Oleh:
Zahrotul Makwa (Penggiat CIIA Divisi Kajian
Parentin)
Langkah Tiha
gontai dan tanpa semangat. Ada masalah berat yang dihadapinya. Suaminya
mengalami kecelakaan lalu lintas. Saat di RS didapatinya suami terbaring tak
berdaya. Syukurlah hanya luka ringan. Namun di sisi pembaringan suaminya, Tiha
melihat seorang wanita. Setelah ditanyakan pada adik ipar yang saat itu juga
berada di sana, ternyata wanita itu adalah istri kedua sang suami. Ya, empat
tahun lalu suaminya telah menikah lagi. Keluarga besar sang suami tahu tapi
mereka tak pernah tega untuk memberitahunya.
Tiha
menangis terus menerus di kamarnya satu pekan ini. Hatinya teramat sakit atas
“ketidaksetiaan” sang suami. Perasaannya begitu hancur menghadapi kenyataan
itu. Lebih sakit lagi karena ayah kedua buah hatinya menikah diam-diam, dan
sekian tahun bungkam. Kalau bukan karena kecelakaan itu mungkin Tiha tak kan
pernah tahu kenyataan ini. Kini, ia hanya bisa menangis. Luka hatinya amat
menganga. Life doesn’t mean to be beautiful all the time. Namun, ia tak bisa
apa-apa menghadapi ujian ini selain mengembalikan semuanya pada Alloh. Tiha pun
tak akan pernah menyalahkan suaminya atau madunya, karena itu hanya akan
semakin membuatnya lara. Yang perlu dilakukannya sekarang hanyalah pasrah.
Ikhlas. Meski ia jarang ngaji, bahkan disibukkan oleh setumpuk pekerjaannya di
kantor, Tiha masih ingat pelajaran agama semasa SMA dulu agar sabar menghadapi
setiap cobaan.
Tak pernah
sedikitpun terlintas dalam benaknya, meminta suami untuk menceraikan madunya.
Meski jarang mengikuti ceramah, Tiha tahu bahwa hal itu dilarang dalam Islam.
Tak juga ia meminta cerai pada suami, karena sebodoh-bodohnya ia, tahu saja
bahwa minta cerai dengan alasan yang tidak syari sama saja dengan mengundang
laknat Alloh padanya.
” Bukan
takdir ini yang menguras air mataku…sebagai wanita biasa tentu aku kecewa atas
sikap suamiku…tapi lebih dari itu, mungkin atas segala maksiat dan
ketidaktaatan yang aku lakukan sehingga Alloh menegurku. Dan inilah caraNya
mencintaiku. Dia ingin aku introspeksi diri. Dia ingin aku menutup aurat tanda
patuhku padaNya. Dia juga ingin aku tak terlena dengan pekerjaan sehingga
melupakan kewajibanku sebagai ibu dan istri. Dia menghendaki aku berubah
menjadi lebih baik. Mungkin inilah jalan syurgaku. Aku akan ikhlas menjalani
semua ini. Sesungguhnya suamiku menikah lagi pun atas seizinNya. Yang penting
sekarang adalah bagaimana kami menjalani bahtera poligami ini agar sesuai
dengan yang nabi contohkan. Membantu suami agar bisa adil terhadap kedua istri.
Hatiku sabar atau tidak sabar pun tidak akan mengubah apa pun. Atas kehendakNya
semua telah terjadi. Sudah tertulis dalam Lauhul Mahfuz. Aku memilih sabar,
semoga dengan seperti ini Alloh mengampuni segala dosaku dan memberiku pahala
tanpa batas”, demikian ucapan Tiha saat aku berkunjung ke rumahnya.
Luar biasa
ketenangan Tiha di mataku. Hanya perlu waktu satu pekan dirinya bergolak.
Menyendiri memikirkan segala yang telah terjadi, dan mengambil keputusan.
Padahal Tiha manusia yang amat biasa. Sebelumnya memakai kerudung pun tidak.
Apalagi ikut pengajian. Waktunya lebih banyak dihabiskan bekerja dan mengurus
anak-anaknya. Hanya satu hal yang aku tahu, selama ini Tiha rajin sholat
tahajud dan dhuha. Sifat dermawannya pun pantas diacungi jempol.
Betapa
beruntungnya suami Tiha dan madunya. Tak pernah Tiha menyalahkan keduanya. Tiha
tetap lembut dengan mereka. Tak pernah sepatah kata cacian Tiha keluarkan.
Lisannya benar-benar terjaga. Meski Tiha bukan wanita yang terbina dalam
majelis talim. Andai semua wanita seperti Tiha, indahnya hidup bisa berbagi.
Jumlah wanita yang tak juga menikah pasti berkurang signifikan. Bahkan mungkin
tak ada lagi.
