Ada yang beranggapan bahwa kepemimpinan dalam islam tidak
ada bedanya dengan sistem kepemimpinan yang ada di berbagai negara saat ini. Bahkan
yang lebih menyedihkan lagi ada juga yang beranggapan bahwa kepemimpina dalam
islam dan demokrasi sama atau dengan kata lain tidak ada perbedaan antara
kepemimpinan dalam islam dengan demokrasi. Anggapan tersebut tentunya sangat
keliru disebabkan karena ketidak mampuan mereka untuk membedakan kedua istilah tersebut. Kepemimpinan dalam islam
merupakan kepemimpinan atau sistem operasional yang khas, berbeda dengan kepemimpinan
yang bercorak apapun di dunila ini. Sebelum penulis menjelaskan lebih jauh,
tentunya penulis akan menjelaskan tentang definisi atau pengertiannya.
Secara harfiah, pimpin berarti bimbing. Memimpin
berarti membimbing atau menuntun. Pemimpin merupakan orang yang memimpin
ataupun seorang yang menggunakan wewenang serta mengarahkan bawahannya guna
mengerjakan pekerjaan mereka untuk mencapai tujuan bersama dan seorang yang
akan melindungi bawahan atau rakyatnya. Dengan kata lain bahwa pemimpin ibarat
perisai yang menjadi pelindung bagi rakyatnya. Sebagaimana sabda Nabi Saw: Sesungguhnya Imam (pemimpin) itu laksana
perisai, tempatorang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.
(HR Muslim)
Jika ada ancaman atau teror yang dialami oleh rakyatnya
maka sikap pemimpin segera menenangkan rakyatnya atau menyelesaikan
permasalahan tersebut secepat-cepatnya. Sedangkan, kepemimpinan adalah cara atau sikap yang dilakukan oleh seorang pemimpin
untuk mempengaruhi perilaku bawahannya agar mau untuk bekerja sama guna
mencapai sebuah tujuan dan cita-cita bersama.
Ada beberapa hal yang perlu kemudian kita perhatikan
untuk mengkaji kepemimpinan dalam islam. Sistem sistem kepemimpinan dalam islam
berbeda dengan seluruh bentuk sistem kepemimpinan (pemerintahan) yang dikenal
di seluruh dunia saat ini, baik dari segi asasnya, dari segi pemikiran, pemahaman,
maqâyîs (standar), dan hukum-hukumnya
dalam mengatur berbagai urusan ummat atau rakyat. Sehingga, sestem kepemimpinan
dalam islam yaitu:
Islam tidak mengakui sistem kerajaan. Kepemimpinan
dalam Islam juga tidak menyerupai sistem kerajaan. Hal itu karena dalam sistem
kerajaan, seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena atauran pewarisan. Umat
tidak memiliki andil
dalam pengangkatan raja. Adapun
dalam sistem islam tidak ada pewarisan. Akan tetapi, baiat dari umatlah
yang menjadi metode untuk mengangkatan seorang pemimpin (khalifah). Sistem
kerajaan juga memberikan keistimewaan dan hak-hak khusus kepada raja yang tidak
dimiliki oleh seorang pun dari individu rakyat.
Hal itu
menjadikan raja berada di atas undang-undang dan menjadikannya simbol bagi rakyat,
yakni ia menjabat sebagai raja tetapi tidak memerintah dan yang menjalankan
pemerintahannya adalah perdana menteri, seperti
yang ada dalam
beberapa sistem kerajaan.
Atau ia menduduki jabatan raja
sekaligus memerintah untuk mengatur negeri dan penduduknya sesuai dengan
keinginan dan kehendak hawa nafsunya, sebagaimana yang ada dalam beberapa
sistem kerajaan yang lain.
2. Bukan sistem imperium (kekaisaran)
Sesungguhnya sistem imperium itu sangat jauh dari
Islam. Berbagai wilayah yang diperintah oleh Islam meskipun
penduduknya berbeda-beda suku dan warna kulitnya, yang semuanya kembali ke satu
pusat tidak diperintah dengan sistem imperium, tetapi dengan sistem yang
bertolak belakang dengan sistem imperium. Sebab, sistem imperium tidak
menyamakan pemerintahan di antara suku-suku di
wilayah-wilayah dalam imperium.
Akan tetapi, sistem imperium memberikan keistimewaan
kepada pemerintahan pusat imperium;
baik dalam hal pemerintahan, harta,
maupun perekonomian.
Dalam sistem federasi, wilayah-wilayah negara terpisah
satu sama lain dengan memiliki
kemerdekaan sendiri, dan
mereka dipersatukan dalam masalah pemerintahan (hukum) yang bersifat
umum. Sistem pemerintahan Islam adalah
sistem kesatuan. Seandainya suatu
propinsi pemasukannya tidak mencukupi kebutuhannya, maka propinsi itu dibiayai
sesuai dengan kebutuhannya,
bukan menurut pemasukannya.
Seandainya pemasukan suatu propinsi tidak mencukupi kebutuhannya maka hal itu
tidak diperhatikan, tetapi akan dikeluarkan biaya dari APBN sesuai dengan
kebutuhan propinsi itu, baik
pemasukannya mencukupi
kebutuhannya ataupun tidak.
Sistem
republik pertama kali tumbuh
sebagai reaksi praktis terhadap penindasan sistem kerajaan (monarki). Kemudian datanglah sistem republik yang kedaulatan
dan kekuasaan dipindahkan kepada rakyat dalam apa yang disebut dengan
demokrasi. Penulis ungkapkan bahwa kepemimpinan islam dan kepemimpinan demokrasi
sangat berbeda. Jika ada anggapan bahwa ada persamaannya, maka kita tidak boleh
latah dan cepat menyimpulakan bahwa hal tersebut sama.
Sebagai contoh
bukankah monyet punya tangan, telingan, kaki, kepala, bisa berjalan, bisa
duduk, bisa berlari? Dan manusiapun juga seperti itu. monyet bisa bicara
manusia pun juga bisa bicara. Apakah bisa langsung disimpulakan bahwa manusia sama
dengan monyet? tentu tidak bisa. Nah, Pada diagram dibawah ini akan terlihat
bahwa islam dengan demokrasi ternyata berbeda.
Pokok
Persoalan
|
Islam
|
Demokrasi
|
1. Sumber
|
Allah swt
|
Akal manusia
|
2. Pedoman
|
Alquran dan hadist
|
Undang-undang
|
3. Pembuat hukum
|
Allah swt
|
Wakil rakyat dan koncon-konconya
|
4. Tolak ukur
|
Kebenaran yang pasti (qot’i)
|
Berubah-ubah
|
5. Penghapusan hukum
|
Hukum yang jelas hallal haramnya tidak di hapus
|
Tergantung dari suara mayoritas, belum tentu benar karena yang hallal
bisa jadi harram dan yang harram bisa jadi hallal
|
6. Perubahan hukum
|
Tergantung ilatnya(daruroh)
|
Tergantung kepentingan
|
7. Pengambilan hukum
|
Dalil syar’i yang kuat berdasarkan ijtihat para fuqaha
|
Mayoritas dan belum tentu para fuqoha
|
8. Penyelesaian masalah
|
Musyawarah (syura)
|
Votting/pemungutan suara
|
9. Kebenaran
|
Syari’ah
|
Mayoritas
|
10. Kewajiban negara
|
Melaksanakan syari’ah islam untuk kemaslahantan manusia
|
Menjaga kepentingan masing-masing penguasa dan rakyat banyak yang
kelaparan
|
11. Sosial politik antara laki-laki dan wanita
|
Sama di semua urusan kecuali kepala negara
|
Sama total
|
Kepemimpinan dalam
islam juga tidak dengan sistem legslatif yang membolohkan
membuat aturan baru yang bertentangan dengan aturan ilahi, padahal Adapun dalam
Islam, kewenangan untuk
melakukan legislasi (menetapkan hukum) tidak di tangan rakyat, tetapi
ada pada Allah. Tidak
seorang pun selain
Allah dibenarkan menentukan halal
dan haram. Dalam
Islam, menjadikan kewenangan
untuk membuat hukum berada di tangan manusia merupakan kejahatan besar. Karena Allah
berfirman: “Menetapkan hukum itu hanyalah
milik Allah. (QS Yusuf [10]: 40)”
Jadi, sistem
kepemimpinan yang dikenal dalam islam adalah sistem khilafah. Di dalam sistem
tersebut, Khalifah diangkat melalui
baiat berdasarkan Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu
yang Allah turunkan.
Dalil-dalil yang menunjukkan
kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak
Sahabat. Allah berfirman:
Karena itu, putuskanlah perkara di antara mereka
menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS al-Maidah
[5]: 48)
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah
terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang
telah Allah turunkan kepadamu.
(TQS al-Maidah [5]: 49)
Perintah dalam seruan
ini bersifat tegas karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana
dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan makna yang
tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah-tengah kaum Muslim
setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Keberadaan Khalifah tersebut
akan menerapkan aturan islam secara sempurna bukan secara parsial
(sebagian-sebagian). Karena perintah kewajiban merupakan tuntutan yang mesti
dilakukan dan dilaksanakan. Jika tuntutan itu diabaikan maka dosa besar yang
mengalir terus menerus.
Adapun dalil dari
as-Sunnah, di antaranya adalah apa yang pernah diriwayatkan dari Nafi’. Ia
berkata: Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah saw
pernah bersabda: Siapa saja yang
melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak
tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak
terdapat baiat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian Jahiliah. (HR Muslim)
Imam Muslim telah
menuturkan riwayat dari Abi Hazim yang berkata: Aku mengikuti majelis Abu
Hurairah selama lima tahun. Aku pernah mendengar ia menyampaikan hadis dari
Nabi saw. yang bersabda: “Dulu Bani
Israel diurus dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi
meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi
sesudahku dan akan ada para Khalifah, yang berjumlah banyak.” Para Sahabat
bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw. bersabda,
“Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka
hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja
yang mereka urus.” (HR al-Bukhari
dan Muslim)
Dalam hadis ini juga terdapat pemberitahuan, bahwa orang
yang mengurus kaum Muslim adalah para khalifah, yang berarti, hadis ini
merupakan tuntutan untuk mengangkat khalifah. Apalagi Rasul saw. telah
memerintahkan kaum Muslim untuk menaati para khalifah dan memerangi siapa saja
yang hendak merebut jabatan dalam kekhalifahannya.
Adapun dalil berupa Ijmak
Sahabat maka para Sahabat semoga Allah meridhai mereka telah bersepakat atas
keharusan mengangkat seorang khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw. setelah
Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar
sebagai khalifah, lalu
Umar bin al-Khaththab, sepeninggal Abu
Bakar, dan kemudian
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib.
Sesungguhnya tampak
jelas penegasan Ijmak Sahabat terhadap kewajiban pengangkatan
khalifah dari sikap
mereka yang menunda penguburan
jenazah Rasulullah saw. saat Beliau wafat. Mereka lebih
menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah (pengganti) Beliau,
padahal menguburkan jenazah
setelah kematiannya adalah wajib. Para Sahabat, yang berkewajiban mengurus jenazah
Rasul saw. dan
menguburnya, ternyata sebagian
dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah dan menunda
pemakaman jenazah Beliau; sebagian yang lain membiarkan penundaan itu; mereka
sama-sama ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw. sampai dua malam.
Padahal mereka
mampu mengingkarinya dan mampu menguburkan jenazah Rasulullah saw.
Rasul saw. wafat bpada waktu dhuha hari Senin dan belum dikuburkan selama malam
Selasa hingga Selasa
siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikuburkan
pada tengah malam, malam Rabu. Jadi, penguburan jenazah Rasul saw. itu ditunda
selama dua malam, dan
Abu Bakar dibaiat
terlebih dulu sebelum penguburan jenazah
Rasul saw. Dengan
demikian, realitas tersebut
merupakan Ijmak Sahabat yang menunjukkan keharusan untuk lebih
menyibukkan diri dalam
mengangkat khalifah daripada
menguburkan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat
khalifah lebih wajib (diprioritaskan) daripada memakamkan jenazah. Coba
diresapi, ini jenazah rasul saw bagaimana dengan jenazah yang lain?
Jadi penulis
berkesimpulan bahwa sistem kepemimpinan dalam islam merupakan sistem
kekhilafahan. Dengan pemimpinnya adalah seorang Khalifah atau amirul mukminin
yang diangkat melalui baiat
untuk menjalankan Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya. Dengan sturuktur pemerintahan islam dalam bidang
pemerintahan dan administrasinya adalah terdiri dari:
1. Khalifah. 8.
Industri.
2. Para Mu’âwin at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh). 9. Peradilan.
3. Wuzarâ’ at-Tanfîdz. 10.
Kemaslahatan Umum
4. Para Wali. 11.
Baitul Mal
5. Amîr al-Jihâd. 12.
Lembaga Informasi.
6. Keamanan Dalam Negeri, 13.
Majelis Umat
7. Urusan Luar Negeri
Pujian Buat Pengemban Dakwah