Bukan hanya kali ini kapitalisme mengalami guncangan. Berkali-kali
sistem ekonomi ini terseok-seok. Dengan tambal sulam, yang berarti
melepaskan diri dari prinsip dasar, kapitalisme terselamatkan untuk
sementara. Namun akankah krisis kali ini akan bisa diatasi?
Banyak pakar ekonomi berpendapat, krisis kapitalisme saat ini
melebihi krisis yang pernah terjadi sebelumnya. Bahkan jauh lebih
dahsyat dibandingkan dengan great depression, Oktober 1929, yang juga dimulai di Wall Street.
Krisis ini bukan disebabkan faktor luar tapi faktor dalam yakni kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme, Sistem Cacat yang Sekarat
Bukan hanya kali ini kapitalisme mengalami guncangan. Berkali-kali
sistem ekonomi ini terseok-seok. Dengan tambal sulam, yang berarti
melepaskan diri dari prinsip dasar, kapitalisme terselamatkan untuk
sementara. Namun akankah krisis kali ini akan bisa diatasi?
Banyak pakar ekonomi berpendapat, krisis kapitalisme saat ini
melebihi krisis yang pernah terjadi sebelumnya. Bahkan jauh lebih
dahsyat dibandingkan dengan great depression, Oktober 1929, yang juga dimulai di Wall Street.
Krisis ini bukan disebabkan faktor luar tapi faktor dalam yakni
kapitalisme itu sendiri. Dr Mohammad Malkawi, penulis buku berjudul: The Fall of Capitalism and Rise of Islam, menjelaskan, adanya
cacat serius dalam sistem kapitalisme dan ketidakmampuannya untuk
mempertahankan stabilitas ekonomi dunia di bawah kapitalisme.
Sistem ini sangat rapuh. Bahkan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) M Ismail Yusanto menyebut sistem ekonomi kapitalis ini bersifat self-destructive (menghancurkan diri sendiri).
Paling tidak ada tiga pilar utama sistem ekonomi kapitalis ini. Yakni
(1) riba yang diwujudkan dalam perbankan (baik bank komersial yang
memberikan kredit, maupun bank investasi/lembaga sekuritas yang membeli
surat utang (umumnya melalui pasar modal); (2) judi yang mewujud dalam
bursa saham dan pasar uang; (3) sistem uang kertas yang standarnya
dolar.
Sistem ribawi ini menyebabkan uang yang beredar di sektor riil
(produksi) jauh lebih kecil dibandingkan dengan di sektor non riil. Ini
karena perbankan harus bisa memutar uang yang ada demi memberikan bunga
kepada nasabahnya. Tentu uang itu tidak diputar di sektor riil seperti
pemberian kredit tapi di sektor lain seperti pasar uang dan surat utang.
Makanya, begitu gejolak terjadi dampaknya akan sangat dahsyat karena
tidak bertumpu pada ekonomi riil. Inilah yang disebut bubble economy (ekonomi balon).
Sistem ribawi ini juga menyebabkan harta hanya beredar di kalangan
orang kaya saja. Orang miskin tidak dapat menikmati dana banyak yang
ada di perbankan karena tidak punya agunan. Orang kaya akan mudah
mendapatkan kucuran dana. Nah, dana yang mereka peroleh dapat dijadikan
mesin uang lagi dengan diinvestasikan di sektor non riil misalnya dengan
mencari bunga lagi yang lebih besar. Jika terjadi sesuatu, uang itu
bisa habis tanpa sisa karena memang tidak ada yang riilnya.
Sistem ini meniscayakan uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar
semata tapi sudah berubah menjadi komoditas yang diperdagangkan misalnya
dalam bursa valuta asing dan dalam bursa saham. Dari uang bisa ditarik
keuntungan (interest) alias bunga/riba dari setiap transaksi peminjaman
atau penyimpanan. Bursa-bursa itu penuh spekulasi alias judi.
Ketika bursa saham gonjang-ganjing maka para pemilik saham pun rugi
dan jatuh ‘miskin’. Padahal, mereka adalah pemilik
perusahaan. Akibatnya, banyak perusahaan yang mengalami kredit
macet. Gagal bayar perusahaan mengakibatkan likuiditas bank menurun.
Kinerja bank yang sebelumnya jeblok menjadi semakin hancur. Sedangkan
nilai perusahaan/kekayaan menurun sehingga perusahaan dijual murah atau
mem-PHK karyawannya.
Turunnya harga saham menyebabkan turunnya ekspor dan berkurangnya
arus modal masuk, yang menyebabkan kurs uang melemah. Ini karena mata
uangnya kertas dan standarnya adalah dolar. Siapa yang bisa menghentikan
pencetakan uang ini? Ketika dolar terguncang, sudah pasti semua mata
uang dunia ikut terguncang
Islam sebagai Solusi
Malkawi yang tinggal di Amerika ini menegaskan, keruntuhan
kapitalisme pasti akan terjadi. Sebagai gantinya adalah sistem Islam.
Menurutnya, Islam memiliki ide-ide dan pemikiran yang dirumuskan dengan
baik dan sistem yang terstruktur. Selain itu, Islam memiliki catatan
sejarah penerapan lebih dari 1300 tahun yang menunjukkan bahwa Islam
mampu menghasilkan sistem produktif yang dapat mengatasi dan
menyelesaikan masalah-masalah manusia yang paling dasar seperti makanan,
keamanan, kesehatan, pendidikan dan stabilitas. ”Masalah satu-satunya
pada hari ini hanyalah bahwa Islam tidak diterapkan dalam kerangka
negara dan masyarakat,” katanya.
Dalam Islam, uang dikembalikan kepada fungsinya sebagai alat tukar
saja. Mata uang dibuat dengan basis emas dan perak (dinar dan dirham di
mana 1 dinar emas syar’i beratnya 4,25 gram emas dan 1 dirham perak
syar’i beratnya 2,975 gram perak). Mata uang ini akan stabil, bebas
guncangan.
Sedangkan ekonomi digerakkan hanya oleh sektor riil saja. Tidak akan
ada sektor non riil—dalam arti orang berusaha menarik keuntungan dari
mengkomoditaskan uang dalam pasar uang, bank, pasar modal dan
sebagainya.
Dalam sistem seperti ini, uang yang beredar pasti hanya akan bertemu
dengan barang dan jasa — bukan dengan sesama uang seperti yang terjadi
pada transaksi perbankan atau pasar modal dalam sistem kapitalis.
Semakin banyak uang beredar, semakin banyak pula barang dan jasa yang
diproduksi dan diserap pasar. Akibatnya pertumbuhan ekonomi akan terus
meningkat sehingga lapangan pekerjaan terbuka, pengangguran bisa
ditekan, kesejahteraan masyarakat meningkat. Semua pertumbuhan itu
berlangsung secara mantap (steady growth), tanpa ada kekhawatiran terjadi kolaps.
Persoalannya tinggal menunggu negara yang menerapkannya. Tentu
negaranya bukan negara kapitalis atau sosialis, tapi negara Islam.
Itulah Daulah Khilafah Islamiyah.
Kapitalisme, Sistem Cacat yang Sekarat