Dari Tiha
aku belajar arti keikhlasan. Keridloan atas segala hal yang Alloh tetapkan atas
setiap hambaNya. Kerelaan atas apapun yang Alloh berikan. Sekalipun itu amat
mengoyak hati, mengiris sembilu, dan mengeluarkan air mata darah. Alloh yang
Maha Rahiim mustahil membuat hambanya menderita atas ujian yang Dia berikan. Tak
mungkin Dia mendholimi ciptaanNya. Ujian hanyalah caraNya untuk menyeleksi mana
manusia yang benar-benar beriman, mana yang hanya dalam ucapan. Cobaan hidup
adalah perbuatanNya untuk memilah siapa yang layak masuk syurga, siapa yang
pantas di neraka.
Lain lagi
dengan yang dialami Sarah. Ia sedang dalam dilema. Seorang pria mengkhitbah
untuk menjadikan Sarah sebagai yang kedua. Rasa bingung dan pusing berpadu
menjadi satu dalam hati Sarah. Membayangkan menjadi yang kedua saja tidak
pernah, apalagi mewujudkannya dalam nyata. Jika boleh memilih, Sarah lebih suka
menjadi yang pertama. Istri pertama jika sholihah ia lebih berkesan di hati
suami. Istri pertama juga yang dijanjikan syurga bila ikhlas suami menikah
lagi. Istri pertama juga yang mendapat simpati masyarakat. Bukan istri kedua
dan seterusnya yang bahkan diberi stigma negatif sebagai perusak rumah tangga
orang, pengganggu suami orang dan lain-lain. Budaya negeri ini telah begitu
mengakar, bahwa wanita yang mau menjadi yang kedua adalah manusia tak berperasaan.
Perebut suami orang. Budaya pula yang telah menempatkan istri pertama selalu
sebagai pihak yang terdholimi. Tanpa memandang lagi bagaimana sikap dan
perilaku istri pertama sesungguhnya. Tanpa melihat lagi bagaimana keadilan
suami. Semua digeneralisasi. Segala hal yang benar ada pada istri pertama. Dan
yang salah ada pada istri kedua dan seterusnya.
Nilai sosial
kemasyarakatan negeri ini memandang poligami sebagai hal yang negatif. Tak
segan-segan masyarakat memvonis seorang pria yang berpoligami dengan julukan
“tukang kawin”. Justru lupa dan mengabaikan mereka yang sering ke lokalisasi
dan bergonta-ganti pasangan sebagai “lelaki bejat doyan zina”.
Maka tak
heran kondisi sosial masyarakat berubah. Sekarang bukan hal yang aneh lagi
untuk ditemui, dimana-mana banyak wanita berumur yang masih gadis, tak kunjung
menikah. Dari wanita level pendidikan tinggi hingga yang rendah. Dari wanita
desa sampai kota. Dari wanita karir hingga wanita rumahan. Semua sama, tak
pandang bulu.
Kembali pada
kasus Sarah. Saat itu perasaan Sarah ingin segera menolak. Bukan karena takut
menjadi yang kedua. Hati Sarah benar-benar tidak bisa diajak kompromi untuk
bersedia. Tapi Sarah tak ingin sekedar mengikuti perasaan. Apalagi yang
mengkhitbahnya adalah pria sholeh pengemban dakwah. Sarah ingin menerima
seseorang menjadi suami adalah karena Alloh, menolakpun karena Alloh. Sarah
ingat sebuah hadits yang menyatakan bahwa bila datang seorang pemuda yang baik
akhlak dan agamanya, maka terimalah agar terhindar dari fitnah dan kerusakan di
muka bumi. Hal ini yang kemudian dikonsultasikan pada Alloh. Hingga sesaat
setelah melihat foto ikhwan tersebut, Sarah baru bisa mengambil keputusan.
Sarah menolaknya. Tak ada chemistry. Tak ada ketertarikan sama sekali. Menolak
pinangan bukanlah suatu dosa. Rosululloh pun pernah melakukannya, saat sahabat
Abu Bakar dan Umar bin Khatab meminang Fathimah.
Malam itu
juga Sarah memutuskan, besok pagi akan menyampaikan jawaban penolakan. Namun
dini hari serbuan sms masuk ke hape Sarah. Rupanya istri pertama meradang.
Marah atas sikap suaminya yang taaruf dengan wanita lain. Kalimatnya pedas
menghujam hingga hati Sarah. Berbagai macam prasangka dan tuduhan keji
terlontar. Kehadiran istri kedua dianggapnya akan mengganggu perkembangan
psikologis anak. Merusak harmoni yang telah terbentuk. Tapi Sarah tak percaya.
Alloh dan rosulNya lebih tahu. Jika memang poligami sebuah kedholiman, pasti
tidak akan pernah ada syariat tersebut dalam Islam. Apalagi buktinya banyak
yang berpoligami dan rumah tangganya baik-baik saja. Anak-anak pun telah
terbiasa memiliki dua ibu. Bahkan semua anggota keluarga bisa saling
bekerjasama dan bersinergi dalam segala hal.
