kita mencoba me-refresh kembali sejarah kemerdekaan, akan terlihat begitu
banyak tetesan darah dan keringat para pejuang/ pahlawan yang mempertahankan
kemerdekaan negeri ini. Para pejuang berhasil mengusir keberadaan para
penjajah/ kolonial yang berada di indonesia. Namun, jika kita menengok kondisi
sekarang, telah jauh dari kemerdekaan yang diharapkan.
Tetapi
apalah artinya makna kemerdekaan yang dirasakan oleh anak bangsa, jika
kenyataan sehari-hari senantiasa dirundung berbagai macam problem jangka
panjang yang mengiris hati, masyarakat mengalami keguncangan jiwa (shock culture), kemiskinan,
pengangguran, anak terlantar, prilaku elit politik yang menghalalkan segala
cara, money politic, pungutan liar,
ketidakpastian hukum, tipu-daya partai politik yang sekadar rajin mengibarkan
bendera tanpa realisasi, janji-janji omong kosong serta para pemimpin yang
kepeduliannya sebatas menaikkan gaji dan harga tanpa kesanggupan memulihkan
harapan.
Penulis menelitik tidak sedikit
para pengambil kebijakan mengkhianati cita-cita mulia pahlawan terdahulu.
Banyak undang-undang yang dilahirkan tidak memihak lagi kepada rakyat, justru
berpihak kepada asing. Kebijakan yang dilahirkan bukan untuk kesejahteraan
rakyat tetapi kesejahteraan bagi para konglomerat, pemodal asing dan
orang-orang tertentu dinegeri ini. Sehingga, tidak bisa dipungkiri bahwa
munculnya problem tersebut disebabkan oleh produk-produk hukum yang diterapkan
dan kebijakan politik ekonomi kapitalis-neoliberasilme.
Dan
tidak boleh juga kita ‘amnesia’ bahwa fakta penjarahan kekayaan negeri ini bisa
berjalan mulus diantaranya karena UU yang dilahirkan dari kebijakan status quo.
Dan ini melibatkan para politikus yang di DPR dengan peran legislasinya. Padahal
masing-masing undang-undang tersebut, bila dianalisis, berdampak pada
kehancuran dahsyat bagi perekonomian nasional dan lingkungan, meningkatkan
jumlah kemiskinan struktural dan problem berkepanjangan lainnya.
Jika
kita telusuri banyak sekali kebijakan-kebijakan politik yang menjadikan
kemerdekaan RI hanya omong kosong belaka. Rakyat awam menilainya sebagai
kebohongan dengan retorika kemerdekaan. Coba ditelisik pemerintah telah
memprivatisasi 12 BUMN pada periode 1991-2001 dan 10 BUMN pada periode 2001-2006.
Tahun 2008 melalui Komite Privatisasi BUMN yang diketuai Menko Ekuin Boediono
saat itu mengharapkan agar dari 139 BUMN diprivatisasi menjadi 69 BUMN.
Karenanya,
privatisasi itu akan terus berjalan dan subsidi dicabut, bagian dari agenda
penjajahan yang paling nyata adalah pencabutan secara bertahap subsidi BBM yang
telah dilakukan. Juga pencabutan subsidi di bidang pertanian (seperti
pencabutan subsidi pupuk), kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Sumber Daya
Alam (SDA) Indonesia pun dikuasai Asing. Misalkan dibindang perminyakan,
penghasil minyak utama didominasi oleh asing. Diantaranya, Chevron 44%,
Pertamina & mitra 16%, Total E&P 10%, Conoco Phillip 8%, Medco 6%,
CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1 % lainnya 3%
(sumber: Dirjen Migas). Di bidang pertambangan, lebih dari 70% dikuasai asing.
Melihat
utang negara per bulan Mei 2013 sebagaimana laporan dari Sekretariat Nasional
(Seknas) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengungkapkan
utang Indonesia berdasarkan data yang didapat Fitra dari Kementerian
Keuangan telah mencapai Rp 2.036 triliun.
