-->(Catatan Dialog
Islam Pelataran Hizbut Tahrir Indonesia Chapter UIN Alauddin Makassar)
Oleh: Muh. Didi Haryono (Direktur ICS-IslamicCivilizzation Studies)
-->
Oleh: Muh. Didi Haryono (Direktur ICS-IslamicCivilizzation Studies)
-->
Di
tingkat global atau internasional bermula dari momentum runtuhnya gedung kembar
WTC (9/11/2001), kemudian PBB mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor
1373/2001 dan Nomor 1438/2002 tanggal 14 oktober 2002. Inggris Mantan PM Tony
Blair saat itu pertama yang mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and
Security Act, Desember 2001, kemudian menyusul negara dunia lainya semisal
Kanada dengan Canadian-AntiTerrorism Act (18 Desember 2001), Filipina
dengan Anti Terrorism Bill. Di Uni Eropa juga lahir konvensi “Council
of Europe Convention on the Prevention of Terrorism”(CECPT) dan di Amerika
Sendiri lahir USA Patriot Act 2001 (Uniting and Strengthening America Providing Appropriate Tools Required
to Intercept and Obstruct Terrorism Act 2001). Tragedi Bom Bali (12 Oktober
2002) mendapatkan respon dunia Internasional dengan dikeluarkannya resolusi
DK-PBB Nomor 1438/2002 dan pemerintah RI sendiri kemudian mengeluarkan Perpu
Nomor 1/2002 dan Nomor 2/2002 tentang pemberantasan terorisme yang
selanjutnya ditetapkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003 mengenai
Pemberantasan Tindak Pidana Teroris.
Dalam
konteks domestik, peristiwa Bom Bali (2002) menjadi start awal keseriusan
pemerintah Indonesia terlibat dalam perang melawan “terorisme” seperti
halnya global war on terrorism (GWOT) yang diemban Amerika Serikat.
Memang tidak bisa dipungkiri pasca kejadian 9/11/2001 runtuhnya gedung kembar
WTC negara didunia mengenal istilah teroris termasuk Indonesia. Dan sangat aneh
sekali, tuduhan AS atas ledakan gedung WTC tersebut yang dilakukan oleh
Al-Qaidah sampai hari ini tidak terbukti. Terus, kalau begitu siapa yang
melakukannya? Mungkinkah konspirasi? Ataukah sengaja dibuat untuk menciptakan
suasana baru dan mencari musuh baru? Mungkin iya, karena banyak kalangan dan
peneliti yang menilai seperti itu, apalagi didukung oleh ketidakmanpuan AS
untuk membuktikan keterlibatan Al-Qaidah yang meledakan GTC. Langkah yang
dilakukan oleh AS dalam memerangi terorisme, penulis berani meyakinkan kepada
ummat ini bahwa peran melawan terorisme adalah perang melawan Islam (the War of Islam), meskipun mereka tidak
menyatakan secara eksplisit dan tertulis, akan tetapi fakta menunjukan bahwa
perang yang mereka lancarkan untuk memerangi ideologi penantangnya, sehingga
jangan heran yang menjadi sasaran atau objek yang dianggap kelompok ‘teroris’ tersebut adalah ‘kelompok atau
ormas islam’.
Terorisme
T.P.Thornton
dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan
terorisme: penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk
mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal,
khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat
dibedakan dua katagori, yaitu enforcement terror yang dijalankan
penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka, dan agitational
terror yakni teror yang dilakukan menggangu tatanan yang mapan untuk kemudian
menguasai tatanan politik tertentu. Jadi sudah barang tentu dalam hal ini,
terorisme selalu berkaitan erat dengan kondisi politik yang tengah berlaku. Dalam
timbangan T.P.Thornton, menurut penulis anak-anak muda yang melakukan tindakan
teror di Solo tidak lebih karena “dendam” dan “keadilan”. Motif “terorisme”
telah mengalami metamorfosa sedemikian rupa demikian juga pelaku-pelakunya.
Namun,
jika definisi ini menjadi rujukan pemerintah maka saya menilai ada ketidak konsistensinya
pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam men-justifikasi semua pelaku
kekerasan, maka kalau benar-benar kita menilai secara objektif penyebar toror
dan pelaku kekerasan adalah terorisme. Misalkan gerakan OPM yang sudah jelas
mengganggu stabilitas dan keamana negara, sebagian suporter bola yang
anarkisme, tawuran antar kelompok, desa dan suku padahal itu juga pembuat
teror, tetapi semua itu tidak dikatakan sebagai tindakan terorisme. Contoh
lain, berapa banyak calon Bupati atu wakil bupati yang gagal dalam laga pilkada
kemudian kecewa akhirnya melahirkan tindakan anarkis, bahkan membuat teror atas
rasa aman masyarakat dengan membakar kantor KPU, kantor bupati dan lain
sebagainnya. Misal, bisa kita lihat peristiwa tahun 2011 yang lalu pembakaran
kantor Dispenda, DPRD dan pembakaran beberapa mobil dinas di daerah kota Arreke’ Buton Utara-Sultra. Ini terjadi
karena sebab kekecewaan atas kekalahan salah satu calon Bupati
(Sumarni, dia istri dari Ansyad Mbai/ketua BNPT) oleh pendukungnya. Atau pelaku
pengeboman di Oslo Norwegia awal tahun 2012 dengan korban lebih dari 60 orang
tewas ternyata dari penganut Kristiani. Semuanya tidak juga dikatakan aksi
terorisme pada hal sudah jelas apa bahwa teror yang mereka lakukan mengganggu
keamanan masyarakat.
Jika
semua contoh di atas bukan dikatakan teroris, maka parameter yang dijadikan
oleh penguasa sehingga yang disebut teroris itu apa? Lah, ternyata teroris itu
yang dijustifikasi selama ini pasti namanya berkaitan dengan nama-nama islam
‘Abdullah, Muhammad, Abu Bakar’ apalagi didukung dengan kegiatan keislaman
misalnya tamatan pesantren, ada buku jihadnya, jual minyak wangi dan lain sebagainya,
yang berkaitan dengan simbol islam. Kalau paremeter ini yang dijadikan sebagai
kreteria atau parameter untuk menjustifikasi pelaku tindakan terorisme, maka
sangat berbahaya sekali dan kontra produktif. Dan saya melihat tuduhan mereka
berkaitan dengan terorisme pasti orang muslim bukan yang lain dan selalu
kemudian ada upaya untuk mau membubarkan sebagian dari ormas islam yang dicap
‘radikal’ oleh penguasa status quo,
sehingga mereka mencoba untuk mengkambing hitamkan sebagian ormas yang dianggap
mengajarkan spiral ‘kekerasan’ dan embrio teroris meskipun sampai sekarang
mereka belum manpu membuktikan keterlibatan ormas tersebut, kecuali ‘tokoh
sentral’ ormas islam yang sampai hari ini dicari-cari bukti keterlibatannya.
Penanganan
Terorisme
Berkaitan
dengan penanganan kasus terorisme, menurut Harist Abu Ulya (direktur CIIA)
dalam berbagai dialog yang diundang oleh beberapa media maasa, dia menyatakan
bahwa langkah yang dilakukan aparat BNPT dan Densus-88 kurang profesional
bahkan tidak jarang melakukan tindakan represif, over acting dan dinilai arogan oleh sebagian kalangan dalam
penanganan kasus terorisme.
Jika,
kita melihat data sampai tahun 2012 tercatat bahwa lebih dari 652 orang
dipenjarakan, dan 60 orang lebih tewas termasuk 5 orang yang tewas di Bali
akhir Maret 2012, 2 orang lainya di Tangerang Selatan hasil dari operasi Densus
88 dan termasuk penembakan yang dilakukan oleh Densus-88 selasa kemarin 30
oktober 2012. Setara Institute secara
terpisah mengapresiasi keberhasilan pemerintah, dari hasil survei (2011)
yang dilakukan Setara Institute, pemberantasan terorisme merupakan bidang yang
menjadi prestasi pemerintah SBY dengan memperoleh 48,8%.Namun ini paradoks
dengan evaluasi akhir tahun 2010 oleh Komnas HAM; karena diduga kuat Densus 88
melakukan pelanggaran HAM berat, antara lain dari 60-an orang yang tewas selain
Amrozi, Imam Samudra dan Mukhlas adalah masuk katagori extra judicial
killing (pembunuhan diluar prosedur peradilan). Tindakan represif dan over acting itulah kemudian Komnas HAM menilai Densus-88 melanggar
Hak Asasi Manusia.
Sehingga
kita berkesimpulan bahwa dalam penanganan kasus terorisme yang dilakukan oleh
BNPT dengan Densus-88 dinilai gagal, keberadaan mereka bukan justru meng-eliminir spiral kekerasan dan teror
tetapi justru dinilai memunculkan teror baru dan dendam kusumat akibat
penanganan yang terlalu gegabah dilakukan oleh Densus-88, sehingga banyak
kerabat dan kawan-kawan korban yang simpatik dan melakukan aksi secara mandiri
ibarat serigala yang kesiangan. Kalaw BNPT dan Densus-88 berani untuk outo-kritik dan menirima saran dari
berbagai pihak, tentunya aksi mandiri tidak boleh kemudian langsung
dijustifikasi bahwa itu kaitanya dengan jaringan lama apalagi langsung
disimpulkan bahwa terkait dengan ormas yang dianggap ‘radikal, fundamental,
dll’, maka BNPT lebih mendalam dan mendetail dalam pengkajiannya supaya rakyat
yakin terhadap tindakan yang dilakukan oleh BNPT itu ‘benar’ dalam menangani
kasus terorisme. Aksi secara mandiri sangat keliru jika dinilai sebagai tindakan
sistematis yang dilakukan oleh teroris melainkan pelanggaran pidana yang
dilakukan oleh oknum tersebut akibat dendam kusumat yang berkepanjangan.
Akhir-akhir ini, kita
melihat ada upaya untuk mengkriminalisasikan beberapa ormas islam dengan
tuduhan sebagai ormas yang mengajarkan spirit tindakan kekerasan dan pemaksaan
kehendak. Tuduhan-tuduhan seperti ini sangat berbahaya dan tidak benar jika
kita meneliti betul apakah benar yang diajarkan seperti itu? Penulis katakan
kalau ormas yang dituduhkan itu adalah jamaah ansharut tauhid, maka tuduhan
tersebut tidak benar karena haqul yaqin penulis
katakan bahwa apa yang itu ajarkan tersebut adalah murni ajaran islam dan tidak
penah jamaah yang dipimpin ust. Abubakar Ba’asyir mengajarkan tindakan
kekerasan dan teror. Kalau yang dimaksud ajaran ‘teroris’ itu yang berkaitan
dengan jihad dan perang, maka itu kesalahan fatal dilakukan dalam menilai ormas
islam yang diaggap mengajarkan kekerasan. Itu semua akibat ketidakpahamnya
mereka tentang islam, sehingga penulis sarankan untuk belajar lebih giat lagi
tentang islam (ikuti halqoh dan pengajian islam yang mengajarkan dakwah non
kekerasan) saya rasa itu lebih baik, supaya tidak asal menuduh! Wallahu a’lam bisawab.
Terorisme: Upaya Kriminalisasi Dakwah Islam