Betapa
herannya Sarah, si A istri pria peminangnya adalah seorang aktivis ormas. Kaum
wanitanya pun biasa dimobilisasi untuk berteriak di jalan, ” terapkan syariah!
” Aktifitasnya pun biasa mengoreksi kesalahan penguasa. Saat poligami mendapat
penentangan dari kaum feminis, mereka pun turun ke jalan membela poligami
sebagai bagian dari syariat Alloh. Tapi kini? Memang “kasuistis”. Tapi jika
didiamkan bisa menjalar menjadi sebuah virus pada para aktifisnya. Perlu
koreksi total. Apalagi ketika penolakan atas keinginan suami untuk menikah lagi
berubah menjadi tindakan tidak terpuji dan melanggar hukum syara. Lebih miris
lagi ketika suami telah menikah lagi tanpa sepengetahuannya, sang aktifis
berubah menjadi “satria baja hitam” alias hitam hati dan perbuatannya. Tanpa
pernah mau sedikitpun memahami alasan atas pilihan perbuatan suami. Ternyata,
poligami ketika terjadi pada diri sendiri berubah menjadi sesuatu yang harus
ditolak. Berbagai alasan yang sebetulnya tak masuk logika pun dijadikan sebagai
dalil pembenaran. Slogan “Terapkan syariah” seolah hanya ditujukan untuk orang
lain. Seakan hanya untuk hukum syara yang lain saja, bukan poligami. Poligami
boleh untuk orang lain, tapi tidak untuk suami sendiri. Perempuan lain boleh
dipoligami, tapi tidak dengan diri sendiri. Maha benar Alloh dalam segala
firmanNya, ” Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan,
‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami
telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah
mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta.” (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3)
Belajar dari
dua wanita saat menyikapi poligami, yaitu Tiha yang wanita biasa dan si A
wanita aktivis ormas yang lantang menyerukan perubahan sistem membuatku makin
mengerti. Bahwa pemikiran dan perilaku seseorang tidak ditentukan dari mana ia
berasal. Menjadi aktifis dakwah pun bukan jaminan ketundukkan total pada
syariatNya. Nyatanya banyak perilaku pengemban dakwah kalah dengan mereka yang
biasa saja. Bahkan dalam kasus poligami, banyak aktifis dakwah yang kalah
dengan para istri Eyang Subur yang sekuler.
Keikhlasan
memang tidak bersumber dari seringnya ikut pengajian. Ketundukkan totalitas
pada aturan Alloh memang tidak diukur dari banyaknya kitab yang dikaji.
Keridhoan dan kesabaran atas taqdir Alloh memang tidak berasal dari seberapa
sering dan lantangnya seseorang turun di jalan menyerukan penerapan aturanNya
di muka bumi. Tidak sama sekali.
Keikhlasan
berasal dari hati yang salim. Qolbu yang senantiasa takut pada Alloh. Juga
kesadaran diri bahwa suatu saat pasti akan mati, kembali ke haribaan illahi dan
berpisah dengan suami. Mempertanggungjawabkan segala kata dan perbuatan di
dunia. Keikhlasan didapatkan manakala memahami bahwa hidup adalah ujian.
Sunatulloh, manusia akan terus menerus diuji sepanjang hidupnya. Baik ujian
kenikmatan maupun kesusahan. Namun begitu sesungguhnya manusia pasti mampu
melaluinya. Sebagaimana firman Alloh, ”Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS Al Baqarah [2] : 286).
Allah SWT
juga berfirman,“ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa
ilaihi raaji’uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan
rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2] : 155-157).
Atau seperti
sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya pahala yang besar itu, bersama
dengan cobaan yang besar pula. Dan apabila Allah mencintai suatu kaum maka
Allah akan menimpakan musibah kepada mereka. Barangsiapa yang ridha maka Allah
akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang murka, maka murka pula yang akan
didapatkannya.” (HR. Tirmidzi). Rasulullah SAW bersabda :
“Tiada henti-hentinya cobaan akan menimpa orang mukmin dan mukminat, baik
mengenai dirinya, anaknya, atau hartanya sehingga ia kelak menghadap Allah SWT
dalam keadan telah bersih dari dosa (HR. Tirmidzi)
Ketika suami
menikah lagi…lagi…dan lagi… semoga wanita memilih jalan ikhlas dan sabar. Tidak
sabar dan tidak ikhlas pun tidak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Tidak akan menjadikan lebih tenang dan bahagia. Justru sebaliknya.
Ketika
poligami menghampiri semoga wanita bisa mengelola rasa. Menautkan segala rasa
hanya pada CintaNya. Menyadari bahwa jika ia atau suami kembali pada Alloh,
kebersamaan pun akan berakhir. Hanya sementara menjadi pendamping suami di
dunia. Seorang istri yang amat mencintai suami pernah menyatakan, saat suaminya
menikah lagi ia pun merasa lara. Namun saat suaminya wafat, lara yang
dialaminya berlipat-lipat perihnya. Wallohu’alam
Ketika Poligami Menghampiri