By. Ismail Yusanto.
Salah
satu cara untuk ‘melunakkan’—sekarang progam seperti ini lebih dikenal
dengan istilah deradikalisasi—tokoh Islam di Indonesia adalah dengan
mengajak mereka berkunjung ke sejumlah negara Barat, terutama AS. Dengan
melihat langsung kondisi fisik, sosial dan ekonomi di sana diharap
mereka menjadi lebih mengerti “keindahan, ketertiban dan kemakmuran”
yang bisa dicapai negara-negara Barat yang sering dicap sebagai sekular. Maksudnya,
tanpa Islam pun, semua kebaikan dan kemajuan itu bisa dicapai. Jadi
mengapa mesti ngotot memperjuangan Islam sebagai dasar negara?
Mungkin
terdengar lucu, apa iya hanya dengan berkunjung sesaat orang bisa
berubah? Tapi, itulah faktanya. Sudah ratusan, bahkan mungkin ribuan
pimpinan pesantren, tokoh ormas Islam, juga tokoh pemuda Islam yang
mengikuti program ini. Beberapa waktu lalu bercerita pada saya satu
tokoh pemuda dari ormas yang banyak mempunyai pesantren di Indonesia,
bahwa ia dan belasan pemuda Islam lain baru saja diundang jalan-jalan ke
AS. Di antaranya berkunjung ke Hawaii, Los Angeles, New York dan
Washington; termasuk berkunjung ke Gedung Putih dan Gedung Capitol. Dulu
pada tahun 70-an, Nurcholis Madjid dalamusia yang masih belia juga
pernah diajak keliling AS selama 3 bulan.
Berhasilkah
program itu? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas, kini tidak lagi
terdengar nada kritis dari ormas pemuda tadi terhadap AS. Kita juga
mungkin semakin sering mendengar ungkapan, “Negara Barat lebih islami
daripada negeri Muslim.” Nurcholis Madjid yang ketika itu dijuluki
Natsir Muda, sepulang dari AS menjadi lebih lunak, bahkan kemudian
dikenal sebagai tokoh yang membawa arus liberalisasi Islam di Indonesia.
Namun,
bila logika ini benar, jutaan pemuda Islam yang kini tinggal di
negara-negara Barat mestinya juga tersekularkan. Nyatanya tidak selalu.
Alih-alih tersekularkan, mereka justru bangkit dan makin yakin dengan
kebenaran Islam. Di antara mereka terdapat sosok istimewa: Reza
Pankrust.
++++
Reza
lahir pada 1976 di Bristol, Inggris. Ia dibesarkan dalam rumah tangga
sekular. Ibunya yang keturunan Iran menikah lagi dengan pria Inggris
non-Muslim. Tak aneh bila masa kecilnya dihabiskan tanpa bimbingan
agama. Ketika berusia 15 tahun, Reza masuk Islam, namun ia tidak terlalu
paham apa itu Islam. Ia pun merasa senang dengan gaya hidup Baratnya.
Pertemuan
dia dengan Hizbut Tahrir di kampus tempat ia kuliah mengubah segalanya.
Ia menjadi benar-benar yakin akan kebenaran Islam. Ia tinggalkan gaya
hidup Baratnya dan mengikatkan diri pada halal-haram. Ia bahkan akhirnya
bergabung dengan Hizbut Tahrir. Berbeda dengan gerakan Islam lain, ia
melihat Hizbut Tahrir fokus pada isu kunci untuk mengembalikan kehidupan
Islam kaffah dalam institusi Khilafah. Ia meyakini bahwa Khilafah merupakan
kewajiban atas umat yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itu
bukanlah keyakinan doktrinal, namun sebuah keyakinan intelektual. Hal
itu ia kemudian buktikan melalui disertasi Ph.D-nya di London School of
Economics and Political Science (populer dengan sebutan London School of
Economics/LSE) yang baru saja ia rampungkan.
Saya
terakhir bertemu dengannya di Kyoto, Jepang, Maret tahun lalu ketika
bersama-sama menjadi pembicara dalam Workshop Internasional tentang
Islamic World and Globalization, Beyond the Nation State the Rise of New
Caliphate yang diselenggarakan oleh Cismor – Doshisha University.
Melalui email ia mengabari saya bahwa disertasinya itu telah diterbitkan
menjadi sebuah buku berjudul The Inevitable Caliphate? A History of the
Struggle for Global Islamic Union, 1924 to the Present.
Sesuai
judulnya, buku ini merupakan gabungan telaahan historis-deskriptif
tentang konsepsi Khilafah dari berbagai sudut pandang dan menurut
berbagai sumber. Buku ini juga memuat sejarah perjuangan atau usaha
untuk mewujudkannya kembali oleh berbagai kelompok Islam sejak masa-masa
awal pasca penghapusan resmi Kekhilafahan Turki Utsmani pada tahun 1924
hingga sekarang. Dengan kemampuan penguasaan bahasa Arab Reza yang
cukup prima, membuat buku ini sangat kaya rujukan baik dari khasanah
klasik maupun modern.
Dimulai dari periode penghapusan resmi Kekhalifahan, buku
ini mengupas ide dan wacana dari berbagai tokoh Islam seperti Rasyid
Ridha, Ali Abdul Raziq, Hasan al-Banna, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid
Qutb, Abul Ala al-Maududi, Usamah bin Laden dan Abdullah Azzam; serta
kelompok Islam, termasuk Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, al-Qaida dan
al-Murabitun—persamaan dan perbedaannya dalam memahami ide Khilafah,
statusnya dalam teologi Islam, dan bagaimana hal itu dapat diterapkan
dalam realitas kontemporer menuju terbentuknya the unity of the ummah
(kesatuan global umat).
Demikian genial buku ini ditulis, membuat Professor James Piscatori, Head
of the School of Government and International Affairs, Durham
University, memuji buku Reza sebagai telah “memberikan panduan yang
paling dapat diandalkan tentang ide Islam politik dan bagaimana
gerakan-gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan
al-Qaida mewujudkannya…”
Menurut
dia, buku ini memberikan telaah pemikiran modern tentang Khilafah. Buku
ini merupakan bacaan yang penting dan inovatif bagi siapa pun yang
ingin memahami Kekhalifahan dan apa arti perjuangan ini bagi umat Islam.
Buku ini juga disebut telah berhasil memberikan pemahaman yang unik dan
provokatif tentang Islam politik, jalan kebangkitan Islam pada abad ini
dan tentang bagaimana gagasan Kekhalifahan yang telah memudar kini
muncul kembali.
Professor John T. Sidel, dari London
School of Economics and Political Science (LSE) menyebut buku ini telah
berhasil menjelaskan secara sistematis bagaimana ide khilafah mampu
mendorong para ulama atau intelektual dan aktivis Islam. Oleh karena
itu, menurut dia, “umat harus memastikan untuk membaca buku yang sangat mencerahkan dan instruktif ini… “
SubhanalLah
wa astaghfirulLah… SubhanalLah atas keberhasilan Reza menuliskan buku
tentang Khilafah dan usaha untuk menegakannya kembali dengan sangat
bagus. Dengan telaahan sekelas disertasi dari sebuah perguruan tinggi
terkemuka di Inggris, tak pelak akan membuat buku ini menjadi rujukan
penting tentang Khilafah.
AstaghfirulLah
untuk anak-anak muda, juga tokoh umat Islam di Indonesia, yang meski
sudah demikian gamblang dijelaskan dalam berbagai buku—termasuk dari
disertasi Ph.D Reza Pankrust—masih saja meragukan sistem Khilafah dan
perjuangannya. Apalagi ada segelintir anak-anak muda Islam, juga tokoh
umat, yang baru diajak berkunjung sesaat ke negara-negara Barat sudah
luntur ghirah Islamnya. Sebaliknya, Reza dan ribuan anak-anak muda Islam
yang lahir dan besar di negara Barat justru saat ini tengah bergiat
untuk menegakkan kembali izzul Islam wal Muslimin melalui Khilafah
Islam. Mereka tahu persis bahwa gemerlap dunia Barat (kalau boleh
disebut begitu), yang sering mengecoh sebagian umat Islam di Indonesia,
hanyalah sisi fisikal belaka. Di balik itu semua sesungguhnya terkandung
sebuah basis peradaban material yang sangat rapuh, yang akan membawa
kerusakan bagi siapa saja. Oleh karena itu, bagi Reza dan ribuan
anak-anak muda Islam di Barat khususnya, masa depan kemuliaan peradaban
manusia terletak hanya pada Islam, dengan syariahnya di bawah naungan
Khilafah. Bagi mereka, tegaknya kembali Khilafah adalah sebuah kepastian
yang tak terelakkan; persis seperti judul bukunya The Inevitable
Caliphate…[]
THE INEVITABLE CALIPHATE