Senin, Maret 25, 2013

Makanan Bergizi untuk Umat yang Kuat dan Disegani


Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa manusia Indonesia ini rata-rata memiliki tinggi dan berat badan yang kurang dibanding orang Eropa.  Dan konon, hal ini karena mereka kurang mengonsumsi protein, seperti yang ada pada kedelai (tahu/tempe), susu, telur, ikan, daging ayam atau sapi.  Konon hal ini juga karena selain pada telur, ikan dan daging ayam, produksi nasionalnya semua kurang sehingga harus diimpor.  Tahu dan tempe yang menjadi makanan rakyat, harganya pernah melambung karena impor kedelai mengalami masalah.  Apalagi sapi, yang masalah impornya sampai membuat seorang tokoh Islam “terpeleset” sehingga kini harus “nyantri” di KPK.
Memang soal produksi daging sapi di dalam negeri ini banyak persoalan teknis yang sistemis, mulai dari kultur peternakan yang sangat berbeda, yang tidak cocok untuk industri  daging secara massal.  Hampir 99 persen ternak sapi di Indonesia ada di jutaan peternak kecil, yang tersebar di desa-desa di segala penjuru, yang masing-masing hanya memiliki 1 sampai 3 ekor sapi, dengan bibit dan pakan yang seadanya, dan akan menjualnya atau hanya akan menjualnya pada saat perayaan keagamaan atau kalau ada kebutuhan uang yang tinggi, sekalipun beratnya belum optimal.  Kita tidak memiliki peternakan besar dengan ratusan ribu sapi seperti di Australia.  Kita juga belum memiliki sistem transportasi sapi yang efisien dan didampingi dokter hewan, sehingga sapi-sapi itu sampai dengan sehat ke tujuan dengan biaya rendah.
Walhasil, impor sapi dari Australia masih jauh lebih murah daripada membawa sapi dari Nusa Tenggara ke Jakarta, tempat mayoritas konsumen sapi berada.  Karena itu, sangat bisa dimengerti, bahwa para importir akan mencoba segala cara agar mendapat quota impor dari Kementerian Perdagangan atau Perindustrian, setelah sebelumnya mendapat rekomendasi dari Kementerian Pertanian.
Tetapi kembali ke soal tinggi dan berat badan, tentu saja sumber protein tidak hanya daging sapi.  Barangkali kalau telur, ikan dan ayam – atau juga bebek – dimasukkan, bangsa kita tidak kekurangan protein.  Tinggal soal distribusi saja.  Namun apakah persoalannya produksi atau distribusi, faktanya postur tubuh kita hari ini kurang ideal.  Padahal di abad pertengahan, postur tubuh rata-rata kaum Muslimin lebih tinggi dan kekar dari rata-rata orang-orang kafir di Eropa?
Ketika tahun 711 pasukan Thariq bin Ziyad mendarat di Spanyol dan mengawali 781 tahun (711-1492) kekuasaan Islam di sana, mereka tidak hanya membawa visi hidup yang baru, tetapi juga banyak teknologi yang baru, antara lain di bidang pertanian.  Pertanian itu menentukan makanan yang menjaga kesehatan kaum Muslimin dan juga logistik untuk sarana jihadnya, yaitu kuda.
Posisi logistik dalam setiap ekspedisi jihad adalah vital.  Kemenangan perang di manapun sering ditentukan bukan oleh senjata atau kehebatan tempur pasukan, tetapi oleh logistik yang sudah direncanakan ditaruh di tempat yang tepat pada saat yang tepat.  Dalam perang modern, sebuah pesawat tempur yang canggih tidak ada artinya tanpa bahan bakar.  Demikian juga, sebuah kapal induk bertenaga nuklir, tak ada artinya bila awaknya kelaparan.
Pada masa Thariq bin Ziyad, logistik yang menentukan adalah makanan prajurit dan pakan kuda!  Jadi pada setiap pergerakan pasukan, harus ada rumput bergizi tinggi yang bisa ditanam atau disediakan dengan cepat.
Karena jihad menjangkau daerah yang luas dengan waktu yang lama – dapat puluhan tahun – maka logistik berupa rumput ini juga harus bisa dihasilkan di daerah-daerah yang strategis yang sudah dikuasai oleh pasukan Islam. Rumput yang ditanam pun bukan sembarang rumput, bila yang ditanam rumput yang biasa-biasa – maka akan dibutuhkan areal yang sangat luas atau waktu yang sangat lama untuk menanamnya dan kuda perang pun tidak bisa tumbuh perkasa.
Maka bagian logistik dari pasukan Islam saat itu sudah mengenal rerumputan bergizi tinggi yang sangat efektif untuk menumbuhkan kuda, tanaman bergizi tinggi inilah yang disebut alfalfa. Karena penguasaan Islam yang lama khususnya di Spanyol, teknologi menanam alfalfa ini juga lalu menular ke bangsa Spanyol.
Ketika 800 tahun kemudian panglima perang Spanyol Hernando Cortez menaklukkan bangsa Aztecs di Mexico, bukan hanya strategi membakar kapalnya yang ia jiplak dari Thariq bin Ziyad – tetapi juga membangun logistik pasukan berkudanya dengan tanaman yang sama dengan yang diperkenalkan peradaban Islam di Spanyol selama 781 tahun!  Dari alfalfa yang dibawa ke benua Amerika inilah kini Amerika Serikat sangat dominan di bidang “nutritious plants” hingga kini.  Dan mereka adalah pengekspor daging terbesar di dunia.
Dari mana kita membuktikan bahwa alfalfa yang merupakan produk pertanian terbesar ke-3 di Amerika setelah jagung dan kedelai ini berasal dari dunia Islam? Yang termudah adalah dari sisi bahasa! Karena peradaban Islam yang berkembang hampir 8 abad di Spanyol, maka banyak sekali kata atau nama-nama yang berasal dari Islam – termasuk diantaranya ya alfalfa ini.  Keith Millier seorang warga Amerika yang pakar Timur Tengah menulis dalam karyanya “Arabic Words in English” (http://millerworlds.blogspot.com/2010/07/arabic-words-in-english.html) bahwa alfalfa berasal dari alfisfisa, yang berarti “fresh fodder” atau pakan segar.
Dalam bahasa Spanyol maupun dalam bahasa Inggris  hingga kini tidak ada kata lain yang searti alfalfa untuk nama tanaman bergizi tinggi (nutritious plants) yang dibawa dari dunia Islam 14 abad lalu itu. Maka dari nama ini tidak bisa disangkal lagi bahwa kekuatan produk pertanian terbesar ke 3 di Amerika tersebut bisa dirunut berasal dari peradaban Islam di masa lampau.
Ironisnya di dunia Islam sendiri tanaman alfalfa ini kini nyaris tidak pernah terdengar lagi, karena tidak menjadi perhatian untuk di produksi.  Yang sudah ada baru ide mensinergikan perkebunan sawit dengan peternakan sapi, yang masih harus dibuktikan hasilnya.
Prof Dr Zagloul Al Najjar - Fellow of Islamic Academy of Science di Mesir – yang menulis lebih dari 150 mukjizat Alquran dan Implikasinya pada ilmu pengetahuan, menjelaskan dengan detil rantai makanan yang diungkapkan oleh Allah dalam serangkaian ayat di surat ‘Abasa mulai dari ayat 24 tersebut diatas sampai ayat 32.
“Hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya, Kamilah yang mencurahkan air yang melimpah, kemudian kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu di sana kami tumbuhkan biji-bijian, dan ‘anggur dan sayur-sayuran’, dan zaitun dan pohon kurma, dan kebun-kebun yang rindang, dan buah-buahan serta rerumputan, untuk kesenanganmu dan ternakmu”. (QS ‘Abasa: 24-32).
Ketika profesor ini membahas ayat 28 “wa ‘inaban wa qadhban” misalnya – yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “dan anggur dan sayur-sayuran” - dalam bahasa Inggris diterjemahkan “and grapes and nutritious plants” – ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nutritious plants adalah tanaman alfalfa – yang memang sangat kaya dengan gizi.
Kalau kita melihat bahwa Alquran masih sama, masih pula dihafal oleh banyak orang, tetapi dulu kaum Muslimin bisa menjadi umat dengan fisik yang kuat serta memiliki pasukan jihad yang kuat, karena di belakangnya ada teknologi pertanian yang kuat, maka apa yang hilang sehingga sekarang keunggulan kita di bidang ini tiada?
Salah satu jawabannya, karena kita sekarang tidak memiliki lagi negara yang mendorong kita menjadi umat yang unggul, tak ada lagi misi jihad untuk merahmati seluruh alam, tidak ada lagi yang membutuhkan teknologi logistik di belakangnya, sehingga juga tidak ada lagi anak-anak cerdas kaum muslimin yang mencurahkan waktu dan pikiran untuk mempelajarinya.
Dan karena anak-anak cerdas Muslim ini langka, kita kembali masuk ke dalam lingkaran setan, nyaris kehilangan akal untuk meningkatkan produksi protein, sehingga anak-anak umat kehilangan kesempatan untuk meraih gizi tinggi, dan menjadi cerdas untuk menjadikan umatnya kuat dan disegani.  Kita malah terus dibodohi oleh negara-negara kafir untuk menjadi pasar sapi mereka, sekalipun para peneliti ternak kita konon banyak meraih prestasi riset di bidang sapi, tetapi para politisi kita justru ikut-ikutan “dagang sapi”, dan sebagian BUMN kita cuma dijadikan “sapi perah” sampai mati.

0 komentar: