Selasa, Desember 03, 2013

Matematika dan Sains Islam



Peneliti sejarah perkembangan sains dan matematika semuanya mengakui betapa besar artinya sistem bilangan dan angka yang kita pakai saat ini dalam peradaban manusia dan perannya yang menjadi vital kepada pencetusan peradaban sains dan matematika barat. Hal ini tidak begitu ditekankan oleh peneliti barat ialah betapa besarnya peranan matematikawan muslim dalam pengkayaan sistem bilangan tersebut.
Banyak ilmuan kita ikut-ikutan dan latah pada perkembangan barat ketika mereka menyebutkan sistem bilangan yang digunakan sekarang ini sebagai angka hindu atau angka hindu-arab, dan lebih mengecewakan lagi orang-orang awam mengenalnya sebagai angka Inggris. Padahal, sistem bilangan dan angka yang digunakan di seluruh dunia saat ini adalah sistem angka muslim[1].
Sebelum dunia barat mendapat system bilangan, mereka menggunakan angka Yunani atau angka Roma bahkan sebagian lagi memakai sistem bilangan yang menggunakan sistem jari sampai abad ke-14. Dan ada lagi yang percaya dan menyebutkan bahwa angka yang dipakai sekarang ini pertama kali diperkenalkan di barat oleh Fibonacci, ahli matematika Italia, melalui bukunya Liber Abaci’ yang dipublikasika pada tahun 1202, tetapi dia tidak popular sampai berabad-abad kemudian dan terkenalnya dia hanya di barisan fibonaccinya saja. Lancelot Hogben menyatakan bahwa budaya islam telah melahirkan ke dunia  ini dua aliran besar pencapaai insan, pertama  sistem bilangan dari timur dan yang kedua matematika klasik barat[2].
George Sarton, ilmuwan barat yang terkemuka di dalam bidang sejarah sains. Pintu hatinya telah terbuka seluas-luasnya untuk memaparkan kebenaran tentang sistem bilangan. Dia tidak ragu-ragu memaparkan kejahatan ilmuan barat, beliau menyatakan bahwapara pengkaji yang berhubungan dengan zaman pertengahan telah memberikan kepada kita ide  palsu sama sekali tentang pemikiran sains zaman pertengahan karena kemampuan mereka yang terlalu eksklusif kepada pemikiran barat, sedangkan pencapaian tertinggi telah diperoleh oleh orang-orang timur…… sebutan orang ini kepada mereka……Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Thabit Ibnu-Qura, Al-Kharkhi, Omar Khayam, Ibnu Sina, dan lain sebagainnya yang semuanya lebih tinggi dari ilmuan-ilmuan yang dipuja dibarat[3].
Sarton menegaskan lagi bahwa Abad ke-9 hampir sepenuhnya berupa abad orang islam,… kegiatan ilmuan islam dan orang sainsnya, amatlah superior. Merekalah yang menjadi pemegang piwai sebenarnya bagi peradaban masa itu. Sebelum Salton mengemukakan ini, Smith telah lebih dulu menegaskan  dalam bukunya the History of Mathematics” bahwa “Eropa telah berhutang atas Renaissancenya (pembaharuanya) Kepada zaman keemasan islam ini[4].
Caara de Vaux seorang Ilmuwan Perancis yang begitu tekun meneliti sejarah perkembangan dunia sains pada Zaman Keemasan Islam (the golden age) berpendapat bahwa kekeliruan tentang asal-usul dari sistem bilangan tersebut disebabkan oleh kesalahan membaca teks asal Al-khwarizmi dalam bahasa arab itu. Katanya transkripsi hindi mungkin sekali merupakan kesalahan ilmuan Latin dalam mentranskripsikan perkataan yang amat  dekat dengannya yaitu “Hindasi” yang bermaksud ilmu ukur atau ilmu pengetahuan tentang penciptaan.
Sarton sekaligus menyesalkan penulis-penulis Latin yang memasukan nama Al-khawarizmi dengan nama seperti ‘algoritma’ itu sehingga generasi kemudian tidak tahu lagi nama asli Ilmuan Muslim tersebut. Al-khawarizmi dianggap orang yang paling popular tentang sistem bilangan dan angka yang kita gunakan saat ini terutama penemuan angka nol oleh beliau, sekurang-kurangnya dari segi penggunaan dan penyebarannya ke barat[5].
Aljabar merupakan salah satu cabang ilmu matematika yang dikembangkan oleh ilmuwan saat ini yang berhubungan dengan bilangan dan angka-angka, kata aljabar diambil dari nama seorang ilmuan matematika muslim yang sampai saat ini jasanya masih dikenang jasanya sepanjang masa yakni Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Yusof Ibn Musa al-khawarizmi yang dikenal dengan Muhammad Ibn Musa al-khawarizmi. Aljabar berasal dari kata al-Jabr yang berarti pertemuan atau hubungan yang merupakan cabang matematika yang dapat dicirikan sebagai generalisasi dari bidang aritmatika.
Aljabar juga merupakan nama sebuah struktur aljabar abstrak, yaitu aljabar dalam sebuah bidang atau ruang, satu dari dua operasi dalam matematika untuk menyelesaikan notasi kuadrat, yang tercantum dalam buku beliau. Kata logarisme dan logaritma diambil dari kata Algorismi, Latinisasi dari namanya. Nama beliau juga di serap dalam bahasa Spanyol Guarismo dan dalam bahasa Portugis, Algarismo yang berarti digit. Karya terbesar beliau dalam matematika sebagai fondasi dan kemudian lebih inovatif dalam aljabar, trigonometri, dan pada bidang lain yang ditekuni.
Aljabar merupakan bentuk dasar dari pembahasan matematika yang akan diajarkan kepada mahasiswa yang dianggap paling penting dalam matematika dengan tujuan agar mahasiswa mampu memahami dan menyelesaikan permasalahan dikehidupan sosial dengan metode-metode matematis aljabar. Aljabar elementer mencatat sifat-sifat operasi bilangan riil, menggunakan simbol sebagai pengganti untuk menandakan suatu bentuk benda, konstanta, peubah atau variabel, dan mempelajari aturan tentang ungkapan dan persamaan matematis yang melibatkan simbol-simbol tersebut misalkan penjumlahan disimbolkan dengan tanda (+), pengurangan disimbolkan dengan (-), perkalian disimbolkan dengan tanda (x), dan pembagian disimbolkan dengan (÷) yang merupakan bentuk dasar dalam aljabar. 
Akhirnya, perkembangan matematika dan sains dewasa ini tidak terlepas dari pengaruh perkembangan matematika dan sains islam pada masanya. Sehingga kita tidak boleh latah dan menyatakan bahwa peradaban barat lebih baik baik dari peradaban islam. 


[1] Shahrir bin Muhammad Zain. Pengenalan Tamadun Islam dalam Sains dan Teknologi. (Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur, 1985).
[2] Sulaiman Nordin. Sains Menurut Perspektif Islam. (Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur dengan PT. Dwi Rama, 2000).
[3] G. Salton. The life of sciences. (New York: Henry Schumann, 1948)
[4] D.E. Smith. History of the mathematics. (New York : Ginn Co, 1923).
[5] Shahrir bin Muhammad Zain, op. cit. hal 151

0 komentar: