Oleh: Moh. Fahmi, Moh.
Kasim, Kamuria dan Sitti Nurbaya (Mahasiswa Jurusan Matematika UIN Alauddin
Makassar)
Pengantar
Pernyataan
dari dua cendekiawan Barat dan satu dari orang nomor satu Amerika Serikat ini
sengaja kami kutip
sekadar ingin menunjukkan, bahwa siapapun yang jujur melihat sejarah tak akan
bisa mengelak untuk mengakui keagungan peradaban Islam pada masa lalu dan
sumbangsihnya bagi dunia, termasuk dunia Barat, yang denyutnya masih terasa
hingga hari ini. Meski banyak ditutup-tutupi, pengaruh peradaban Islam terhadap
kemajuan Barat saat ini tetaplah nyata.
Tulisan
berikut tidak bermaksud membangkitkan romantisme sejarah Islam masa lalu yang
gemilang, yang memang merupakan sebuah realitas sejarah. Kalaupun secuil
gambaran masa lalu peradaban Islam yang cemerlang sengaja ditampilkan di sini,
itu tidak lain sebagai bentuk restrospeksi sekaligus instrospeksi, yang tentu
amat diperlukan oleh kaum Muslim
Dengan itu,
kaum Muslim secara sadar dan jujur akan mampu melihat kembali kebesaran
peradaban Islam masa lalu sekaligus potensinya untuk kembali hadir pada masa
depan untuk yang kedua kalinya. Karena itu, selain merestrospeksi keagungan
peradaban Islam masa lalu, tulisan ini juga lebih dimaksudkan sebagai upaya
untuk memproyeksi sekaligus merekontruksi kembali masa depan perabadan Islam di
tengah-tengah hegemoni perabadan Barat sekular saat ini, yang sesungguhnya
mulai tampak kerapuhannya dan makin kelihatan tanda-tanda kemundurannya.
Pembahasan
Umat Islam pernah tercatat dalam
tinta emas sejarah dunia sebagai pionir pengembang ilmu pengetahuan. Ketika
Barat masih tenggelam dalam masa kegelapan (dark age), umat Islam
melalui para ulamanya dengan karya dan ide-ide yang cemerlang telah menyinari
dunia dengan ilmu pengetahuan baik di Timur (yang berpusat di Baghdad, masa
pemerintahan khilafah Abbasiah) dan juga di Barat (yang berpusat di Andalusia,
atau Spanyol-Portugal masa pemerintahan khilafah Umayyah ).
Hal ini begitu diakui oleh para ilmuwan
Barat sekarang, bahwa ilmu pengetahuan tidak akan berkembangan dengan cemerlang
seperti sekarang tanpa jasa-jasa para ulama Islam. Para ulama Islam masa silam
ibarat kunci pembuka pintu ilmu pengetahuan yang saat itu masih tampak
diselimuti kabut tebal. Berbagai macam ilmu pengetahuan dan universitas pertama
di dunia lahir dari bumi Islam. Sejarah mencatat bahwa universitas pertama di
dunia bernama Universitas Islam Al-Qarawiyyin di Fes, Maroko yang
didirikan pada tahun 859 M, dan tercatat dalam Guinnes Book of World Record
pada tahun 1998 sebagai universitas pertama di dunia yang menawarkan gelar
kesarjanaan. Tidak hanya Al-Qarawiyyin, pemerintahan Islam saat itu juga
membangun banyak universitas di tempat lain di antaranya Universitas
Al-Azhar, Kairo, Mesir yang didirikan pada tahun 970 M, Universitas
Sankore di Timbuktu, Mali yang dibangun pada tahun 989 M, Madrasah
Nizamiyah di Baghdad yang didirikan oleh perdana menteri Dinasti Turki
Seljuk Nizamul Mulk yang saat itu memegang peranan besar dalam pemerintahan
Abbasiah di Baghdad, madrasah ini diresmikan pada tahun 1067 M. Di Andalusia,
terdapat sebuah universitas bernama Universitas Cordova yang menurut
Philip K Hitty merupakan sebuah universitas yang didirikan sebelum Universitas
Al-Azhar dan Nizamiyah berdiri. Masih menurut Hitty, pada masa itu Andalusia
begitu terkenal di Barat karena memancarkan sinar ilmu pengetahuan di Barat,
bahkan Raja Inggris saat itu pernah berkirim surat pada Khalifah Umayah saat
itu agar bisa menitipkan anaknya untuk belajar di Universitas Cordova.
Dengan begitu banyaknya instansi
pendidikan saat itu, universitas-universitas tersebut begitu banyak melahirkan
sarjana-sarja muslim yang handal, tidak hanya mumpuni dalam hal ilmu
pengetahuan umum, namun juga pengetahuan agama. Kedua ilmu tersebut menjadi
inheren dan tidak dapat terpisahkan. Mereka terkenal sebagai ulama yang polymath.
Bandingkan dengan ilmuwan-ilmuwan masa kini yang memisahkan antara ilmu agama
dan ilmu dunia, akibat paham sekularisme yang dilahirkan dari pemikiran filosof
barat yang mulai lahir dan berkembang pada masa renaissance.
Umat Islam pada masa itu begitu
banyak melahirkan para ulama terkenal yang hingga sekarang karya-karyanya masih
menjadi bahan rujukan ilmuwan modern, sebut saja Ibnu Sina atau di Barat
dikenal dengan nama Avicenna (Ilmuwan kedokteran dan filsafat), Ibn
Rusyd yang di barat dikenal dengan nama Averrous, ia begitu mempengaruhi
pemikiran filosof barat seperti Descartes. Ibn Khaldun yang dijuluki “Bapak
Ilmu Sosial Modern” karena karya-karyanya yang sangat fenomenal. Masih banyak
lagi para ilmuwan lainnya yang lahir dari rahim masa Islam dulu. Tercatat dalam
sejarah bahwa para ulama Islam dahulu, khususnya di Andalusia mampu melahirkan
karya ilmiah sebanyak kurang lebih 20.000 naskah ilmiah dalam setahun,
perpustakaannya menyimpan lebih dari 200.000 naskah ilmu pengetahuan.
Bandingkan dengan negeri Barat yang pada abad ke 15 baru mendirikan sebuah
universitas bernama Universite de Paris di Sorbonne, Perancis sebagai
akibat dari banyaknya orang barat yang belajar di Universitas Cordova, dan
mereka begitu banyak menerjemahkan karya-karya dari para ulama Muslim ke dalam
bahasa mereka. Perpustakaan mereka hanya menyimpan 400 naskah karya ilmiah.
Bahkan jika mau dibandingkan lagi, negara Spanyol modern sekarang belum mampu
menandingi masa Andalusia dahulu, dalam setahun para ilmuwan mereka sekarang
hanya mampu menghasilkan 14.000 jurnal ilmiah.
Keadaan sekarang menjadi terbalik,
umat Islam menjadi umat yang terbelakang dan tertinggal dalam hal ilmu
pengetahuan. Umat Islam menjadi tergopoh-gopoh mengikuti perkembangan zaman
yang serba modern yang dipimpin oleh peradaban Barat. Apa yang salah, dan di
mana letak salahnya, berbagai macam pertanyaan menyumbat para pemikir muslim
untuk memecahkannya. Alih-alih menjawab berbagai macam pertanyaan yang akan
melahirkan rentetan jawaban yang panjang lebar, mungkin ada baiknya kita
menjabarkan rahasia kesuksesan ulama Islam masa silam yang secara tidak
langsung akan menjawab pertanyaan-pertanyaan konstruktif yang terus mengganggu
pikiran. Berikut penjabarannya:
- Dua
Ilmu yang Inheren: Ilmu agama dan ilmu dunia ibarat dua sisi yang
tidak dapat terpisahkan atau inheren. Keduanya tidak dapat terceraikan.
Karena Al-Qur’an sebagai kalamullah bukan hanya menuangkan
ayat-ayat tentang urusan keagamaan saja, namun juga memendam begitu banyak
rahasia ilmu pengetahuan yang masih harus digali. Begitu banyak ilmu
pengetahuan yang bersumber dari Al-Qur’an. Oleh karena itu, para ulama
Islam masa silam tidak pernah memisahkan antara ilmu agama dan ilmu dunia,
hingga begitu banyak para ulama yang terkenal sebagai polymath,
yaitu menguasai banyak cabang ilmu. Sepeti halnya Ibn Sina, ia tidak hanya
sebagai ilmuwan yang menggeluti tentang kedokteran, namun juga dikenal
sebagai filosof dan paham ilmu agama dengan cukup mendalam. Bandingkan
dengan ilmuwan jaman sekarang yang mensekat-sekat ilmu pengetahuan dan
ilmu agama secara dikotomis.
- Cinta
Ilmu: Ulama pada masa lalu begitu sangat mencintai
ilmu. Mereka menganggap bahwa menuntut ilmu adalah ibadah kepada Allah.
Mereka begitu mengamalkan ajaran Islam dan mempercayai firman Allah, yaitu
Allah akan menaikkan derajat orang-orang yang berilmu. Ditambah lagi
dengan hadist Nabi yang menyatakan bahwa orang yang sedang menuntut ilmu
sama dengan orang sedang berjihad di jalan Allah. Hidup mereka pun hanya
bersandar kepada Al-Qur’an dan Hadist Nabi, dimana tidak akan ditemukan
kesesatan jika mengikuti keduanya. Mari bandingkan dengan umat sekarang
yang begitu jauh meninggalkan dua warisan itu, dan lebih berkiblat ke
Barat, walaupun itu membawa mereka kepada kesesatan dan berorientasi
kepada materialisme.
- Dukungan
dari Penguasa: Ilmu pengetahuan pada masa pemerintahan Islam
dahulu tidak akan mengalami perkembangan yang signifikan tanpa adanya
dukungan yang besar dari para penguasa. Pada saat itu, penguasa begitu
mencintai ilmu, bahkan madrasah Nizamiyah di Baghdad dapat berdiri tegak
atas gagasan tangan kanan penguasa, yaitu Nizamul Mulk. Begitu juga
perpustakaan megah Bait Al Hikmah yang dibangun pada masa Harun
Al-Rasid penguasa Baghdad, dan disempurnakan oleh putranya Al-Makmun, Di
perpustakaan itu berkumpul para ilmuwan muslim yang mendiskusikan beragam
ilmu pengetahuan, walaupun pada akhirnya nasib bait al hikmah hancur
berkeping-keping karena serangan Bangsa Mongol pimpinan Hulagu Khan pada
tahun 1258. Di Cordova, perpustakaan mencapai 70 buah pada masa
pemerintahan Al-Hakam dan Al-Mustanshir. Bahkan salah satu murid
Universitas Cordova yang bernama Gerbert d’Aurillac (945-1003)
menjadi Paus Sylvester III.
- Jaminan
Hukum: Adanya sebuah jaminan hukum yang berlandaskan
syariat Islam dari penguasa membuat keadaan lebih aman dan kondusif,
hingga membuat perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat. Para ilmuwan
dapat berkonsentrasi dalam menciptakan karya-karyanya, dan karya-karyanya
pun mendapatkan perlindungan hukum, jauh sebelum bangsa barat
memberlakukan hukum hak kekayaan intelektual.
- Ketaqwaan:
Ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci para ulama dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan, karena dalam dimensi taqwa tersebut terdapat pakaian
kebesaran para ulama. Seperti salah satu pesan Imam Syafi’i, “Takwa adalah
pakaian kebesaran dan hiasan akhlak Muslim sebenarnya. Ia ibarat pokok
zaitun, minyaknya membawa berkah, ia juga memberi kejayaan dan
kemenangan.”
- Pemaknaan
Kata Ulama: Seperti diketahui, pada masa dahulu semua ilmuwan
disebut dengan istilah ulama, dikarenakan mereka tidak
mensekat-sekat antara ilmu agama ataupun ilmu dunia, hingga mereka
menguasai dua ilmu tersebut tanpa terpisah. Kita bandingkan dengan istilah
ulama masa sekarang yang hanya diperuntukkan bagi orang yang hanya
mendalami ilmu agama saja.
- Menghargai Waktu: Para ulama terdahulu sangat menghargai waktu. Tidak ada waktu yang terbuang percuma. Mereka mengisi waktu dengan mengkaji Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Imam Ghazali hanya menyisihkan waktu tidurnya dalam sehari sebanyak 4 jam, ia meniru cara Imam Syafi’i mengatur waktu, dan Imam Syafi’i terinspirasi dari cara hidup Nabi yang tidur lebih awal agar dapat bangun di sepertiga malam. Bahkan Imam Ghazali mampu membuat tulisan sebanyak lima belas lembar sehari. Ibn Rusyd dan Ibn Sina menggunakan waktu 18 jam sehari untuk mengkaji ilmu pengetahuan di luar waktu sholat, makan, dan lain-lain. Ibn Khaldun, masih mampu menciptakan karya yang fenomenal di tengah musibah besar yang menimpa keluarganya, anak dan istrinya meninggal karena tenggelam di laut saat pergi dari Andalusia menyeberang ke Mesir.
- Berbicara dengan Karya: Para ulama terdahulu menuangkan ide dan gagasan mereka melalui sebuah karya yang ilmiah, bukan dengan cara menyerang melalui perkataan keji yang provokatif. Sejarah mencatat tentang sebuah “perang karya” antara Imam Ghazali dan Ibn Rusyd. Imam Ghazali menuduh para filosof Islam saat itu terlalu banyak terpengaruh dalam filsafat skolastik Yunani, namun Imam Ghazali tidak menyerang Ibn Rusyd dengan cercaan keji disertai tuduhan yang tidak berdasar, tapi ia menggunakan karyanya yang berjudul Tahafud Al-falasifa (Inkoherensi Filosof), lalu Ibn Rusyd membalasnya dengan buku yang berjudul Tahafud Tahafudi Al-falasifa (Inkoherensi dari Inkoherensi Filosof). Hal seperti ini benar-benar mencerminkan kata pepatah, “orang yang berilmu lebih sedikit bicara daripada orang yang tidak berilmu”. Mereka juga menggunakan filosofi padi, semakin tinggi semakin merunduk, bukan semakin merasa jumawa. Bahkan semakin mereka selami sebuah ilmu pengetahuan, ternyata semakin banyak yang mereka tidak tahu. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi, sesungguhnya Ilmu Allah itu seluas samudra, dan kita hanya diberi setetes saja, masih patutkah kita bersombong. Begitu juga dengan ayat Allah, Wamaa utiitum minal ilmi illaa qaliil” (Sesungguhnya aku hanya memberikanmu ilmu itu sedikit).
RAHASIA KEBERHASILAN ILMUAN MUSLIM PADA ZAMAN KEEMASAN ISLAM (the golden age)