Papua memiliki nilai strategis
baik dari sisi ekonomi maupun geopolitik sehingga banyak negara yang
menginginkannya.
Papua memiliki kekayaan alam yang
berlimpah. Baik itu yang sudah dieksploitasi maupun yang baru berupa potensi.
Melimpahnya kekayaan alam ini sangat menggiurkan dan membuat banyak negara
ingin menjamah dan menjarah.
Secara ekonomi, Papua sangat
menjanjikan. Di sana terkandung bahan tambang berlimpah. Salah satunya adalah
emas. Deposit emas di Papua konon merupakan salah satu yang terbesar di dunia.
Tak aneh bila PT Freeport enggan meninggalkan Papua. Malah jauh hari sebelum
kontrak karya habis, perusahaan asal Amerika itu telah memperpanjang sekali
dalam waktu puluhan tahun ke depan. Mengapa? Karena ini adalah ladang uang yang
tiada tara besarnya.
Selain memiliki tambang emas, Papua
memiliki potensi tambang lain yang tak kalah besar. Ada British Petroleum (Inggris)
yang berkuasa atas proyek Gas Alam Cair di Kawasan Tangguh, PT Gag Nikel
(Australia), Conoco Philip yang berhak atas eksplorasi migas di kawasan
Bintuni, Mamberamo (Australia) yang beroperasi di sektor kehutanan, KNOC
(Korea) sebagai produser minyak dan gas, serta Global Santa Fe yang
mengoperasikan tambang minyak Klamono di Papua. Belum lagi 48 perusahaan
pemegang HPH yang berhak atas pengelolaan hutan di bumi Papua.
Hingga akhir tahun 1999 saja,
sedikitnya terdapat 24 wilayah kontrak karya dan tiga wilayah perjanjian karya
pengusahaan pertambangan Batubara dan empat wilayah kuasa pertambangan. Pada
tahun 2001, kembali terjadi penambahan sebanyak 17 wilayah kontrak karya dan
kuasa penambangan.
Sudah jutaan dolar dana dikeluarkan
oleh perusahaan-perusahaan itu kepada TNI dan juga kepolisian untuk menjamin
keamanan wilayaha tersebut. Kucuran dana besar itu sempat terbongkar tahun lalu
dan itu menghebohkan Jakarta.
Yang pasti, kekuatan multinational
corporation (MNC) di kawasan Papua sangat kuat dan bisa menentukan kebijakan
Jakarta atas provinsi paling timur itu. Apalagi, dalam sejarah Indonesia, tidak
bisa dipungkiri bahwa Papua menjadi upeti Indonesia—Orde Baru—kepada Amerika,
atas permintaan Amerika yang telah mengetahui potensi kekayaan alamnya.
Secara geopolitik, Papua menempati
posisi yang strategis di kawasan Asia Pasifik. Bisa dikatakan, Papua berada di
jantung Asia Pasifik. Tak mengherankan jika Amerika pernah akan memindahkan
pangkalan militer mereka dari Subic di Filipina ke Papua.
Papua menempati jalur pelayaran
internasional yang cukup potensial di kawasan Timur Indonesia. Posisinya sangat
dekat dengan Australia dan negara-negara di kawasan Pasifik. Papua bisa menjadi
gerbang masuk kawasan Pasifik.
Posisi Papua ini kian penting dengan
perubahan dinamika kekuatan global. Apalagi Panglima Komando Militer AS untuk
Kawasan Pasifik, United States Pacific Command (US Pacom), Laksamana Samuel J
Locklear III, dalam acara di Jakarta Februari lalu mengatakan, Amerika akan
memfokuskan keamanan AS ke kawasan Asia Pasifik
Papua sangat dekat pangkalan militer
Amerika baik itu yang ada di Darwin, Australia, maupun di Guam di Pasifik
Selatan. Saat ini kekuatan Pasific Command (US PACOM) dibekali dengan seperlima
dari seluruh total kekuatan militer AS dan menjadi pemimpin dari 60 persen
armada Angkatan Laut Amerika. Di Samudera Pasifik armada AS bercokol dengan
diperkuat lima kapal induk dengan kekuatan pendukung seperti 180 kapal, 1.500
pesawat tempur serta tentunya 100.000 personel militer aktif.
Begitu strategisnya Papua ini, ada
cerita tentang pesan Amien Rais ketika bertemu Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di awal masa jabatannya. Saat itu Amien membawa pesan yang diterima
dari Perdana Menteri Australia waktu itu Paul Keating. Paul Keating menyebut
ada kekuatan di dalam negeri dan juga luar Indonesia baik itu yang dekat maupun
yang jauh, yang dulu ikut memerdekakan Timor Timur sedang berusaha melakukan
hal yang sama di Papua.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia M
Ismail Yusanto meyakini memang ada pihak-pihak yang ingin melepaskan
Papua dari Indonesia. Ini bisa dilihat dari eskalasi kekerasan di Papua yang
terus meningkat sejak 2001 dengan sasaran yang kian acak. Menurutnya, tindak
kekerasan ini bertujuan politik dengan menciptakan instabilitas sekaligus mengangkat
Papua ke dunia internasional.Gerakan separatis ini, lanjutnya, tidak berdiri
sendiri tapi mempunyai link up ke pihak internasional. Ini bukan saja
terjadi di Indonesia , tapi juga di seluruh dunia dan seluruh tempat. “Kalau
ada gerakan separatis pasti dia punya link up ke
internasional negara tertentu.
Biasanya tokoh-tokoh penggeraknya itu
di negara tertentu dari sana mendapatkan bantuan dana dan bantuan
politik,” tuturnya seraya menambahkan Papua bisa lepas seperti cara Timor Timur
merdeka.
Sikap Islam
Terhadap kondisi ini, Ismail
menekankan kaum Muslimin harus memiliki sikap yang tegas, berdasarkan syariah
Islam. Menurutnya, saat ini kaum Muslimin terpecah belah lebih dari 50 negara.
“Itu keadaan buruk karena secara syar’i seharusnya umat Islam itu bersatu. Jadi
ketika terpecah belah itu bertentangan dengan ajaran Islam. Kalau Papua
terlepas dari Indonesia, itu berarti terpecah lagi. Ini berarti lebih buruk
lagi,” tandasnya.
Karena itu, menurutnya, umat Islam
harus mewaspadai setiap gerakan separatis ini, baik itu didorong oleh
faktor-faktor internal maupun campur tangan asing. Umat Islam harus
mencegah setiap upaya separatisme di negeri-negeri Islam termasuk Papua.
Di samping itu, menurut Ketua Lajnah
Faaliyah DPP HTI M Rahmat Kurnia, pemerintah harus bertindak nyata untuk
menyejahterakan rakyat Papua. Hal itu harus disertai penyadaran kepada mereka
bahwa disintegrasi bukanlah solusi karena penjajah sudah menanti. Selain itu,
lanjutnya, gerakan OPM harus ditindak tegas dan keras. Dan yang tak kalah
penting, negara Indonesia harus diubah menjadi negara yang tidak menjadi
tangan kanan asing; negara yang menjaga kesatuan, persatuan, dan menjamin
kesejahteraan. “Itulah khilafah. Jadi, khilafah akan menjadi solusi bagi
Papua,” tandasnya. [] humaidi
Tanah Kaya Incaran Banyak Negara