Coba
dibandingkan dengan laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) yang dikeluarkan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Desember 2012, utang negara saat itu Rp
1.850 triliun. Jadi, hanya dalam enam bulan, jumlah utang Indonesia bertambah
Rp 186 triliun (kompas.com). Naiknya secara drastis akibat korupsi dan belanja
“foya-foya” birokrasi.
Dengan
jebakan utang luar negeri berbunga dan kurs dolar. Akhirnya, Indonesia
merasa rendah diri dan para para donor (pemberi utang) dipandang superior.
Akibatnya, ketika mereka memberikan arahan UU Penanaman Modal, misalnya, maka
dengan lancar UU tersebut disahkan. Akibat selanjutnya, pihak asing makin
menguasai perekonomian Indonesia. Padahal UU tersebut merupakan payung
liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik.
Dan
dampak dari perkara diatas bisa kita lihat: Pertama, Kemiskinan. Akibat penjajahan baru, di Indonesia saat ini
terdapat sekitar 100 juta penduduk miskin menurut kategori Bank Dunia. Kedua, kesenjangan.
Contoh di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun;
emas 16.8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1.650 miliar meter
kubik pertahun (2005); minyak bumi 79.7 juta barel pertahun, dengan sisa
cadangan masih sekitar 1.3 miliar barel. Namun, dari sekitar 2.5 juta penduduk
Kaltim, sekitar 313.040 orang (12.4 persen) tergolong miskin.
Ketiga, Beban berat utang luar negeri. Hingga akhir Juni 2013, total utang pemerintah Indonesia
Rp 2.036,14 triliun. Utang ini naik dibandingkan akhir 2012 yang sebesar Rp
1.977,71 triliun. Dikutip dari data Kementerian Keuangan jumlah cicilan utang
yang dibayar pemerintah baik pokok atau bunganya selama 6 bulan di 2013 ini
adalah Rp 135,482 triliun atau 45,2% dari target cicilan utang yang akan
dibayar pemerintah tahun ini (Detikfinance.com, 10/08/2013).
Keempat,
kekayaan
lebih banyak dinikmati asing. Penerimaan pajak, deviden
dan royalti pemerintah dari PT Freeport selama 2010 (sampai bulan September)
adalah sebesar Rp 11,8 triliun (Kompas.com).
Berapa penghasilan PT Freeport? Dengan saham 91,36%, penghasilan PT Freeport
kira-kira Rp 106,2 triliun (Rp 11,8 triliun x 9). Terlebih lagi bahwa tahun
2012 kemarin kontrak kerja PT Freeport diperpanjang hingga tahun 2041. Hal yang
serupa juga terjadi pada pengeloaan SDA migas dan tambang lainnya.
Bila
itu semua yang dipertahankan oleh pemerintah pada moment peringatan kemerdekaan
RI ke-68, maka dengan tegas dan haqqul
yaqin penulis menilai Indonesia sulit menjadi negara yang mandiri melaikan
“negara gagal”. Namun, kita pasti tetap optimis jika suatu saat nanti ada
perubahan baru yang ditawarkan oleh generasi masa depan untuk memperbaiki sistem
dan kebijakan secara kompherensip (kaffah)
disegala bidang. Dengan harapan agar lini dan bidang bekerja secara profesional
tanpa ada diskriminasi, penyalagunaan kekuasaan (abused power), melalaikan amanah rakyat dan melalaikan aturan tuhan
(Syariat).
Semoga
paceklik kegalauan tentang makna kemerdekaan yang sebenarnya pun berakhir.
Saatnya berkomitmen menjadi negara yang mandiri tanpa tunduk pada kebijakan
asing dan para kapitalis (pemilik modal ). Oleh karena itu, penerapan syariat
islam menjadi jawabanya karena penataan dan pengelolaan SDA akan mampu
diselesaiakan dengan syariat islam. Insya Allah, dengan syariat negara ini
menjadi yang mandiri tanpa ada intervensi dan campur tangan asing. Wallahu a’lam bi shawab
Follow me the Twitter @Muh.Didiharyono
Memperingati Kemerdekaan RI ke-68: Saatnya menjadi negara yang mandiri