Kamis, April 11, 2013

Tanah Kaya Incaran Banyak Negara

Papua memiliki nilai strategis baik dari sisi ekonomi maupun geopolitik sehingga banyak negara yang menginginkannya.
Papua memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Baik itu yang sudah dieksploitasi maupun yang baru berupa potensi. Melimpahnya kekayaan alam ini sangat menggiurkan dan membuat banyak negara ingin menjamah dan menjarah.
Secara ekonomi, Papua sangat menjanjikan. Di sana terkandung bahan tambang berlimpah. Salah satunya adalah emas. Deposit emas di Papua konon merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Tak aneh bila PT Freeport enggan meninggalkan Papua. Malah jauh hari sebelum kontrak karya habis, perusahaan asal Amerika itu telah memperpanjang sekali dalam waktu puluhan tahun ke depan. Mengapa? Karena ini adalah ladang uang yang tiada tara besarnya.
Selain memiliki tambang emas, Papua memiliki potensi tambang lain yang tak kalah besar. Ada British Petroleum (Inggris) yang berkuasa atas proyek Gas Alam Cair di Kawasan Tangguh, PT Gag Nikel (Australia), Conoco Philip yang berhak atas eksplorasi migas di kawasan Bintuni, Mamberamo (Australia) yang beroperasi di sektor kehutanan, KNOC (Korea) sebagai produser minyak dan gas, serta Global Santa Fe yang mengoperasikan tambang minyak Klamono di Papua. Belum lagi 48 perusahaan pemegang HPH yang berhak atas pengelolaan hutan di bumi Papua.
Hingga akhir tahun 1999 saja, sedikitnya terdapat 24 wilayah kontrak karya dan tiga wilayah perjanjian karya pengusahaan pertambangan Batubara dan empat wilayah kuasa pertambangan. Pada tahun 2001, kembali terjadi penambahan sebanyak 17 wilayah kontrak karya dan kuasa penambangan.
Sudah jutaan dolar dana dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan itu kepada TNI dan juga kepolisian untuk menjamin keamanan wilayaha tersebut. Kucuran dana besar itu sempat terbongkar tahun lalu dan itu menghebohkan Jakarta.
Yang pasti, kekuatan multinational corporation (MNC) di kawasan Papua sangat kuat dan bisa menentukan kebijakan Jakarta atas provinsi paling timur itu. Apalagi, dalam sejarah Indonesia, tidak bisa dipungkiri bahwa Papua menjadi upeti Indonesia—Orde Baru—kepada Amerika, atas permintaan Amerika yang telah mengetahui potensi kekayaan alamnya.
Secara geopolitik, Papua menempati posisi yang strategis di kawasan Asia Pasifik. Bisa dikatakan, Papua berada di jantung Asia Pasifik. Tak mengherankan jika Amerika pernah akan memindahkan pangkalan militer mereka dari Subic di Filipina ke Papua.
Papua menempati jalur pelayaran internasional yang cukup potensial di kawasan Timur Indonesia. Posisinya sangat dekat dengan Australia dan negara-negara di kawasan Pasifik. Papua bisa menjadi gerbang masuk kawasan Pasifik.
Posisi Papua ini kian penting dengan perubahan dinamika kekuatan global. Apalagi Panglima Komando Militer AS untuk Kawasan Pasifik, United States Pacific Command (US Pacom), Laksamana Samuel J Locklear III, dalam acara di Jakarta Februari lalu mengatakan, Amerika akan memfokuskan keamanan AS ke kawasan Asia Pasifik
Papua sangat dekat pangkalan militer Amerika baik itu yang ada di Darwin, Australia, maupun di Guam di Pasifik Selatan. Saat ini kekuatan Pasific Command (US PACOM) dibekali dengan seperlima dari seluruh total kekuatan militer AS dan menjadi pemimpin dari 60 persen armada Angkatan Laut Amerika. Di Samudera Pasifik armada AS bercokol dengan diperkuat lima kapal induk dengan kekuatan pendukung seperti 180 kapal, 1.500 pesawat tempur serta tentunya 100.000 personel militer aktif.
Begitu strategisnya Papua ini, ada cerita tentang pesan Amien Rais ketika bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di awal masa jabatannya. Saat itu Amien membawa pesan yang diterima dari Perdana Menteri Australia waktu itu Paul Keating. Paul Keating menyebut ada kekuatan di dalam negeri dan juga luar Indonesia baik itu yang dekat maupun yang jauh, yang dulu ikut memerdekakan Timor Timur sedang berusaha melakukan hal yang sama di Papua.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia M Ismail Yusanto meyakini memang ada pihak-pihak yang ingin melepaskan  Papua dari Indonesia. Ini bisa dilihat dari eskalasi kekerasan di Papua yang terus meningkat sejak 2001 dengan sasaran yang kian acak. Menurutnya, tindak kekerasan ini bertujuan politik dengan menciptakan instabilitas sekaligus mengangkat Papua ke dunia internasional.Gerakan separatis ini, lanjutnya, tidak berdiri sendiri tapi mempunyai link up ke pihak internasional. Ini bukan saja terjadi di Indonesia , tapi juga di seluruh dunia dan seluruh tempat. “Kalau ada gerakan separatis pasti dia punya link up ke internasional  negara tertentu.
Biasanya tokoh-tokoh penggeraknya itu di negara tertentu  dari sana mendapatkan bantuan dana dan bantuan politik,” tuturnya seraya menambahkan Papua bisa lepas seperti cara Timor Timur merdeka.
Sikap Islam
Terhadap kondisi ini, Ismail menekankan kaum Muslimin harus memiliki sikap yang tegas, berdasarkan syariah Islam. Menurutnya, saat ini kaum Muslimin terpecah belah lebih dari 50 negara. “Itu keadaan buruk karena secara syar’i seharusnya umat Islam itu bersatu. Jadi ketika terpecah belah itu bertentangan dengan ajaran Islam. Kalau Papua terlepas dari Indonesia, itu berarti terpecah lagi. Ini berarti lebih buruk lagi,” tandasnya.
Karena itu, menurutnya, umat Islam harus mewaspadai setiap gerakan separatis ini, baik itu didorong oleh faktor-faktor internal  maupun campur tangan asing. Umat Islam harus mencegah setiap upaya separatisme di negeri-negeri Islam termasuk Papua.
Di samping itu, menurut Ketua Lajnah Faaliyah DPP HTI M Rahmat Kurnia, pemerintah harus bertindak nyata untuk menyejahterakan rakyat Papua. Hal itu harus disertai penyadaran kepada mereka bahwa disintegrasi bukanlah solusi karena penjajah sudah menanti. Selain itu, lanjutnya, gerakan OPM harus ditindak tegas dan keras. Dan yang tak kalah penting,  negara Indonesia harus diubah menjadi negara yang tidak menjadi tangan kanan asing; negara yang menjaga kesatuan, persatuan, dan menjamin kesejahteraan. “Itulah khilafah. Jadi, khilafah akan menjadi solusi bagi Papua,” tandasnya. [] humaidi

0 komentar: