Oleh: Harits Abu Ulya (Pemerhati
Kontra-terorisme dan Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI)
Dalam sebuah wawancara Ansyaad Mbai dengan situs Kristen
Reformata (di Posting 07 Juni 2011), kesekian kalinya Mbai mencoba
menjelaskan cara pandangnya terhadap persoalan radikalisme dan
terorisme.Di kota Makasar-Sulsel BNPT juga menggelar seminar nasional
bertajuk Ayo Lawan Terorisme di Balai Prajurit M Yusuf, Makassar, Rabu
(25 Mei 2011), tampil sebagai pemateri Kepala BNPT Ansyaad Mbai,
Perwakilan Kedutaan Australia Andrew Barner, Gubernur Sulsel Syahrul
Yasin Limpo, Perwakilan Kadin Indonesia Wibawanto Nugroho, Ketua Komisi I
DPR RI Luthfi Hasan Ishak dan dipandu guru besar UIN Prof Dr Hamdan
Juhannis.
Mbai di hadapan ratusan remaja dan
mahasiswa juga mengulang penjelasan yang sama seperti di berbagai forum
sebelumnya. Penulis melihatnya wajar, ia harus bicara dimana-mana dengan
konten seperti itu karena ia bekerja dan dibayar untuk itu setelah
pensiun dari Polri. Tapi menjadi tidak wajar jika kita menguji pemikiran
(doktrin) Mbai terkait persoalan terorisme dan akar masalahnya. Dalam
wawancaranya dengan situs Reformata minimal ada beberapa point doktrin
yang bisa kita uji kesahihannya.
Pertama;
menurut Mbai cir-ciri radikalisme (mengutip pandangan Gus Dur dalam
buku Ilusi Negara Islam), antara lain bahwa kelompok itu suka
mengkafirkan orang. Jangankan yang berbeda agama, yang berbeda saja,
dalam tata ibadah misalnya, itu sudah dianggapnya kafir. Kedua, mereka
selalu mengatasnamakan Tuhan untuk menghukum yang lain. Tujuan gerakan
mereka adalah ingin mengubah negara bangsa menjadi negara agama. Ganti
ideologi Pancasila dengan Islam versi mereka, mengganti NKRI dengan
khilafah. Ini ancaman bagi NKRI, karena itu Presiden selalu mengatakan,
negara tidak boleh kalah.
Cara main kutip tanpa memperhatikan
kredibilitas buku adalah sangat berbahaya. Lebih-lebih referensinya buku
“Ilusi Negara Islam” terbitan LibForAll Foundation atau kerja bareng
The Wahid Institut dengan Ma’arif Institut dan Gerakan Bhineka Tunggal
Ika yang diluncurkan 16 Mei 2009 banyak menuai kritikan. Empat peneliti
asal Yogyakarta, Zuli Qodir, Adur Rozaki, Laode Arham, Nur khalik
Ridwan, memprotes isi buku “Ilusi Negara Islam” tersebut. Buku itu
dinilai tidak sesuai dengan yang diteliti dan isinya mengadu domba umat
Islam. Aneh bukan? Buku yang memuat hasil penelitian mereka (4 orang di
atas), tapi justru ketika jadi buku, isinya jauh dari apa yang
ditelitinya. Isi dari buku telah menyimpang dari yang mereka teliti
selain mereka juga tidak dilibatkan dalam proses penerbitan. Dan tujuan
penerbitan dinilai telah bergeser dari riset yang semula bertujuan
akademik kepada kepentingan politis. Dan ini diperkuat hampir semua
peneliti daerah yang namanya tercantum dalam buku tersebut tidak pernah
diajak untuk berdialog menganalisis temuannya dalam kerangka laporan
hasil penelitian yang utuh. Dicatutnya para peniliti daerah hanya untuk
melegitimasi kepentingan politis pihak asing. Sebagaimana dilakukan
Holland Taylor dari Lib For All, Amerika Serikat yang begitu dominan
bekerja dalam kepentingan riset dan penerbitan buku itu.
Serasa lebih aneh lagi dengan buku tersebut ketika
mencantumkan Gus Dur menjadi editornya. Padahal, pada saat itu Gus Dur
terganggu penglihatannya sehingga tidak mungkin Gus Dur bisa
mengeditnya, kebablasan bukan?.
Penulis
sendiri pernah menjadi salah satu penanggap dalam diskusi terbatas yang
dilakukan Litbang Depag Pusat (Tahun 2010), membahas buku “Ilusi Negara
Islam” dengan menghadirkan salah satu narasumbernya adalah Direktur The
Wahid Institute. Banyak perserta diskusi mengkritisi dan tidak puas
bahkan meragukan kredibilitas dan intelektualitas orang-orang The Wahid
Institute jika mengacu kepada produk buku “Ilusi Negara Islam”. Sebuah
buku yang substansinya sarat adu domba dan tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Buku yang cacat secara ilmiah.
Nah, buku semacam inilah yang dijadikan referensi Ansyaad
Mbai untuk menjelaskan doktrin-doktrinnya siapakah yang dianggap radikal
atau bukan. Dengan sebuah parameter yang gegabah dan sarat dengan cara
pandang yang tendensius. Jangan-jangan Mbai tidak memahami terminologi
Radikal, Kafir, dan Ideologi? Meminjam istilah orang jawa: dengan buku
“ilusi Negara Islam” Mbai “nggepuk nyilih tangan” (mukul pinjam tangan).
Bagi Mbai, seperti yang pernah ia ungkapkan juga di
LokaKarya Sespim 27 Oktober 2009, pada umumnya jika seorang mempunyai
persepsi (mindset) tentang adanya kondisi yang menindas secara terus
menerus oleh Barat pimpinan AS terhadap Islam. Dan kemudian menganggap
bahwa kondisi tersebut adalah ketidakadilan yang harus diubah maka cukup
seorang bisa dilabeli Radikal bahkan teroris. Jika begini, berapa
banyak para intelektual dan para pengamat politik yang radikal dan
teroris ? Apalagi jika dikaitkan dengan kewajiban dalam Islam “amar
makruf nahi munkar”, berapa juta orang yang radikal jika mereka dengan
beraninya mengkritisi setiap kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa
atau oleh negara imperialis semacam Amerika? Rasanya naïf sekali menjadi
manusia yang sempurna karena akalnya, kemudian membeku seraya melipat
tangan tidak berbuat apa-apa untuk merubah kedzaliman yang terjadi.
Bahkan terlihat lebay sekali memberikan label radikal jika ada seorang
mengkafirkan orang lain karena berbeda dalam masalah ibadahnya. Jika
kita melihat realitas; betulkah demikian? Apakah ada diantara kita hanya
karena perbedaan dalam wilayah ibadah (furu’iyah) kemudian menjustice
dengan sebutan kafir. Jangan-jangan ini hanya “ngibul”nya Mbai? Karena
umat Islam mayoritas “melek akidah dan fiqh”, hanya layak seorang
disebut kafir atau murtad jika mereka sudah menyimpang dalam masalah
ushuli (I’tiqod) bukan masalah furu’iyah (cabang-cabang ritual ibadah).
Lain kali Mbai, harus membuktikan ucapannya dan contohnya. Sekalipun
ada, penulis yakin itu adalah orang-orang awam jahil yang baru belajar
Islam.
Kemudian, jika orang-orang yang dengan
mindset-nya layak dicap radikal-teroris membahayakan NKRI maka penulis
mengajukan beberapa pertanyaan yang perlu dijawab. Siapa sebenarnya yang
membahayakan NKRI atau yang jelas-jelas telah mengoyak NKRI?
Orang-orang yang diduga radikal-teroris (dengan mindset versi Ansyaad
Mbai) atau Seorang Presiden RI yang mengeluarkan keputusan politik
“referendum Timor-timur” yang berakhir tragis lepasnya Timor-timur dari
pangkuan NKRI? Atau keputusan Presiden RI dengan MoU Helsinky yang
memberikan jalan lempang bangunan Federalisme Aceh? Penulis yakin,
analisa dan data intelijen sedemikian rupa telah membaca arah perjuangan
politik GAM dengan memanfaatkan MoU, dengan isu demokratisasi dan
dukungan LSM-LSM komprador akan mudah Aceh menuju panggung referendum
dan sangat mungkin federalism bisa diraih. Dalam konteks Indonesia yang
masuk ancaman (terorisme) adalah kelompok yang mengusung semangat
etno-nasionalism atau separatism seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka)
dan RMS selain kelompok yang dianggap memiliki visi Negara Islam (daulah
Islam). Lantas pertanyaannya adalah; kenapa BNPT dengan Densus 88-nya
tidak kerja keras menangkap memberangus mereka seperti halnya para
aktifis yang disangka atau dituduh teroris? Berapa orang OPM yang
ditangkap Densus-88? Sementara hingga saat ini lebih dari 600 orang
aktifis Islam dalam bui rezim karena dikaitkan dengan “terorisme”.
Lantas siapa sebenarnya yang membahayakan NKRI? Jika kita
telisik banyak sekali kebijakan-kebijakan politik yang menjadikan
kedaulatan NKRI hanya menjadi mimpi di siang bolong. Lihatlah;
Pemerintah telah memprivatisasi 12 BUMN pada periode 1991-2001 dan 10
BUMN pada periode 2001-2006. Pemerintah tahun 2008 melalui Komite
Privatisasi BUMN yang diketuai Menko Ekuin Boediono saat itu
mengharapkan agar dari 139 BUMN diprivatisasi menjadi 69 BUMN.
Karenanya, privatisasi itu akan terus berjalan. Subsidi dicabut; bagian
dari agenda penjajahan yang paling nyata adalah pencabutan secara
bertahap subsidi BBM yang telah dan akan dilakukan. Juga pencabutan
subsidi di bidang pertanian (seperti pencabutan subsidi pupuk),
kesehatan, pendidikan, dll. SDA Indonesia dikangkangi Asing, di bidang
perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing. Diantaranya,
Chevron 44%, Pertamina & mitra 16%, Total E&P 10%, Conoco
Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%,
Kodeco Energy 1 % lainnya 3% (sumber: Dirjen Migas, 2009).Di bidang
pertambangan, lebih dari 70% dikuasai asing. Asing juga menguasai 50,6%
aset perbankan nasional per Maret 2011. Total kepemilikan investor
asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan
diperdagangkan di bursa efek. Utang luar negeri; total utang pemerintah
Indonesia hingga April 2011 mencapai Rp 1.697,44 triliun.
Dan dampak dari perkara diatas bisa kita lihat;
1.Kemiskinan; Akibat penjajahan baru, di Indonesia saat ini terdapat
sekitar 100 juta penduduk miskin menurut kategori Bank Dunia (Okezone,
18/8/2009). 2.Beban berat utang luar negeri; Dalam APBN 2011, pembayaran
utang negara (cicilan pokok+bunga utang) meningkat menjadi Rp 247
triliun (Rp 116,4 triliun hanya untuk membayar bunga saja)
(Detikfinance.com, 9/1/2011). 3.Kekayaan lebih banyak dinikmati asing;
Penerimaan pajak, deviden dan royalti Pemerintah dari PT Freeport selama
2010 (sampai bulan September) adalah sebesar Rp 11,8 triliun
(Kompas.com, 14/12/2010). Berapa penghasilan PT Freeport? Dengan saham
91,36%, penghasilan PT Freeport kira-kira Rp 106,2 triliun (Rp 11,8
triliun x 9). Hal yang serupa juga terjadi pada pengeloaan SDA migas dan
tambang lainnya. 4.Kesenjangan; contoh di Kaltim, batubara diproduksi
sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas 16.8 ton pertahun; perak 14
ton pertahun; gas alam 1.650 miliar meter kubik pertahun (2005); minyak
bumi 79.7 juta barel pertahun, dengan sisa cadangan masih sekitar 1.3
miliar barel. Namun, dari sekitar 2.5 juta penduduk Kaltim, sekitar
313.040 orang (12.4 persen) tergolong miskin.
Di Aceh, cadangan gasnya mencapai 17.1 tiliun kaki kubik.
Hingga tahun 2002, sudah 70 persen cadangan gas di wilayah ini dikuras
oleh PT Arun LNG dengan operator PT Exxon Mobile sejak 1978. Namun, Aceh
menjadi daerah termiskin ke-4 di Indonesia dimana 28,5 % penduduknya
miskin.
Dan kita tidak boleh amnesia (hilang
ingatan), bahwa penjarahan kekayaan negeri ini bisa berjalan mulus
diantaranya karena UU. Dan ini melibatkan para politikus yang di DPR
dengan peran legislasinya. Padahal masing-masing undang-undang tersebut,
bila dianalisis, berdampak pada kehancuran dahsyat bagi perekonomian
nasional dan lingkungan; meningkatkan jumlah kemiskinan struktural,
pengangguran, keegoisan, kebodohan, kematian, kelaparan dan chaos.
Sekali lagi, siapa yang membahayakan NKRI dengan segenap
tumpah darah dan jiwa raga yang menghuninya?
Kedua; menurut Mbai, Dulu radikalisme ia anggap berkembang
di pesantren atau di masjid. Ternyata keliru. Sekarang mereka justru
tumbuh subur di perguruan tinggi. Bukan sekadar perguruan tinggi, tapi
perguruan tinggi favorit. Bukan di jurusan sosial, tapi jurusan eksakta
dan science.
Sadarkah kita, jika selama ini Ansyaad
dkk telah melihat pesantren dan masjid sedemikian buruk? Bahkan sudah
menjustice, tapi kemudian dianggap keliru. Kira-kira selama dalam payung
“kaca mata” yang salah itu apa yang dilakukan oleh razim terhadap
pesantren dan masjid? Sangat mungkin aparat intelijen yang dibayar
dengan uang rakyat pekerjaanya adalah memata-matai rakyat yang mayoritas
Muslim di negeri ini. Yang menjadi pertanyaan menarik, kenapa
“kebangkitan” dan “kesadaran politik” begitu suburnya di kalangan kaum
intelektual? Simpel jawabannya; mereka bukan orang awam yang bisa
disumbat mulut, mata dan telinganya. Tapi kesadaran seperti ini bagi
seorang Mbai menjadi bermasalah dan berbahaya bahkan layak dicap teroris
atau minimal masih satu “linkmind” dengan kelompok radikal-teroris
hanya karena ada kesamaan cara pandang terkait kondisi sosial politik
baik dalam kontek global, regional maupun lokal.
Maka sekarang bisa dipastikan; kampus menjadi tempat
favorit operasi intelijen BNPT dengan bendera Deradikalisasi. Apa
bedanya dengan razim Orde baru kalau sikap penguasa melalui BNPT-nya
seperti itu?
Ketiga; menurut Mbai, Dari hasil
pemeriksaan kepada kelompok ini selama 10 tahun terakhir, jelas tujuan
mereka adalah Negara Islam, khilafah dan penegakan syariat Islam. Jadi
sama dan sebangun dengan NII (Negara Islam Indonesia).
Betulkah mereka yang melakukan aksi “terorisme” hendak
mendirikan negara Islam atau Khilafah Islam? Apakah membangun negara itu
logikanya sama seperti membangun Mall, rumah sakit, gedung bioskop atau
bangunan fisik lainnya? Jika hendak membangun negara Islam maka perlu
bangunan dan infrastruktur itu dihancurkan. Atau dengan tindakan teror
itu dengan mudahnya akan melahirkan ditrush terhadap penguasa dan
kekuasaan akan begitu mudahnya beralih ke tangan mereka. Apalagi jika
diukur dengan manhaj Kenabian dalam mendirikan negara, Rasulullah SAW
tidak pernah mencontohkan “terror” menjadi jalan (metode) menegakkan
negara.
Maka kesimpulan para “teroris”
tujuannya adalah negara Islam perlu dikritisi, karena ada logika yang
tidak nyambung. Apalagi jika diukur dengan timbangan metode Rasulullah
SAW. Lagian masyarakat juga banyak yang tidak paham bagaimana pihak
aparat kerap melakukan intimidasi mental dan fisik (siksaan) untuk
membuat sebuah pengakuan yang akan dituangkan dalam BAP.
Menurut penulis, ini ada perang opini dan propaganda dalam
terminologi jihad, negara Islam, dan syariah. Hingga sangking konyolnya,
perampokan CIMB (tindak pidana criminal)-pun diungkap bahwa motif
perampokan adalah mendirikan negara Islam. Sebuah lompatan konklusi yang
sulit diterima nalar sehat. Adakah sebuah negara bisa dibangun dengan
hasil rampokan 600 juta rupiah? Negara “antah barantah” mungkin.
Keempat; menurut Mbai, perlu mencontoh Malasyia dan
Singapura untuk membuat perangkat hukum. Menurut Mbai di Malaysia keras
sekali. Teroris dan radikalis tidak memiliki ruang gerak. Mahathir,
mantan perdana menteri Malaysia tegas sekali. Semua ceramah, dakwah atau
apa pun yang ditengarai menyebarkan permusuhan dan kebencian, itu
ditangkap dan dimonitor
Ini tidak lebih sebagai ikhtiyar
represif ala demokrasi. Jika ada regulasi yang meng-copy paste ala
Malasyia atau Singaupura bisa jadi seorang nanti ceramah atau khutbah
dan dimata-matai kemudian disimpulkan secara subyektif bahwa dia
menghasut atau dianggap menyebar kebencian, maka bisa ditangkap dan
dikenakan tuduhan terorisme karena dianggap satu rangkaian.
Dan menurut penulis, ini adalah cara pandang dan upaya
paranoid dalam isu radikalisme dan terorisme. Sebuah pilihan solusi
terhadap hilir dan abai pada persoalan hulunya. Sangat mungkin dengan
munculnya regulasi yang sangat represif akan semakin menumbuhkan
radikalisme seperti halnya hari ini. Dengan adanya lembaga semacam BNPT
dan tindakan represif Densus88, “terorisme” bukan mengecil namun makin
meng-eskalasi.
Kelima; menurut Mbai, penanganan
radikalisme dan terorisme perlu upaya merubah prinsip teologisnya.
Konsep Islam sebagai rahmat bagi semesta itu perlu dikedepankan terus.
Penulis tidak pernah mendengar dan membaca konsep Islam
rahmatan versi Mbai itu seperti apa, dan bagaimana? Bisa jadi seorang
Mbai belum paham atau tidak paham apa yang dimaksudkan Islam Rahmatan
dan bagaimana mewujudkannya?
Apakah maksud Islam Rahmatan itu
kehidupan kaum Muslim yang hanya mengambil aspek ritual dan membuang
aspek politiknya? Apakah seorang Ansyaad Mbai pernah mengkaji tuntas al
Qur’an dan Sunnah Rasul SAW hingga mendapatkan gambaran yang holistik
dan integral tentang Islam? Islam itu Way of life, tapi bisa jadi Way of
Life-nya seorang Ansyaad sebagai seorang muslim masih seperti orang
buta yang meraba gajah dan hanya ketemu ekor dan pantatnya kemudian
yakin sekali gajah itu ya seperti yang ia raba.
Sayang sekali, di banyak kesempatan seorang Mbai jarang
membuka ruang dialog secara fair dan gayeng. Tapi yang terjadi
sebaliknya, datang dan mengumbar “doktrin” lantas pergi. Lantas siapa
sebenarnya yang menebar kebencian dan hasutan? Siapa yang menebar salah
saham? Jika demikian terus adanya, alih-alih Ansyaad Mbai melakukan
de-radikalisasi tapi justru ia melakukan radikalisasi terhadap umat
Islam.
Waspadalah wahai umat Islam, siang dan
malam orang-orang munafik mempersembahkan pengorbanan mereka demi umat
ini tidak kembali kepada seruan Allah SWt dan Rasulullah SAW. Wallahu
a’lam bishowab
Siapa yang Membahayakan NKRI ?