Oleh: Muh. Didi Haryono
Kata Donggo berasal dari bahasa Bima kuno yang
berarti gunung yang tinggi (Doro Salunga). Donggo adalah salah satu suku/ etnis
yang ada di Bima-Dompu (dana Mbojo-Dompu)
yang meliputi 2 kecematan di kabupaten Bima (Donggo dan Sorimandi) serta 3
kecematan di kabupaten Dompu (Woja, Manggelewa dan Dompu). Banyak pakar yang
menyatakan bahwa masyarakat kecamatan Donggo dewasa ini sedang mengalami masa
pancaroba yang amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara
menyeluruh. Sedangkan tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan
pembangunan Nasional yang menerapkan teknologi maju untuk mempercepat
pelaksanaan pembangunannya. Dilain pihak, penerapan teknologi maju itu menuntut
acuan Nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan orientasi baru. Tidaklah
mengherankan apabila masyarakat Bima yang majemuk dengan multi kulturalnya itu
seolah-olah mengalami kebimbangan dalam menata kembali tatanan social-politik
dan kebudayaan saat ini.
Orang Donggo (dou
donggo) memang satu fenomena yang khas yang ada di dana Mbojo pada zaman dahulu, sebab orang Donggo saat itu adalah
orang yang sangat berpegang teguh pada nilai-nilai peninggalan leluhur mereka.
Ketika ada yang menghina dan mengganggu ajaran leluhur mereka, nyawa menjadi
tahuruhannya, betapa tidak dou donggo
adalah salah satu suku yang fanatik dengan ide dan keyakinan yang mereka
fahami, bahkan hingga kini keberanian dan keteguhan hati para generasi modern
saat ini masih mendarah daging dalam diri mereka. Begitu pula ketika dou donggo menjadikan islam sebagai
agama resminya, sebab islam dalam pandangan mereka adalah ajaran yang suci yang
tidak bisa dicampuradukan dengan penyembahan berhala-berhala. Meski dou donggo baru mengambil islam sebagai
agama dan keyakinan mereka kira-kira akhir tahun 1950-an, tapi semangat
keislamannya sangat kuat dan fanatik terhadap keislamannya.
Ketika penulis melihat semangat keislaman dou donggo, mereka adalah masyarakat
tradisional yang menerima islam dengan tulus dengan alasan yang penting ada
dalilnya (al-qur’an dan sunnah). Karena islamlah yang mengubah tatanan
masyarakat Donggo dari penyembah berhala paganisme menjadi penganut islam yang
ta’at. Meskipun, nilai, normal, dan tradisi telah banyak disepakati untuk
mengatur budaya (culture) masyarakat
Donggo, namun ada juga yang pantang melanggar norma tersebut dan tentunya yang
melanggar akan dikenakan sanksi tegas sampai pada pengusiran dari kampong
halaman. Culture Donggo tampak
kelelahannya dan ketidakberdayaan dou
donggo yang terkadang terisolir dan inklusif dalam memahami kehidupan
modern. Mungkin disebabkan oleh komunitas culture
masyarakat yang kebiasaan mereka menjadi peladang yang berpindah-pindah
tempat. Cara pemanfaatan lahan seperti itupun akhirnya telah merenggut alam dan
lingkungan Donggo yang semakin meluas. Sehingga, benar bahwa dou donggo adalah orang dari hutan ke
hutan, gelar diberikan karena kebiasaan mereka berladang yang pindah-pindah
tempat.
***
Bukan dou donggo namanya kalau tidak memiliki keberanian dalam menghadapi
tantangan kehidupan. Mereka juga terkenal sebagai orang yang sangat menghargai
orang yang paling tua, guru, dan menjunjung tinggi persahabatan serta sangat
fanatik untuk membela pemimpin yang benar. Tapi ketika mereka dikhianati,
mereka berani pasang badan (menantang) untuk bertarung seperti ksatria yang
membela kehormatan harga dirinya. Seperti contoh sikap yang ditunjukan oleh
ksatria Donggo H. Kako, H. Marzuki dan La Deo Opu So yang menggelar ‘makka’ (semboyan atau sumpah) untuk
menantang kemunafikan dan melawan penghianatan pemerintah Bima Letkol Suharmaji
1972 atas perjanjiannya. Semboyan mereka adalah sebagai berikut:
“Ta rumae.......! Ake sahe rangga tuntu,
nggara ngawa si tanggiru di dana tere, tahopu ta nggiru di dana piri”.
Artinya, ini adalah seorang laki-laki yang pantang
mundur membela kebenaran walau darah mengalir. Makka tersebut disebutkan untuk menyindir utusan pemerintah dengan
masing-masing menggunakan Cila lapi
(pedang), sampari (keris) dan buja (tombak). Saat itu H. Kako dengan
kekuatan gaibnya melipat pedang yang ia bawa, La Deo meluruskan kembali pedang
yang dilipat tersebut. Sedangkan H. Marzuki mengiris tangan kirinya dan
mengeluarkan darah segar, kemudian bekas luka ditangannya beliau hanya meniup
pada luka tersebut dan akhirnya sembuh, semua bisa terjadi atas kekuasaan,
kekuatan dan izin Allah SWT.
Bersatunya masyarakat Donggo bisa dilihat pada
peristiwa yang terjadi tepat pada Tanggal 22 Juni Tahun 1972. Peristiwa
tersebut adalah peristiwa kelahiran kembali dou
donggo yang biasa tren dengan nama ‘Peristiwa Donggo 1972’. Pasca peristiwa
Donggo saat itu banyak kaum muda Donggo mendapat pendidikan lebih baik. Namun sayang,
hanya terkonsentrasi pada profesi guru dan sebagian tentara. Trauma peristiwa
Donggo-1972 mendorong mereka berbondong-bondong masuk angkatan bersenjata. Tapi
hanya sedikit di antara mereka yang mengabdi di daerahnya, selebihnya di luar
daerahnya. Gelombang kaum muda Donggo yang sekolah di Jawa ikut meninggalkan
peta sosial dan budaya yang buram di daerahnya, bahkan praktis kekurangan
sumber daya manusia (SDM) berbakat di kampunya.
Betapa tidak mereka seperti batu yang dilempar ke Jawa, tidak pernah
kembali ke kampung halaman. Salah satu yang menganjal adalah tidak adanya mentalitas
wirausaha pada sebagian besar kaum muda. Generasi muda Donggo juga banyak yang
enggan kembali ke akar tradisinya sebagai petani. Mereka lebih gagah kalau
menjadi orang kantoran dan pegawai negeri sipil (PNS), padahal untuk membangun
Donggo menjadi lebih maju dan mampu menggali potensinya dengan optimal
diperlukan tenaga-tenaga serta sarjana-sarjana pertanian dan peternakan yang
mempunyai kompetensi di bidang masing-masing.
Suatu fakta sejarah yang tak terbantahkan dan
selalu diingat oleh generasi muda donggo dari masa ke masa, lihatlah kasus
Pemilu 1971 di Bajo, peristiwa Donggo-1972. Beberapa peristiwa besar di
Jakarta, dou donggo yang tergabung
dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa Donggo Bima (IPMDB) tidak pernah absen
mengkritisi kebijakan dzolim penguasa orde baru. Sebut saja kasus suku, agama,
ras, antara golongan (Sara) dan penghancuran tempat maksiat, penolakan
pengesahan rancangan undang-undang perkawinan (RUUP) 1974, kasus peledakan bank
BCA 24 Maret 1978 dan usaha penggagalan Sidang Umum MPR di depan Trisakti.
Semua contoh kasus tersebut adalah bukti kecil keberanian dou donggo dalam menyelamatkan bangsa dan Indonesia tercinta ini
dari kejahatan pemegang kekuasaan rezim dzolim.
***
Perlu juga diketahui bahwa pada masa orde baru
pemerintahan kabupaten Bima merupakan
pemerintahan dikendalikan oleh militer, semua sistem di pegang oleh
komandan militer. Pemerintahan kabupaten Bima dibawah pimpinan Soharmaji berpangkat
letkol, merupakan sala satu contoh dari pemerintah yang berasal dari militer
yang menjalankan roda pemerintahan di Bima. Pemerintah daerah Tingkat I dan
Tingkat II semuanya dari militer yang merupakan perpanjangan dari pusat
pemerintahan di Jakarta, DPR hanya sebagai simbol demokrasi saja tanpa ada
fungsinya yang berarti. Mencermati kehidupan masyarakat Donggo yang pada
dasarnya adalah sebagian masyarakat yang mendiami daerah pegunungan hidup dan
kehidupannya tergantung dari adanya perkembangan potensi daerah yang sebagian
dikelolah oleh pemerintah kabupaten Bima dan sebagian yang lain dikelolah oleh
pemerintah kabupaten Dompu berjalan sesuai dengan kebijakan yang ada. Cikal
bakal meletusnya peristiwa donggo-1972 berawal dari sebuah kebohongan atas
janji bupati Bima Letkol Soeharmadji terhadap masyarakat Donggo-Bima, dimana
janji pembangunan di segala sektor tidak pernah terealisasi dari beberapa item
kesepakatan dengan masyarakat donggo (ceklines).
Peristiwa Donggo-1972 merupakan akumulasi dari situasi
kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah kabupaten Bima. Dou donggo mewakili aspirasi masyarakat
yang tampil sebagai bagian aturan di Bima. Bagaimanapun juga bahwa dou donggo merupakan anak kandung dari
ibu pertiwi yang tidak bisa dipisahkan dari bagian kekuasaan kabupaten Bima.
Penderitaan dou donggo adalah
penderitaan kita semua yang juga penderitaan masyarakat Bima dan penderitaan
bangsa Indonesia pada umumnya. Menurut H. Mustahid (2013) bahwa pemerintah Bima
saat itu sudah membuat rakyatnya sengsara dan menderita, tekanan batin kronis
yang disebabkan tersumbatnya jalur transformasi ilmu pengetahuan, ideologi,
politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat Bima. Penyelenggaraan negara
dengan sistem pemerintahan desentralisasi mengoptimalkan peran serta rakyat
secara langsung, terutama dalam penyaluran aspirasi politiknya pada pemilihan
kepala daerah (Pilkada) maupun pemilihan presiden (Pilpres). Berbeda dengan sistem
pemerintahan sentralisasi yang merupakan sistem pemerintahan yang memungkinkan
pihak penguasa melakukan segala macam tipuan politik seperti rekayasa politik,
paksaan kehendak. Penetapan dan penyeragaman sistem demokrasi pancasila dan
UUD-1945 oleh pemerintah orde baru membuat orang hanya mampu berteriak keras tetapi
sembunyi sebab jikalaw tidak maka bisa diculik dan hilang, tidak ada yang
berani mengkritik kebijakan status quo, semua orang hidup tidak sesuai dengan
kehendak batinnya, hidup yang tertata dan dipaksa untuk mengikuti ideologi
penguasa serta “haram” membicarakan ideologi tandingan apalagi mencoba melawan.
Peristiwa donggo-1972 yang dimotori oleh tim lima
yang mengegerkan Indonesia timur saat itu, mereka adalah KH. Abdul Majid (desa
O’o), H. Ali Ta’amin (desa O’o), Jamaluddin H. Yasin (desa Kala) dan H. Abbas
Oya (desa Dori Dungga). Pada pelaksanaan do’a syukuran di desa Kala yang
dihadiri oleh seluruh orang Donggo kabupaten Bima–Dompu dan aparat Tripika
Donggo atas keselamatan Tragedi Mesjid Bajo, terutama karena tidak ada jatuhnya
korban jiwa. Acara syukuran tersebut sebagai lambing motivasi dou donggo untuk berjuang membela
kebenaran meski nyawa menjadi taruhan, sekaligus sebagai persiapan untuk long
march menuju kantor bupati Bima. Menurut Ghazaly (2008) bahwa KH. Abdul Majid
Bakry meminta kepada masyarakat donggo supaya dalam menyampaikan aspirasi ke kantor bupati Bima jangan
mencaci- maki pihak lain dan tidak membawa senjata tajam, karena bisa saja
pemerintah berpretensi (beranggapan)
negatif terhadap masyarakat Donggo.
