Selasa, Juli 03, 2012

Indonesia dalam Lingkaran Corporate State

 Apapun akan dilakukan jika itu demi kekuasaan. Itulah sikap Nasional Demokrat (NasDem) yang akan membiayai calon legislatfnya (caleg) berkisar Rp 5-10 miliar. Angka yang cukup fantastis dalam dunia perpolitikan yang sarat akan kepentingan dan uang. Modal politik dalam demokrasi sangatlah mahal. Biaya— kampanye, cetak brosur, iklan di media massa, tim sukses, pengerahan massa, dll— merupakan gambaran nyata politik demokrasi. Memang segalanya butuh uang, tapi uang bukanlah segalanya. Ketika uang dijadikan tujuan meraih kekuasaan hasilnya miskin perjuangan untuk rakyat.
Pembiayaan caleg NasDem berasal dari inisiatif Surya Paloh. "Berkaitan dengan gagasan untuk mensupport pembiayaan caleg oleh Partai Nasdem, sesungguhnya hal ini berkembang dari gagasan seorang Surya Paloh yang melontarkan kehendak untuk terbebasnya proses politik dari pola transaksional, khususnya dalam hal rekrutmen," kata Ketua Bapilu Partai Nasdem, Ferry Mursyidan Baldan, kepada detikcom, Selasa (12/6/2012).[1]

Apa yang disampaikan Surya Paloh berbeda ketika awal kehadiran NasDem di Jawa Barat. Surya Paloh ketika itu melantik pengurus di Jawa Barat. Seperti diketahui, kata Paloh, Nasdem belum memiliki banyak donatur, belum bisa melakukan iuran organisasi sehingga tidak banyak biaya yang tersedia untuk jalankan organisasi ini.[2]

Sejatinya sikap politik para politisi Indonesia senantiasa berubah-ubah. Ciri politik ini melekat di banyak politisi. Mengingat politik penuh intrik dan kompromistis jika yang dipahami hanya untuk mencari uang dan jabatan. Terkadang menjadi kawan dan terkadang menjadi lawan. Hal ini sudah jamak adanya. Apalagi NasDem yang ingin menunjukkan citra diri. NasDem dalam pemilu 2014 begitu digadang-gadang membawa restorasi baru untuk Indonesia. Sambutan hangat masyarakat terlihat jelas dalam survey yang dilakukan SSS (Soegeng Sarjadi Syndicate) menunjukkan elektabilitas NasDem 4,8 persen (Juni 2012); sementara temuan LSI (Lingkar Survei Indonesia) 5,9 persen (Maret 2012).

Kalaupun upaya NasDem dengan memberikan bantuan dana untuk mengurangi korupsi anggota legislatif. Perlu dipertanyakan pula motif dibalik itu apa? Apakah motif pencitraan ? Ataukah motif untuk mendulang dukungan tahun 2014 ? Selama ini pun anggota legislatif di DPR mendapat citra buruk sebagai lembaga terkorup. Penilaian ini berdasar survey yang dilakukan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) terhadap 2.192 responden yang tersebar di 33 provinsi.
Responden, lanjutnya, juga meyakini anggota DPR sekarang hanya sekedar mencari nafkah. Sebanyak 1.367 responden atau 62,4 persen mengatakan hal tersebut. Sementara 21,3 persen lainnya menilai DPR hanya menjalankan tugas sebagai wakil rakyat. Sisanya menyatakan tidak tahu (15,6%) dan tidak menjawab (0,8%). Sebagian masyarakat juga tidak mengetahui mengenai produk baru DPR yakni Badan Anggaran. Responden mengatakan, tidak tahu kalau Banggar DPR boleh ikut campur dalam pengalokasian anggaran untuk proyek dalam APBN. Sebanyak 883 responden atau 40,3 persen menyatakan tidak tahu mengenai hal tersebut. Sedangkan yang menyatakan Banggar boleh ikut campur sebanyak 673 responden atau 30,7 persen. Menurut Dahlan, banyaknya kasus suap dan korupsi yang terjadi saat ini membuat responden menyatakan bahwa kasus korupsi dan suap merupakan masalah yang paling mendesak untuk diselesaikan, yakni 1.044 responden atau 47,6 persen..

0 komentar: