Apapun akan dilakukan jika itu demi kekuasaan. Itulah sikap Nasional
Demokrat (NasDem) yang akan membiayai calon legislatfnya (caleg)
berkisar Rp 5-10 miliar. Angka yang cukup fantastis dalam dunia
perpolitikan yang sarat akan kepentingan dan uang. Modal politik dalam
demokrasi sangatlah mahal. Biaya— kampanye, cetak brosur, iklan di media
massa, tim sukses, pengerahan massa, dll— merupakan gambaran nyata
politik demokrasi. Memang segalanya butuh uang, tapi uang bukanlah
segalanya. Ketika uang dijadikan tujuan meraih kekuasaan hasilnya miskin
perjuangan untuk rakyat.
Pembiayaan caleg NasDem berasal dari inisiatif Surya Paloh. "Berkaitan dengan gagasan untuk mensupport
pembiayaan caleg oleh Partai Nasdem, sesungguhnya hal ini berkembang
dari gagasan seorang Surya Paloh yang melontarkan kehendak untuk
terbebasnya proses politik dari pola transaksional, khususnya dalam hal
rekrutmen," kata Ketua Bapilu Partai Nasdem, Ferry Mursyidan Baldan,
kepada detikcom, Selasa (12/6/2012).[1]
Apa yang disampaikan Surya Paloh berbeda ketika awal kehadiran NasDem di Jawa Barat. Surya Paloh ketika itu melantik pengurus di Jawa Barat. Seperti diketahui, kata Paloh, Nasdem belum memiliki banyak donatur, belum bisa melakukan iuran organisasi sehingga tidak banyak biaya yang tersedia untuk jalankan organisasi ini.[2]
Sejatinya sikap politik para politisi Indonesia senantiasa berubah-ubah. Ciri politik ini melekat di banyak politisi. Mengingat politik penuh intrik dan kompromistis jika yang dipahami hanya untuk mencari uang dan jabatan. Terkadang menjadi kawan dan terkadang menjadi lawan. Hal ini sudah jamak adanya. Apalagi NasDem yang ingin menunjukkan citra diri. NasDem dalam pemilu 2014 begitu digadang-gadang membawa restorasi baru untuk Indonesia. Sambutan hangat masyarakat terlihat jelas dalam survey yang dilakukan SSS (Soegeng Sarjadi Syndicate) menunjukkan elektabilitas NasDem 4,8 persen (Juni 2012); sementara temuan LSI (Lingkar Survei Indonesia) 5,9 persen (Maret 2012).
Kalaupun upaya NasDem dengan memberikan bantuan dana untuk mengurangi korupsi anggota legislatif. Perlu dipertanyakan pula motif dibalik itu apa? Apakah motif pencitraan ? Ataukah motif untuk mendulang dukungan tahun 2014 ? Selama ini pun anggota legislatif di DPR mendapat citra buruk sebagai lembaga terkorup. Penilaian ini berdasar survey yang dilakukan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) terhadap 2.192 responden yang tersebar di 33 provinsi.
Apa yang disampaikan Surya Paloh berbeda ketika awal kehadiran NasDem di Jawa Barat. Surya Paloh ketika itu melantik pengurus di Jawa Barat. Seperti diketahui, kata Paloh, Nasdem belum memiliki banyak donatur, belum bisa melakukan iuran organisasi sehingga tidak banyak biaya yang tersedia untuk jalankan organisasi ini.[2]
Sejatinya sikap politik para politisi Indonesia senantiasa berubah-ubah. Ciri politik ini melekat di banyak politisi. Mengingat politik penuh intrik dan kompromistis jika yang dipahami hanya untuk mencari uang dan jabatan. Terkadang menjadi kawan dan terkadang menjadi lawan. Hal ini sudah jamak adanya. Apalagi NasDem yang ingin menunjukkan citra diri. NasDem dalam pemilu 2014 begitu digadang-gadang membawa restorasi baru untuk Indonesia. Sambutan hangat masyarakat terlihat jelas dalam survey yang dilakukan SSS (Soegeng Sarjadi Syndicate) menunjukkan elektabilitas NasDem 4,8 persen (Juni 2012); sementara temuan LSI (Lingkar Survei Indonesia) 5,9 persen (Maret 2012).
Kalaupun upaya NasDem dengan memberikan bantuan dana untuk mengurangi korupsi anggota legislatif. Perlu dipertanyakan pula motif dibalik itu apa? Apakah motif pencitraan ? Ataukah motif untuk mendulang dukungan tahun 2014 ? Selama ini pun anggota legislatif di DPR mendapat citra buruk sebagai lembaga terkorup. Penilaian ini berdasar survey yang dilakukan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) terhadap 2.192 responden yang tersebar di 33 provinsi.
Responden, lanjutnya, juga meyakini anggota DPR sekarang hanya
sekedar mencari nafkah. Sebanyak 1.367 responden atau 62,4 persen
mengatakan hal tersebut. Sementara 21,3 persen lainnya menilai DPR hanya
menjalankan tugas sebagai wakil rakyat. Sisanya menyatakan tidak tahu
(15,6%) dan tidak menjawab (0,8%). Sebagian masyarakat juga tidak
mengetahui mengenai produk baru DPR yakni Badan Anggaran. Responden
mengatakan, tidak tahu kalau Banggar DPR boleh ikut campur dalam
pengalokasian anggaran untuk proyek dalam APBN. Sebanyak 883 responden
atau 40,3 persen menyatakan tidak tahu mengenai hal tersebut. Sedangkan
yang menyatakan Banggar boleh ikut campur sebanyak 673 responden atau
30,7 persen. Menurut Dahlan, banyaknya kasus suap dan korupsi yang
terjadi saat ini membuat responden menyatakan bahwa kasus korupsi dan
suap merupakan masalah yang paling mendesak untuk diselesaikan, yakni
1.044 responden atau 47,6 persen..
Indonesia dalam Lingkaran Corporate State