***
Pada waktu syukuran di Desa kala, masyarakat Donggo
sepakat untuk mendatangi Bupati Seoharmaji guna menagih janjinya untuk
membangun Mesjid, sekolah, mengaspal jalan dan memasukkan listrik ke Donggo. Di
pagi hari doa syukuran, massa Donggo pria dan wanita turun ke Bima melewati
Bajo, Sila, Sondosia dan Pandai sambil membawa parang, keris, tombak dan
pentungan. Hal tersebut dilakukan karena khawatir pulang malam sehingga untuk
berjaga-jaga dari serangan binatang buas di jalan yang mereka lewati. H. Mustahid
(2013) menuturkan bahwa masyarakat Donggo mengikuti long murch dengan hati yang
ikhlas, salawat Nabi saw dikumandangkan, takbir dan tahlil pun diperdengarkan
kepada massa sebagai pertanda jihad fisabilillah
membela yang benar dan menegakan keadilan di Bima (dana mbojo). Dengan semangat yang membara didadanya, massa merespon
dan menyatakan bahwa segala bentuk kejahatan, kedzoliman dan kemunafikan yang
tumbuh di dana mbojo harus dilawan
walaupun darah menjadi taruhannya.
Ba’da shalat dzuhur di Sila dou donggo singgah di sungai Kancoa Rida untuk melaksanakan shalat.
Selesai shalat perjalanan di lanjutkan ke Bima, pada waktu tengah malam di
Pandai, sudah ada anggota DPRD dan ABRI/ POLRI yang datang menghadang dou donggo supaya tidak masuk kota Bima.
Keadaan yang tidak kondisif membuat Jamaludin H. Yasin mengambil mikrofon, ia
memberi aba-aba agar masyarakat bersiap-siap dan menahan diri jangan sampai
terpancing orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Massa dou donggo tetap tenang berada pada barisan, sementara pihak aparat
meminta masyarakat Donggo untuk tiarap, sehingga suasana sat itu menjadi
sedikit gaduh.
Berkat ketabahan masing-masing pihak akhirnya
dicapai kata sepakat. Terjadilah “Kesepakatan Pandai” yang berisi: Orang Donggo
kembali ke Donggo, dalam waktu tiga hari sejak kesepakatan sudah ada jawaban
resmi pemerintah terhadap tuntutan masyarakat Donggo yaitu diterima atau
tidaknya tuntutan tersebut. Selanjutnya masa membubarkan diri kembali ke Donggo
menelusuri jalan pulang ke Donggo dalam kegelapan malam. Malam itu ada yang
pulang melalui Bajo dan ada yang pulang melalui dusun Kamunti. Menurut Ghazali
(2008) bahwa rentang waktu menanti jawaban hasil kesepakatan Pandai, masyarakat
Donggo tidak melakukan aksi apapun, kecuali menunggu janji dari Bima. Sedangkan
intelijen sudah mulai berkeliaran di kecamatan Donggo, mereka meminta
masyarakat Donggo ke Pasanggraha untuk di foto sambil memegang senjata tajam
seperti tombak, parang, keris dan lain-lain. Namanya orang Desa. Senang sekali
ingin di foto apalagi gratis. Mereka di foto sepuas-puasnya, malang tak dapat
di tolak, yang memotret mereka adalah aparat intelijen yang sedang mencari data
faktual sebagai bukti orang Donggo mau memberontak dengan menggunakan senjata
tajam. Sedangkan pihak pemerintah di bawah Komando Letkol (Purn) Seoharmaji,
menurut bocoran dari sebuah sumber prodemonstran sedang merancang penangkapan
tokoh Donggo oleh ABRI yang didatangkan dari NTB dan Bali.
Pemerintah Bupati Bima Seoharmaji memerintahkan
ABRI/ POLRI untuk segera menangkap para pelaku Peristiwa Donggo. Operasi
penangkapan dilakukan pada malam hari dan berhasil menangkap tokoh Mahasiswa
Jakarta yaitu Abbas Oya B.A, yang kemudian di bawah ke Bajo. Sukses menangkap
rombongan H Ali Ta’amin, dilanjutkan penangkapan secara membabi buta terhadap
tokoh Donggo lain hingga membuat situasi semakin mencekam. Ini menimbulkan
kerisauan dikalangan masyarakat Donggo terutama nasib mereka yang tertangkap. Sepekan
lamanya peristiwa pemberontakan masyarakat Donggo menjadi top new (laporan Utama) seluruh media massa Nasional, elektronika
maupun media cetak yang memuat berita pemberontakan versi pemerintahan cq Humas
Pemda Propinsi NTB. Situasi justru semakin tidak karuan karena ABRI/ POLRI kian
beringas menganiaya setiap orang Donggo yang dijumpainya.
Masih menurut Ghazali (2008) bahwa Donggo praktis
dikuasai tentara dan polisi, urat nadi kehidupan orang di sana terhenti, semua
rumah penduduk di geledah. Harta benda, uang, emas, dan perak digondol oknum
ABRI/ POLRI bahkan hewan ternak dijadikan sebagai santapan mereka di
jalan-jalan. Ibu-ibu dan anak gadis Donggo pun tidak luput dari upaya pelecehan
seksual. Dalilnya mencari keberadaan tokoh yang belum tertangkap. Yaitu Abdul
Majid dan H. Kako. Kekejaman yang dilakukan oleh ABRI/ POLRI semakin
menjadi-jadi, mereka bagaikan bola yang ditendang ke sana-sini, direndam di
laut hingga malam hari, siang hari dipaksa menatap matahari. Sebagian besar
ABRI/ POLRI baik yang berpakaian dinas maupun preman sudah memenuhi seluruh
Desa di Kecamatan Donggo, dengan konsentrasi di O’o dan Kala tempat kediaman
kelima tokoh tersebut yang masih misterius. Persidangan pertama Peristiwa
Donggo, 14 Mei 1973, di Pengadilan Negeri Raba Bima. Selanjutnya dilaksanakan
dua kali seminggu dengan dihadiri ribuan pengunjung yang datang dari berbagai
penjuru di Kabupaten Bima.
Mungkin dalam sejarah banyak perkara yang telah
disidangkan, tapi persidangan inilah yang memecahkan rekor teramat ramai dan
meriah seperti massa kampanye pemilihan umum, aparat keamanan kewalahan mengaturnya.
Dalam tuntutan yang dibacakan sendiri
oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Iskandar, menuntut hukuman mati bagi ke lima
terdakwa karena melakukan makar yaitu melawan pemerintahan yang sah dengan
tuduhan melanggar pasal 1 Penpres nomor 11 tentang subversi, pasal 108 jo 64
KUHP, pasal 160 jo 64 KUHP, pasal 14 UU nomor 1/ 1966 dan Penpres nomor 5/ 1963.
Tetapi tuntutan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum, akhirnya pembela
terdakwa Abdullah Mahmud, S.H dan Ibrahim Muhammad Iskandar S. H. sebagai hal
mengada-ngada dan tidak berdasar sama sekali. Akhirnya setelah melalui
perdebatan panjang antar penuntut umum dengan tim pembela terdakwah pelaku Peristiwa Donggo, kelima terdakwa di
vonis hukuman penjara masing-masing antara dua hingga lima tahun. H. Kako
dihukum 2 tahun, KH. Abdul Majid dihukum 2,5 tahun, H. Ali Ta’amin 3 tahun,
sementara Jamaluddin dan H. Abbas Oya dihukum 5 tahun. Hukuman tersebut harus
mereka terima sebagai konsekuensi dari mahalnya harga perjuangan mereka,
penguasa saat itulah yang dzolim dan khianat dengan janji yang mereka ucapkan.
Kelima tokoh tersebut merupakan sejarah kebangkitan dou donggo yang sebelumnya dipandang sebelah mata, bahkan sebagai
bahan ejekan dan olokan oleh sebagaian orang kota atau orang “berdarah biru”.
Agar
perjuangan para tokoh Donggo tidak sirna begitu saja, maka generasi penerus selalu
hadir mengedukasi masyarakat agar dou
donggo harus bangkit menjawab dan memberikan solusi persoalan yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat. Semoga tulisan ini memberikan vitamin agar spirit
pembangkit energi semangat juang dou donggo
yang tertidur pulas untuk bangun dan bangkit dengan segera agar cepat
menyelamatkan dou donggo yang telah
lama termarjinalkan oleh masa. Sebagai pemuda Donggo pada khususnya dan pemuda
Indonesia pada umumnya, mari kita tunjukan karya kita sebagai generasi penerus
yang akan dihargai oleh zaman. Penulis berdo’a semoga jasa suci mereka dibalas
oleh Allah SWT dengan kebahagian dunia dan kebahagiaan akhirat yang tak
tertandingi. Aamiin...!!! Wallahul a’lam
bi shawab.
Dou Donggo yang Berani dan Fanatik