Senin, Desember 17, 2012

Aqidah Islamiyah: Suatu Tinjauan Islam Ideologis



(Tulisan yang dibawakan pada Pengkaderan Organda Maluku Tengah Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Luhu Huamual IPPMLH-Makassar, 15 Desember 2012)
Oleh: Muhammad Didi Haryono (Direktur ICS-Islamic Civilizzation Studies/ Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia Makassar)
Aqidah Islamiyah
Secara bahasa, aqidah berasal dari kata ‘aqoda ya’qidu/’uqdatan/wa’aqidatan, yang berarti ikatan (al-rabthu), janji (al-‘ahdu), keyakinan yang mantap (al-jazmu). Sedangkan menurut istilah, aqidah adalah perkara-perkara yang dibenarkan oleh jiwa dan hati merasa tenang karenanya serta menjadi suatu keyakinan bagi pemiliknya yang tidak dicampuri keraguan sedikitpun. Aqidah juga merupakan keyakinan yang tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian dan menjadi landasan dalam beramal.
Aqidah Islamiyah bersumber pada Al Quran dan As Sunnah/Al Hadits. Oleh sebab itu, segala bentuk amal ibadah wajib berdasarkan kepada Al Quran dan Hadits. Barang siapa melakukan amal ibadah yang tidak sesuai atau tidak terdapat di dalam Al Quran ataupun Al Hadits, maka amal ibadahnya akan tertolak, dan boleh jadi hanya akan menimbulkan murka Allah swt.
Barang siapa mengerjakan suatu amalan tanpa dasar perintah Kami, maka ia tertolak” (HR. Muslim)
Islam itu didirikan di atas lima dasar; bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah, dan Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, hajji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan”. (HR. Bukhari – Muslim)
Setiap bangunan pastilah memilik dasar atau pondasi awal. Semakin tinggi, semakin megah, semakin besar suatu bangunan, maka tentunya ia membutuhkan pondasi yang semakin kuat. Itulah pentingnya mengokohkan Rukun Iman di dalam hati setiap umat muslim yang beriman, karena rukun iman adalah basic atau pondasi yang akan menentukan kekokohan bangunannya, yaitu bangunan Islam. Bangunan islam yang sudah tertanam dalam diri seseorang tentunya akan mudah diluluh lantahkan oleh berbagai ujian yang senantiasa menghadang dan mendatangi seseorang yang mengaku beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Islam sebagai sebuah Ideologi
Harus diakui, istilah ideologi adalah istilah baru, setelah munculnya ideologi dunia, seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Bagi Islam dan kaum Muslim, istilah ideologi ini merupakan istilah serapan, seperti istilah ‘aqîdah, dharîbah, dustûr (UUD) dan qânûn (UU) pada zaman masing-masing ketika istilah tersebut muncul pertama kali, dan diadopsi oleh kaum Muslim. Istilah ‘aqîdah, misalnya, sekalipun tidak digunakan dalam nas-nas al-Quran dan as-Sunnah, pada akhirnya bisa diterima oleh kaum Muslim, setelah digunakan oleh para ulama ushuluddin pada pertengahan abad ke-6 H. Istilah ini merupakan padanan dari kata îmân, yang digunakan baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Demikian halnya penggunakan istilah dharîbah, digunakan oleh para fukaha kaum Muslim kira-kira pada abad ke-8 H. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus dustûr dan qânûn, yang digunakan pada abad ke-18 H, setelah negara-negara Eropa mulai bangkit serta membuat UUD dan peraturan perundang-undangan. Istilah UUD dan peraturan perundang-undangan ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab dengan istilah ad-dustûr wa al-qawânîn. Awalnya, istilah ini dipakai oleh para ulama bahasa untuk menulis buku yang berisi aturan bahasa, seperti kitab Dustûr al-Muntahâ atau Dustûr al-Mubtadi’.
Dalam konteks penggunaan istilah ideologi, istilah ini kemudian digunakan dalam bahasa Arab dengan sebutan yang sama, yaitu idiyuluji, atau dengan sebutan yang berbeda, yaitu mabda’. Intinya adalah pemikiran paling mendasar yang tidak dibangun dari pemikiran yang lain. Pemikiran seperti ini, menurut Muhammad Muhammad Ismail, mendifinisikan ideologi adalah Al-Fikru al-asasi al-ladzi hubna Qablahu Fikrun Akhar yaitu pemikiran mendasar yang sama sekali tidak dibangun (disandarkan) di atas pemikiran pemikiran yang lain. Pemikiran mendasar ini merupakan akumulasi jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa dan mau kemana alam, manusia dan kehidupan ini yang dihubungkan dengan asal muasal penciptaannya dan kehidupan setelahnya?
Dr. Hafidh Shaleh mendifinisikan Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia. Kemudian Taqiyuddin An-Nabhani mendifinisikan Mabda’ adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia ini. Atau Mabda’ adalah suatu ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan hidup. Mencakup dua bagian yaitu fikrah (konsep) dan thariqah (metode agar Ideologi itu bisa diterapkan, dipertahankan dan disebarluaskan)
Bagi kaum Muslim, pemikiran seperti ini adalah akidah Islam itu sendiri. Sebab, akidah Islam adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan; yaitu dari mana, untuk apa dan akan ke manakah alam, manusia dan kehidupan ini?
Maka dari itu, tentunya alam, manusia dan kehidupan itu tak lain merupakan ciptaan Allah, untuk mengabdi kepada-Nya, dan hanya kepada-Nyalah semuanya akan kembali. Manusia akan dibangkitkan dan dimintai pertanggung jawaban setelah kematiannya di dunia, sementara yang lain tidak. Karena itu, sebelum kehidupan ini, ada Allah, Zat Yang Maha Pencipta, dan setelah kehidupan ini akan ada Hari Kiamat dan yaumil hisâb. Agar semua proses kehidupan manusia itu bisa dipertanggung jawabkan di hadapan Allah kelak, maka Allah menurunkan syariah (aturan) untuk kehidupan manusia, yang kelak juga akan dijadikan standar oleh Allah untuk meminta pertanggung jawaban mereka. Inilah pemikiran mendasar yang juga disebut fikrah kulliyah Islam. Pemikiran mendasar inilah yang juga disebut mabda’ atau idiyuluji. Inilah substansi ideologi yaitu apa dan bagaimana ideologi itu sendiri.
Pertanyaan berikutnya, apakah setiap akidah agama bisa menjadi ideologi? Jawabannya tidak, bergantung: Pertama, apakah akidahnya adalah akidah yang rasional atau tidak? Kedua, apakah akidah tersebut bisa memancarkan sistem (nizhâm) atau tidak? Jika dari kedua pertanyaan tersebut jawabannya ya, atau dengan kata lain merupakan akidah rasional yang bisa memancarkan sistem, maka akidah tersebut bisa menjadi ideologi. Sebaliknya, jika tidak maka akidah tersebut pasti tidak akan bisa menjadi ideologi. Contohnya, akidah Yahudi maupun Nasrani. Kedua akidah ini tidak bisa menjadi ideologi, karena bukan merupakan akidah ‘aqliyyah, yang bisa memancarkan nizhâm. Ini berbeda dengan akidah Islam. Akidah Islam adalah akidah rasional yang bisa memancarkan nizhâm, yang bukan hanya sistem peribadatan saja, melainkan juga sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan semua sistem kehidupan yang lainnya.
Bukti lain bahwa Islam bisa menjadi ideologi adalah dari aspek keutuhan ajaran Islam, yang bukan hanya berisi gagasan, konsep atau pemikiran, yang disebut dengan fikrah (ide), tetapi juga berisi tharîqah (metode) bagaimana fikrah tersebut diterapkan, dipertahankan dan diemban ke seluruh dunia. Pada tataran konsep misalnya, Islam bukan saja berisi akidah tentang keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat serta Qadha’ dan Qadar yang baik dan buruknya berasal dari Allah, tetapi juga seluruh aturan yang dibutuhkan oleh manusia, baik dalam konteks ibadah, muamalah maupun untuk mengurus dirinya sendiri (akhlak, makanan dan pakaian). Semua itu hanya bisa diwujudkan kalau ada metode untuk mewujudkannya yaitu adanya partai yang memperjuangkan terwujudnya fikrah tersebut dan adanya negara yang menerapkannya. Demikian halnya, semua itu bisa dipertahankan jika ada sanksi hukum dan negara yang mempertahankannya berikut peranan partai politik dan umat yang mengontrolnya. Begitu juga, semua itu akan bisa diemban ke seluruh dunia jika ada dakwah, jihad dan negara yang mengembannya.
Karena itu, Islam bukan hanya agama melainkan juga ideologi. Penggunaan ideologi ini untuk Islam tentu absah dilihat dari substansinya bukan dari aspek sumber dari mana ideologi tersebut dihasilkan apakah akal atau wahyu? Sebab, pada aspek ini persoalannya adalah persoalan sumber, bukan substansi. Artinya dari aspek sumber ideologi, ideologi yang ada saat ini bisa dikategorikan menjadi dua yaitu ideologi yang bersumber dari akal manusia dan ideologi yang bersumber dari wahyu. Islam adalah satu-satunya ideologi yang bersumber dari wahyu. Selain Islam baik Kapitalisme, Solialisme maupun Komunisme adalah ideologi yang bersumber dari akal manusia. Hanya saja, sering ada kesengajaan untuk merancukan ideologi dari substansinya ke sumbernya. Akibatnya Islam ditolak sebagai ideologi, dengan alasan Islam adalah ajaran yang bukan bersumber dari akal manusia, melainkan dari wahyu Allah. Padahal konteks permasalahannya bukan disitu. Ini sebenarnya merupakan upaya penyesatan yang bertujuan untuk menolak Islam sebagai ideologi. Padahal dengan menolak Islam sebagai ideologi, sama saja dengan menolak Islam sebagai sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri. Tentu itu bertentangan dengan akidah Islam dan kaum Muslim, apapun mazhabnya.
Kita tidak yakin ada orang Islam yang berani melakukan itu, apalagi sampai lancang mengatakan, bahwa ideologi Islam adalah sumber konflik. Sebab, risikonya jelas: melawan akidah yang diyakininya bahkan menginjak-injak fikih yang dipelajari dan diajarkannya sendiri kecuali jika dia menjadi kepanjangan tangan kaum imperialis penjajah untuk sengaja melemahkan Islam dan kaum Muslim demi mendapatkan secuil kenikmatan dunia yang belum tentu didapatkannya.
Islam Adalah agama Sekaligus Sebagai Ideologi
Islam bukan hanya sebagai agama Spritual belaka. Tapi Islam juga adalah sebuah Ideologi dan pandangan Hidup. Islam dibangun dari sebuah pemikiran yang rasional tentang kehidupan, alam semesta, dan manusia bahwa semuanya itu adalah ciptaan Allah SWT. Dan bahwasanya manusia dalam kehidupan ini mesti diatur oleh perintah dan larangan Allah. Akidah Islam dibangun dari sebuah pemikiran yang jernih dan jauh dari sikap tahayul yang hanya menduga-duga dalam hal keyakinan. Kendati demikian Islam juga menjelaskan kelemahan dan posisi Akal tatkala mengetahui Zat Allah SWT. Karena keyakinan akan adanya Allah pencipta Alam Semesta ini dapat dibuktikan dengan mengamati ciptaannya, dan mustahil memahami hakekat Zat Allah.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 190)
Islam juga mewajibakn beriman kepada Al Qur'an dan kerasulan Muhammad, dimana keduanya dapat dibuktikan oleh orang yang berakan dan mampu untuk berpikir. Karena memang demikian adanya. Berikut ayat yang menjadi bukti kebenaran Al Qur'an tatkala menantang Orang Quraisy pada waktu
“Katakanlah: ‘Maka datangkanlah sepuluh surat yang (dapat) menyamainya” (TQS. Hud [11]: 13)
Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah, pakaian dan akhlak semata, tapi Islam juga mengatur bagaimana mengelolan dan mengatur negara ini. Islam bukan hanya sebagai agama spritual semata. Di sinilah perbedaan antara Islam dengan agama lainnya. Tatkala agama lain hanya mengatur mengenai tata cara ibadah atau spritual semata. Islam justru mengatur lebih dari pada itu. Islam adalah ajaran yang mengatur masalah politik dan spritual. Islam juga berbeda dengan Ideologi lainnya yakni Kapitalisme dan Komunisme. Kedua Ideologi tersebut tentu hanya mengatur masalah kehidupan semata, dan tidak mengatur bagaimana masalah spritual, bahkan kering dari nilai spiritual utamanya pada Ideologi Komunisme.
Disini sudah jelas bahwasanya Islam bukan sekedar Agama, tapi juga merupakan Ideologi yang wajib untuk di terapkan. Islam terdiri dari akidah dan Syariah. Dimana Akidah ini menjadi dasar dari segala sesuatu dan Syariah adalah solusi dari semua persoalan yang di hadapi manusia, bukan hanya dalam taraf individu, tapi juga dalam taraf negara
Ideologi Islam Bertentangan Dengan Sekulerisme
Sekulerisme adalah Suatu paham yang bertentangan dengan Ideologi Islam. Sekulerisme adalah paham memisahkan aturan agama dengan Kehidupan yang pada akhirnya memisahkannya dengan Negara. Dari Sekulerisme inilah lahir sebuah paham demokrasi yang terdiri dari 4 kebebasan yaitu: 1. Kebebasan Beragama, 2. Kebebasan Berpendapat, 3. Kebebasan Bertingkah laku, dan 4. Kebebasan Hak Milik
Kebabasan beragama adalah bertentangan dengan Ideologi Islam, karenan dengan kebebasan beragama maka seseorang bisa saja murtad dari Islam banyak kali. ini sama sekali bertentangan dengan Akidah Islam. Munculnya banyak aliran sesat adalah buah dari penerapan kebebasan ini. Kebebasan berpendapatpun adalah merusak. Mungkin orang berkata bahwasanya di alam demokrasi kita bebas menyuarakan Syariah. Tapi disisi lain, orang juga bebas untuk menghina Syariah, bahkan sampai menghina Rasulullah (naudzubillahi minzalik). Seperti media barat yang sering memojokkan Islam.
Kebebasan bertingkah laku juga adalah merusak karena dapat menyebabkan rusaknya moral. Kasus maraknya pornoaksi adalah buah kerusakan itu. Kebebasan hak milik juga merusak karena dengan Ini maka kapitalisme akan semakin langgeng. Seseorang bisa saja menguasai hajat hidup orang banyak. Sementara banyak rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan tidak mendapat apa apa, seperti yang terjadi di Negeri ini. Semua itu lazim disebut liberalisme, masih banyak kerusakan dari sekulerisme yang tak dapat dibahas semuanya.
Demikian fakta dari kerusakan sistem sekuler ini maka sudah sepantasnya kita kembali untuk menerapkan Islam di negeri ini. Karena Islam adalah bersumber dari pencipta kita Allah SWT. Zat Yang Maha Sempurna yang tidak membutuhkan mahkluknya. Sungguh sistem yang Indah yang mampu meyelamatkan negeri dari kehancuran. Karena Ideologi Islam adalah konsekuensi keberimanan kita.
Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (QS al-Anbiya’ ]21]: 107).
Perlu diketahui bahwa iman terhadap syariat Islam tidak cukup dilandaskan pada akal semata, tetapi juga harus disertai sikap penyerahan total dan penerimaan secara mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana firman Allah SWT:
“Maka demi Rabbmu, mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima (pasrah) dengan sepenuhnya” (TQS. An- Nisa [4]: 65).

**Wallahu a’lam bi shawab**

0 komentar: