(Tulisan yang dibawakan pada Pengkaderan Organda Maluku Tengah Ikatan
Pemuda Pelajar Mahasiswa Luhu Huamual IPPMLH-Makassar, 15 Desember 2012)
Oleh: Muhammad Didi Haryono (Direktur ICS-Islamic Civilizzation Studies/ Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia Makassar)
Aqidah Islamiyah
Secara
bahasa, aqidah berasal dari kata ‘aqoda
ya’qidu/’uqdatan/wa’aqidatan, yang berarti ikatan (al-rabthu), janji (al-‘ahdu),
keyakinan yang mantap (al-jazmu). Sedangkan
menurut istilah, aqidah adalah perkara-perkara yang dibenarkan oleh jiwa dan
hati merasa tenang karenanya serta menjadi suatu keyakinan bagi pemiliknya yang
tidak dicampuri keraguan sedikitpun. Aqidah juga merupakan keyakinan yang tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan
mengandung perjanjian dan menjadi landasan dalam beramal.
Aqidah
Islamiyah bersumber pada Al Quran dan As Sunnah/Al Hadits. Oleh sebab itu,
segala bentuk amal ibadah wajib berdasarkan kepada Al Quran dan Hadits. Barang
siapa melakukan amal ibadah yang tidak sesuai atau tidak terdapat di dalam Al
Quran ataupun Al Hadits, maka amal ibadahnya akan tertolak, dan boleh jadi
hanya akan menimbulkan murka Allah swt.
“Barang
siapa mengerjakan suatu amalan tanpa dasar perintah Kami, maka ia tertolak”
(HR. Muslim)
“Islam itu didirikan di atas lima
dasar; bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah, dan
Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, hajji ke
Baitullah, dan berpuasa Ramadhan”. (HR. Bukhari – Muslim)
Setiap bangunan pastilah memilik dasar
atau pondasi awal. Semakin tinggi, semakin megah, semakin besar suatu bangunan,
maka tentunya ia membutuhkan pondasi yang semakin kuat. Itulah pentingnya
mengokohkan Rukun Iman di dalam hati setiap umat muslim yang beriman, karena
rukun iman adalah basic atau pondasi yang akan menentukan kekokohan
bangunannya, yaitu bangunan Islam. Bangunan islam yang sudah tertanam dalam
diri seseorang tentunya akan mudah diluluh lantahkan oleh berbagai ujian yang
senantiasa menghadang dan mendatangi seseorang yang mengaku beriman kepada
Allah swt dan Rasul-Nya.
Islam sebagai sebuah Ideologi
Harus
diakui, istilah ideologi adalah istilah baru, setelah munculnya ideologi
dunia, seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Bagi Islam dan kaum Muslim, istilah ideologi
ini merupakan istilah serapan, seperti istilah ‘aqîdah, dharîbah, dustûr
(UUD) dan qânûn (UU) pada zaman masing-masing ketika istilah tersebut
muncul pertama kali, dan diadopsi oleh kaum Muslim. Istilah ‘aqîdah,
misalnya, sekalipun tidak digunakan dalam nas-nas al-Quran dan as-Sunnah, pada
akhirnya bisa diterima oleh kaum Muslim, setelah digunakan oleh para ulama
ushuluddin pada pertengahan abad ke-6 H. Istilah ini merupakan padanan dari
kata îmân, yang digunakan baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Demikian
halnya penggunakan istilah dharîbah, digunakan oleh para fukaha kaum
Muslim kira-kira pada abad ke-8 H. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus dustûr
dan qânûn, yang digunakan pada abad ke-18 H, setelah negara-negara
Eropa mulai bangkit serta membuat UUD dan peraturan perundang-undangan. Istilah
UUD dan peraturan perundang-undangan ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa
Arab dengan istilah ad-dustûr wa al-qawânîn. Awalnya, istilah ini
dipakai oleh para ulama bahasa untuk menulis buku yang berisi aturan bahasa,
seperti kitab Dustûr al-Muntahâ atau Dustûr al-Mubtadi’.
Dalam
konteks penggunaan istilah ideologi, istilah ini kemudian digunakan
dalam bahasa Arab dengan sebutan yang sama, yaitu idiyuluji, atau dengan
sebutan yang berbeda, yaitu mabda’. Intinya adalah pemikiran paling
mendasar yang tidak dibangun dari pemikiran yang lain. Pemikiran seperti ini, menurut
Muhammad
Muhammad Ismail, mendifinisikan ideologi adalah Al-Fikru al-asasi al-ladzi hubna Qablahu Fikrun Akhar yaitu
pemikiran mendasar yang sama sekali tidak dibangun (disandarkan) di atas
pemikiran pemikiran yang lain. Pemikiran mendasar ini merupakan akumulasi jawaban
atas pertanyaan dari mana, untuk apa dan mau kemana alam, manusia dan kehidupan
ini yang dihubungkan dengan asal muasal penciptaannya dan kehidupan setelahnya?
Dr.
Hafidh Shaleh mendifinisikan Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai
ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi
atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai
metode, yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut,
metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia.
Kemudian Taqiyuddin An-Nabhani mendifinisikan Mabda’ adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang
dimaksud aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia,
dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping
hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia
ini. Atau Mabda’ adalah suatu ide
dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan hidup. Mencakup dua
bagian yaitu fikrah (konsep) dan thariqah (metode agar Ideologi itu bisa
diterapkan, dipertahankan dan disebarluaskan)
Bagi kaum
Muslim, pemikiran seperti ini adalah akidah Islam itu sendiri. Sebab, akidah
Islam adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan;
yaitu dari mana, untuk apa dan akan ke manakah alam, manusia dan kehidupan ini?
Maka dari
itu, tentunya alam, manusia dan kehidupan itu tak lain merupakan ciptaan Allah,
untuk mengabdi kepada-Nya, dan hanya kepada-Nyalah semuanya akan kembali.
Manusia akan dibangkitkan dan dimintai pertanggung jawaban setelah kematiannya
di dunia, sementara yang lain tidak. Karena itu, sebelum kehidupan ini, ada
Allah, Zat Yang Maha Pencipta, dan setelah kehidupan ini akan ada Hari Kiamat
dan yaumil hisâb. Agar semua proses kehidupan manusia itu bisa
dipertanggung jawabkan di hadapan Allah kelak, maka Allah menurunkan syariah
(aturan) untuk kehidupan manusia, yang kelak juga akan dijadikan standar oleh
Allah untuk meminta pertanggung jawaban mereka. Inilah pemikiran mendasar yang
juga disebut fikrah kulliyah Islam. Pemikiran mendasar inilah yang juga
disebut mabda’ atau idiyuluji. Inilah substansi ideologi yaitu
apa dan bagaimana ideologi itu sendiri.
Pertanyaan
berikutnya, apakah setiap akidah agama bisa menjadi ideologi? Jawabannya tidak,
bergantung: Pertama, apakah akidahnya adalah akidah yang rasional atau
tidak? Kedua, apakah akidah tersebut bisa memancarkan sistem (nizhâm)
atau tidak? Jika dari kedua pertanyaan tersebut jawabannya ya, atau dengan kata
lain merupakan akidah rasional yang bisa memancarkan sistem, maka akidah
tersebut bisa menjadi ideologi. Sebaliknya, jika tidak maka akidah tersebut
pasti tidak akan bisa menjadi ideologi. Contohnya, akidah Yahudi maupun
Nasrani. Kedua akidah ini tidak bisa menjadi ideologi, karena bukan merupakan
akidah ‘aqliyyah, yang bisa memancarkan nizhâm. Ini berbeda
dengan akidah Islam. Akidah Islam adalah akidah rasional yang bisa memancarkan nizhâm,
yang bukan hanya sistem peribadatan saja, melainkan juga sistem pemerintahan,
ekonomi, sosial, pendidikan, dan semua sistem kehidupan yang lainnya.
Bukti lain
bahwa Islam bisa menjadi ideologi adalah dari aspek keutuhan ajaran Islam, yang
bukan hanya berisi gagasan, konsep atau pemikiran, yang disebut dengan fikrah
(ide), tetapi juga berisi tharîqah (metode) bagaimana fikrah tersebut
diterapkan, dipertahankan dan diemban ke seluruh dunia. Pada tataran konsep
misalnya, Islam bukan saja berisi akidah tentang keimanan kepada Allah,
Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat serta Qadha’ dan Qadar yang baik dan
buruknya berasal dari Allah, tetapi juga seluruh aturan yang dibutuhkan oleh
manusia, baik dalam konteks ibadah, muamalah maupun untuk mengurus dirinya
sendiri (akhlak, makanan dan pakaian). Semua itu hanya bisa diwujudkan kalau
ada metode untuk mewujudkannya yaitu adanya partai yang memperjuangkan
terwujudnya fikrah tersebut dan adanya negara yang menerapkannya.
Demikian halnya, semua itu bisa dipertahankan jika ada sanksi hukum dan negara
yang mempertahankannya berikut peranan partai politik dan umat yang
mengontrolnya. Begitu juga, semua itu akan bisa diemban ke seluruh dunia jika
ada dakwah, jihad dan negara yang mengembannya.
Karena itu,
Islam bukan hanya agama melainkan juga ideologi. Penggunaan ideologi ini untuk
Islam tentu absah dilihat dari substansinya bukan dari aspek sumber dari mana
ideologi tersebut dihasilkan apakah akal atau wahyu? Sebab, pada aspek ini
persoalannya adalah persoalan sumber, bukan substansi. Artinya dari aspek
sumber ideologi, ideologi yang ada saat ini bisa dikategorikan menjadi dua
yaitu ideologi yang bersumber dari akal manusia dan ideologi yang bersumber
dari wahyu. Islam adalah satu-satunya ideologi yang bersumber dari wahyu.
Selain Islam baik Kapitalisme, Solialisme maupun Komunisme adalah ideologi yang
bersumber dari akal manusia. Hanya saja, sering ada kesengajaan untuk
merancukan ideologi dari substansinya ke sumbernya. Akibatnya Islam ditolak sebagai
ideologi, dengan alasan Islam adalah ajaran yang bukan bersumber dari akal
manusia, melainkan dari wahyu Allah. Padahal konteks permasalahannya bukan
disitu. Ini sebenarnya merupakan upaya penyesatan yang bertujuan untuk menolak
Islam sebagai ideologi. Padahal dengan menolak Islam sebagai ideologi, sama
saja dengan menolak Islam sebagai sistem pemerintahan, ekonomi, sosial,
pendidikan, politik dalam dan luar negeri. Tentu itu bertentangan dengan akidah
Islam dan kaum Muslim, apapun mazhabnya.
Kita tidak
yakin ada orang Islam yang berani melakukan itu, apalagi sampai lancang
mengatakan, bahwa ideologi Islam adalah sumber konflik. Sebab, risikonya jelas:
melawan akidah yang diyakininya bahkan menginjak-injak fikih yang dipelajari
dan diajarkannya sendiri kecuali jika dia menjadi kepanjangan tangan kaum
imperialis penjajah untuk sengaja melemahkan Islam dan kaum Muslim demi
mendapatkan secuil kenikmatan dunia yang belum tentu didapatkannya.
Islam
Adalah agama Sekaligus Sebagai Ideologi
Islam
bukan hanya sebagai agama Spritual belaka. Tapi Islam juga adalah sebuah
Ideologi dan pandangan Hidup. Islam dibangun dari sebuah pemikiran yang
rasional tentang kehidupan, alam semesta, dan manusia bahwa semuanya itu adalah
ciptaan Allah SWT. Dan bahwasanya manusia dalam kehidupan ini mesti diatur oleh
perintah dan larangan Allah. Akidah Islam dibangun dari sebuah pemikiran yang
jernih dan jauh dari sikap tahayul yang hanya menduga-duga dalam hal keyakinan.
Kendati demikian Islam juga menjelaskan kelemahan dan posisi Akal tatkala
mengetahui Zat Allah SWT. Karena keyakinan akan adanya Allah pencipta Alam
Semesta ini dapat dibuktikan dengan mengamati ciptaannya, dan mustahil memahami
hakekat Zat Allah.
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang,
terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 190)
Islam
juga mewajibakn beriman kepada Al Qur'an dan kerasulan Muhammad, dimana
keduanya dapat dibuktikan oleh orang yang berakan dan mampu untuk berpikir.
Karena memang demikian adanya. Berikut ayat yang menjadi bukti kebenaran Al
Qur'an tatkala menantang Orang Quraisy pada waktu
“Katakanlah:
‘Maka datangkanlah sepuluh surat yang (dapat) menyamainya” (TQS. Hud [11]: 13)
Islam tidak
hanya mengatur masalah ibadah, pakaian dan akhlak semata, tapi Islam juga
mengatur bagaimana mengelolan dan mengatur negara ini. Islam bukan hanya
sebagai agama spritual semata. Di sinilah perbedaan antara Islam dengan agama
lainnya. Tatkala agama lain hanya mengatur mengenai tata cara ibadah atau
spritual semata. Islam justru mengatur lebih dari pada itu. Islam adalah ajaran
yang mengatur masalah politik dan spritual. Islam juga berbeda dengan Ideologi
lainnya yakni Kapitalisme dan Komunisme. Kedua Ideologi tersebut tentu hanya
mengatur masalah kehidupan semata, dan tidak mengatur bagaimana masalah
spritual, bahkan kering dari nilai spiritual utamanya pada Ideologi Komunisme.
Disini sudah
jelas bahwasanya Islam bukan sekedar Agama, tapi juga merupakan Ideologi yang
wajib untuk di terapkan. Islam terdiri dari akidah dan Syariah. Dimana Akidah
ini menjadi dasar dari segala sesuatu dan Syariah adalah solusi dari semua
persoalan yang di hadapi manusia, bukan hanya dalam taraf individu, tapi juga
dalam taraf negara
Ideologi Islam
Bertentangan Dengan Sekulerisme
Sekulerisme
adalah Suatu paham yang bertentangan dengan Ideologi Islam. Sekulerisme adalah
paham memisahkan aturan agama dengan Kehidupan yang pada akhirnya memisahkannya
dengan Negara. Dari Sekulerisme inilah lahir sebuah paham demokrasi yang
terdiri dari 4 kebebasan yaitu: 1. Kebebasan Beragama, 2. Kebebasan
Berpendapat, 3. Kebebasan Bertingkah laku, dan 4. Kebebasan Hak Milik
Kebabasan
beragama adalah bertentangan dengan Ideologi Islam, karenan dengan kebebasan
beragama maka seseorang bisa saja murtad dari Islam banyak kali. ini sama
sekali bertentangan dengan Akidah Islam. Munculnya banyak aliran sesat adalah
buah dari penerapan kebebasan ini. Kebebasan berpendapatpun adalah merusak.
Mungkin orang berkata bahwasanya di alam demokrasi kita bebas menyuarakan
Syariah. Tapi disisi lain, orang juga bebas untuk menghina Syariah, bahkan
sampai menghina Rasulullah (naudzubillahi
minzalik). Seperti media barat yang sering memojokkan Islam.
Kebebasan
bertingkah laku juga adalah merusak karena dapat menyebabkan rusaknya moral.
Kasus maraknya pornoaksi adalah buah kerusakan itu. Kebebasan hak milik juga
merusak karena dengan Ini maka kapitalisme akan semakin langgeng. Seseorang
bisa saja menguasai hajat hidup orang banyak. Sementara banyak rakyat yang
hidup dibawah garis kemiskinan tidak mendapat apa apa, seperti yang terjadi di
Negeri ini. Semua itu lazim disebut liberalisme, masih banyak kerusakan dari
sekulerisme yang tak dapat dibahas semuanya.
Demikian fakta
dari kerusakan sistem sekuler ini maka sudah sepantasnya kita kembali untuk
menerapkan Islam di negeri ini. Karena Islam adalah bersumber dari pencipta
kita Allah SWT. Zat Yang Maha Sempurna yang tidak membutuhkan mahkluknya.
Sungguh sistem yang Indah yang mampu meyelamatkan negeri dari kehancuran.
Karena Ideologi Islam adalah konsekuensi keberimanan kita.
Tiadalah Kami
mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam
(QS al-Anbiya’ ]21]: 107).
Perlu
diketahui bahwa iman terhadap syariat Islam tidak cukup dilandaskan pada akal
semata, tetapi juga harus disertai sikap penyerahan total dan penerimaan secara
mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana firman Allah SWT:
“Maka
demi Rabbmu, mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan
terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima (pasrah) dengan
sepenuhnya” (TQS. An- Nisa [4]: 65).
**Wallahu a’lam bi shawab**
Aqidah Islamiyah: Suatu Tinjauan Islam Ideologis