Jakarta - Penanganan terorisme di Indonesia akhir-akhir ini semakin represif dan cenderung brutal. Akibatnya di masa depan dikhawatirkan akan muncul benih-benih terorisme baru karena ada dendam dari orang atau keluarga yang pernah terkena kasus terorisme.
Hal itu diungkapkan oleh pakar politik Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr Nurhadi dalam launching buku "Hegemoni Rezim Intelijen, Sisi Gelap Peradilan Kasus Komando Jihad," karya Ketua KPK, Busyro Muqoddas di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jl Cik Ditiro, Yogyakarta, Sabtu (16/7/2011).
"Keberhasilan Indonesia, Densus 88 dalam penanganan terorisme akhir-akhir ini diragukan oleh negara-negara lain. Pasalnya, Densus dalam lima bulan terakhir ini bertindak represif dan cenderung brutal," kata Nurhadi.
Nurhadi mengaku sebelumnya Indonesia sempat menjadi contoh negara lain yang berhasil dalam penanganan terorisme oleh negara-negara lain. Pada awalnya penanganan hukum terhadap orang-orang yang diduga teroris saat itu mengesankan. Namun sekarang ini tidak, lebih menggunakan pendekatan Barbaric.
"Mereka kembali menggunakan pendekatan Barbaric, yang ini sudah usang," katanya.
Menurut dia, saat ini Densus terpancing untuk melakukan tindakan keras seperti penembakan di tempat yang mengakibatkan jatuh banyak korban. Tindakan tersebut di khawatirkan akan menanam bibit-bibit baru.
"Ini yang kurang disadari, padahal ini lebih berbahaya," katanya.
Sementara itu Dr Suparman Marzuki, dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII) mengatakan saat ini banyak istri dan anak keluarga yang diduga terlibat terorisme yang menjadi korban stigmatisasi terorisme. Istri maupun anak yang ditinggal suami atau ayah yang terlibat terorisme akan menerima hukuman dan dikucilkan di masyarakat tempat tinggal.
Menurut dia dari beberapa kasus, banyak masyarakat yang membuat benteng bahkan mengucilkan keluarga yang pernah terlibat terorisme. Padahal mereka tidak tahu apa-apa dan ingin hidup biasa bersama masyarakat lainnya.
"Karena masyarakat membuat tembok atau benteng bagi mereka, di sekolah anak-anak mereka juga mengalami hal yang sama ini akan lebih berbahaya. Hal seperti ini tidak boleh ada dan harus dihilangkan. Kalau tidak, persoalan terorisme tidak akan selesai," kata anggota Komisi Yudisial (KY) itu.
Hal itu diungkapkan oleh pakar politik Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr Nurhadi dalam launching buku "Hegemoni Rezim Intelijen, Sisi Gelap Peradilan Kasus Komando Jihad," karya Ketua KPK, Busyro Muqoddas di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jl Cik Ditiro, Yogyakarta, Sabtu (16/7/2011).
"Keberhasilan Indonesia, Densus 88 dalam penanganan terorisme akhir-akhir ini diragukan oleh negara-negara lain. Pasalnya, Densus dalam lima bulan terakhir ini bertindak represif dan cenderung brutal," kata Nurhadi.
Nurhadi mengaku sebelumnya Indonesia sempat menjadi contoh negara lain yang berhasil dalam penanganan terorisme oleh negara-negara lain. Pada awalnya penanganan hukum terhadap orang-orang yang diduga teroris saat itu mengesankan. Namun sekarang ini tidak, lebih menggunakan pendekatan Barbaric.
"Mereka kembali menggunakan pendekatan Barbaric, yang ini sudah usang," katanya.
Menurut dia, saat ini Densus terpancing untuk melakukan tindakan keras seperti penembakan di tempat yang mengakibatkan jatuh banyak korban. Tindakan tersebut di khawatirkan akan menanam bibit-bibit baru.
"Ini yang kurang disadari, padahal ini lebih berbahaya," katanya.
Sementara itu Dr Suparman Marzuki, dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII) mengatakan saat ini banyak istri dan anak keluarga yang diduga terlibat terorisme yang menjadi korban stigmatisasi terorisme. Istri maupun anak yang ditinggal suami atau ayah yang terlibat terorisme akan menerima hukuman dan dikucilkan di masyarakat tempat tinggal.
Menurut dia dari beberapa kasus, banyak masyarakat yang membuat benteng bahkan mengucilkan keluarga yang pernah terlibat terorisme. Padahal mereka tidak tahu apa-apa dan ingin hidup biasa bersama masyarakat lainnya.
"Karena masyarakat membuat tembok atau benteng bagi mereka, di sekolah anak-anak mereka juga mengalami hal yang sama ini akan lebih berbahaya. Hal seperti ini tidak boleh ada dan harus dihilangkan. Kalau tidak, persoalan terorisme tidak akan selesai," kata anggota Komisi Yudisial (KY) itu.
Penanganan Teroris di Indonesia Makin Represif