Senin, November 05, 2012

Terorisme: Upaya Kriminalisasi Dakwah Islam

-->(Catatan Dialog Islam Pelataran Hizbut Tahrir Indonesia Chapter UIN Alauddin Makassar)
 Oleh: Muh. Didi Haryono (Direktur ICS-IslamicCivilizzation Studies)

-->
Di tingkat global atau internasional bermula dari momentum runtuhnya gedung kembar WTC (9/11/2001), kemudian PBB mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373/2001 dan Nomor 1438/2002 tanggal 14 oktober 2002. Inggris Mantan PM Tony Blair saat itu pertama yang mengeluarkan  Anti Terrorism, Crime and Security Act, Desember 2001, kemudian menyusul negara dunia lainya semisal Kanada dengan Canadian-AntiTerrorism Act (18 Desember 2001), Filipina dengan Anti Terrorism Bill. Di Uni Eropa juga lahir konvensi “Council of Europe Convention on the Prevention of Terrorism”(CECPT) dan di Amerika Sendiri lahir USA Patriot Act 2001 (Uniting and Strengthening America Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act 2001). Tragedi Bom Bali (12 Oktober 2002) mendapatkan respon dunia Internasional dengan dikeluarkannya resolusi DK-PBB Nomor 1438/2002 dan pemerintah RI sendiri kemudian mengeluarkan Perpu Nomor 1/2002 dan Nomor 2/2002  tentang pemberantasan terorisme yang selanjutnya ditetapkan menjadi  UU No. 15 Tahun 2003 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Teroris.
Dalam konteks domestik, peristiwa Bom Bali (2002) menjadi start awal keseriusan pemerintah Indonesia terlibat dalam perang melawan “terorisme” seperti halnya global war on terrorism (GWOT) yang diemban Amerika Serikat. Memang tidak bisa dipungkiri pasca kejadian 9/11/2001 runtuhnya gedung kembar WTC negara didunia mengenal istilah teroris termasuk Indonesia. Dan sangat aneh sekali, tuduhan AS atas ledakan gedung WTC tersebut yang dilakukan oleh Al-Qaidah sampai hari ini tidak terbukti. Terus, kalau begitu siapa yang melakukannya? Mungkinkah konspirasi? Ataukah sengaja dibuat untuk menciptakan suasana baru dan mencari musuh baru? Mungkin iya, karena banyak kalangan dan peneliti yang menilai seperti itu, apalagi didukung oleh ketidakmanpuan AS untuk membuktikan keterlibatan Al-Qaidah yang meledakan GTC. Langkah yang dilakukan oleh AS dalam memerangi terorisme, penulis berani meyakinkan kepada ummat ini bahwa peran melawan terorisme adalah perang melawan Islam (the War of Islam), meskipun mereka tidak menyatakan secara eksplisit dan tertulis, akan tetapi fakta menunjukan bahwa perang yang mereka lancarkan untuk memerangi ideologi penantangnya, sehingga jangan heran yang menjadi sasaran atau objek yang dianggap kelompok ‘teroris’ tersebut adalah ‘kelompok atau ormas islam’.
Terorisme
T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan terorisme: penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan dua katagori, yaitu enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka, dan agitational terror yakni teror yang dilakukan menggangu tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu. Jadi sudah barang tentu dalam hal ini, terorisme selalu berkaitan erat dengan kondisi politik yang tengah berlaku. Dalam timbangan T.P.Thornton, menurut penulis anak-anak muda yang melakukan tindakan teror di Solo tidak lebih karena “dendam” dan “keadilan”. Motif “terorisme” telah mengalami metamorfosa sedemikian rupa demikian juga pelaku-pelakunya.
Namun, jika definisi ini menjadi rujukan pemerintah maka saya menilai ada ketidak konsistensinya pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam men-justifikasi semua pelaku kekerasan, maka kalau benar-benar kita menilai secara objektif penyebar toror dan pelaku kekerasan adalah terorisme. Misalkan gerakan OPM yang sudah jelas mengganggu stabilitas dan keamana negara, sebagian suporter bola yang anarkisme, tawuran antar kelompok, desa dan suku padahal itu juga pembuat teror, tetapi semua itu tidak dikatakan sebagai tindakan terorisme. Contoh lain, berapa banyak calon Bupati atu wakil bupati yang gagal dalam laga pilkada kemudian kecewa akhirnya melahirkan tindakan anarkis, bahkan membuat teror atas rasa aman masyarakat dengan membakar kantor KPU, kantor bupati dan lain sebagainnya. Misal, bisa kita lihat peristiwa tahun 2011 yang lalu pembakaran kantor Dispenda, DPRD dan pembakaran beberapa mobil dinas di daerah kota Arreke’ Buton Utara-Sultra. Ini terjadi karena sebab kekecewaan atas kekalahan salah satu  calon  Bupati (Sumarni, dia istri dari Ansyad Mbai/ketua BNPT) oleh pendukungnya. Atau pelaku pengeboman di Oslo Norwegia awal tahun 2012 dengan korban lebih dari 60 orang tewas ternyata dari penganut Kristiani. Semuanya tidak juga dikatakan aksi terorisme pada hal sudah jelas apa bahwa teror yang mereka lakukan mengganggu keamanan masyarakat.
Jika semua contoh di atas bukan dikatakan teroris, maka parameter yang dijadikan oleh penguasa sehingga yang disebut teroris itu apa? Lah, ternyata teroris itu yang dijustifikasi selama ini pasti namanya berkaitan dengan nama-nama islam ‘Abdullah, Muhammad, Abu Bakar’ apalagi didukung dengan kegiatan keislaman misalnya tamatan pesantren, ada buku jihadnya, jual minyak wangi dan lain sebagainya, yang berkaitan dengan simbol islam. Kalau paremeter ini yang dijadikan sebagai kreteria atau parameter untuk menjustifikasi pelaku tindakan terorisme, maka sangat berbahaya sekali dan kontra produktif. Dan saya melihat tuduhan mereka berkaitan dengan terorisme pasti orang muslim bukan yang lain dan selalu kemudian ada upaya untuk mau membubarkan sebagian dari ormas islam yang dicap ‘radikal’ oleh penguasa status quo, sehingga mereka mencoba untuk mengkambing hitamkan sebagian ormas yang dianggap mengajarkan spiral ‘kekerasan’ dan embrio teroris meskipun sampai sekarang mereka belum manpu membuktikan keterlibatan ormas tersebut, kecuali ‘tokoh sentral’ ormas islam yang sampai hari ini dicari-cari bukti keterlibatannya.
Penanganan Terorisme
Berkaitan dengan penanganan kasus terorisme, menurut Harist Abu Ulya (direktur CIIA) dalam berbagai dialog yang diundang oleh beberapa media maasa, dia menyatakan bahwa langkah yang dilakukan aparat BNPT dan Densus-88 kurang profesional bahkan tidak jarang melakukan tindakan represif, over acting dan dinilai arogan oleh sebagian kalangan dalam penanganan kasus terorisme. 
Jika, kita melihat data sampai tahun 2012 tercatat bahwa lebih dari 652 orang dipenjarakan, dan 60 orang lebih tewas termasuk 5 orang yang tewas di Bali akhir Maret 2012, 2 orang lainya di Tangerang Selatan hasil dari operasi Densus 88 dan termasuk penembakan yang dilakukan oleh Densus-88 selasa kemarin 30 oktober 2012. Setara Institute secara terpisah mengapresiasi keberhasilan pemerintah, dari hasil survei  (2011) yang dilakukan Setara Institute, pemberantasan terorisme merupakan bidang yang menjadi prestasi pemerintah SBY dengan memperoleh 48,8%.Namun ini paradoks dengan evaluasi akhir tahun 2010 oleh Komnas HAM; karena diduga kuat Densus 88 melakukan pelanggaran HAM berat, antara lain dari 60-an orang yang tewas selain Amrozi, Imam Samudra dan Mukhlas adalah masuk katagori extra judicial killing (pembunuhan diluar prosedur peradilan). Tindakan represif dan over acting itulah kemudian Komnas HAM menilai Densus-88 melanggar Hak Asasi Manusia.
Sehingga kita berkesimpulan bahwa dalam penanganan kasus terorisme yang dilakukan oleh BNPT dengan Densus-88 dinilai gagal, keberadaan mereka bukan justru meng-eliminir spiral kekerasan dan teror tetapi justru dinilai memunculkan teror baru dan dendam kusumat akibat penanganan yang terlalu gegabah dilakukan oleh Densus-88, sehingga banyak kerabat dan kawan-kawan korban yang simpatik dan melakukan aksi secara mandiri ibarat serigala yang kesiangan. Kalaw BNPT dan Densus-88 berani untuk outo-kritik dan menirima saran dari berbagai pihak, tentunya aksi mandiri tidak boleh kemudian langsung dijustifikasi bahwa itu kaitanya dengan jaringan lama apalagi langsung disimpulkan bahwa terkait dengan ormas yang dianggap ‘radikal, fundamental, dll’, maka BNPT lebih mendalam dan mendetail dalam pengkajiannya supaya rakyat yakin terhadap tindakan yang dilakukan oleh BNPT itu ‘benar’ dalam menangani kasus terorisme. Aksi secara mandiri sangat keliru jika dinilai sebagai tindakan sistematis yang dilakukan oleh teroris melainkan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh oknum tersebut akibat dendam kusumat yang berkepanjangan.
Akhir-akhir ini, kita melihat ada upaya untuk mengkriminalisasikan beberapa ormas islam dengan tuduhan sebagai ormas yang mengajarkan spirit tindakan kekerasan dan pemaksaan kehendak. Tuduhan-tuduhan seperti ini sangat berbahaya dan tidak benar jika kita meneliti betul apakah benar yang diajarkan seperti itu? Penulis katakan kalau ormas yang dituduhkan itu adalah jamaah ansharut tauhid, maka tuduhan tersebut tidak benar karena haqul yaqin penulis katakan bahwa apa yang itu ajarkan tersebut adalah murni ajaran islam dan tidak penah jamaah yang dipimpin ust. Abubakar Ba’asyir mengajarkan tindakan kekerasan dan teror. Kalau yang dimaksud ajaran ‘teroris’ itu yang berkaitan dengan jihad dan perang, maka itu kesalahan fatal dilakukan dalam menilai ormas islam yang diaggap mengajarkan kekerasan. Itu semua akibat ketidakpahamnya mereka tentang islam, sehingga penulis sarankan untuk belajar lebih giat lagi tentang islam (ikuti halqoh dan pengajian islam yang mengajarkan dakwah non kekerasan) saya rasa itu lebih baik, supaya tidak asal menuduh! Wallahu a’lam bisawab.