Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa manusia Indonesia ini rata-rata memiliki tinggi dan
berat badan yang kurang dibanding orang Eropa. Dan konon, hal ini karena
mereka kurang mengonsumsi protein, seperti yang ada pada kedelai (tahu/tempe),
susu, telur, ikan, daging ayam atau sapi. Konon hal ini juga karena
selain pada telur, ikan dan daging ayam, produksi nasionalnya semua kurang
sehingga harus diimpor. Tahu dan tempe yang menjadi makanan rakyat,
harganya pernah melambung karena impor kedelai mengalami masalah. Apalagi
sapi, yang masalah impornya sampai membuat seorang tokoh Islam “terpeleset”
sehingga kini harus “nyantri” di KPK.
Memang soal produksi daging
sapi di dalam negeri ini banyak persoalan teknis yang sistemis, mulai dari
kultur peternakan yang sangat berbeda, yang tidak cocok untuk industri
daging secara massal. Hampir 99 persen ternak sapi di Indonesia ada di
jutaan peternak kecil, yang tersebar di desa-desa di segala penjuru, yang
masing-masing hanya memiliki 1 sampai 3 ekor sapi, dengan bibit dan pakan yang
seadanya, dan akan menjualnya atau hanya akan menjualnya pada saat perayaan
keagamaan atau kalau ada kebutuhan uang yang tinggi, sekalipun beratnya belum
optimal. Kita tidak memiliki peternakan besar dengan ratusan ribu sapi
seperti di Australia. Kita juga belum memiliki sistem transportasi sapi
yang efisien dan didampingi dokter hewan, sehingga sapi-sapi itu sampai dengan
sehat ke tujuan dengan biaya rendah.
Walhasil, impor sapi dari
Australia masih jauh lebih murah daripada membawa sapi dari Nusa Tenggara ke
Jakarta, tempat mayoritas konsumen sapi berada. Karena itu, sangat bisa
dimengerti, bahwa para importir akan mencoba segala cara agar mendapat quota
impor dari Kementerian Perdagangan atau Perindustrian, setelah sebelumnya mendapat
rekomendasi dari Kementerian Pertanian.
Tetapi kembali ke soal tinggi
dan berat badan, tentu saja sumber protein tidak hanya daging sapi.
Barangkali kalau telur, ikan dan ayam – atau juga bebek – dimasukkan, bangsa
kita tidak kekurangan protein. Tinggal soal distribusi saja. Namun
apakah persoalannya produksi atau distribusi, faktanya postur tubuh kita hari
ini kurang ideal. Padahal di abad pertengahan, postur tubuh rata-rata
kaum Muslimin lebih tinggi dan kekar dari rata-rata orang-orang kafir di Eropa?
Ketika tahun 711 pasukan
Thariq bin Ziyad mendarat di Spanyol dan mengawali 781 tahun (711-1492)
kekuasaan Islam di sana, mereka tidak hanya membawa visi hidup yang baru,
tetapi juga banyak teknologi yang baru, antara lain di bidang pertanian.
Pertanian itu menentukan makanan yang menjaga kesehatan kaum Muslimin dan juga
logistik untuk sarana jihadnya, yaitu kuda.
Posisi logistik dalam setiap
ekspedisi jihad adalah vital. Kemenangan perang di manapun sering
ditentukan bukan oleh senjata atau kehebatan tempur pasukan, tetapi oleh
logistik yang sudah direncanakan ditaruh di tempat yang tepat pada saat yang
tepat. Dalam perang modern, sebuah pesawat tempur yang canggih tidak ada
artinya tanpa bahan bakar. Demikian juga, sebuah kapal induk bertenaga
nuklir, tak ada artinya bila awaknya kelaparan.
Pada masa Thariq bin Ziyad,
logistik yang menentukan adalah makanan prajurit dan pakan kuda! Jadi
pada setiap pergerakan pasukan, harus ada rumput bergizi tinggi yang bisa
ditanam atau disediakan dengan cepat.
Karena jihad menjangkau daerah
yang luas dengan waktu yang lama – dapat puluhan tahun – maka logistik berupa
rumput ini juga harus bisa dihasilkan di daerah-daerah yang strategis yang
sudah dikuasai oleh pasukan Islam. Rumput yang ditanam pun bukan sembarang rumput,
bila yang ditanam rumput yang biasa-biasa – maka akan dibutuhkan areal yang
sangat luas atau waktu yang sangat lama untuk menanamnya dan kuda perang pun
tidak bisa tumbuh perkasa.
Maka bagian logistik dari
pasukan Islam saat itu sudah mengenal rerumputan bergizi tinggi yang sangat
efektif untuk menumbuhkan kuda, tanaman bergizi tinggi inilah yang disebut alfalfa. Karena penguasaan Islam yang lama khususnya
di Spanyol, teknologi menanam alfalfa ini juga lalu menular ke bangsa Spanyol.
Ketika 800 tahun kemudian
panglima perang Spanyol Hernando Cortez menaklukkan bangsa Aztecs di Mexico,
bukan hanya strategi membakar kapalnya yang ia jiplak dari Thariq bin Ziyad –
tetapi juga membangun logistik pasukan berkudanya dengan tanaman yang sama
dengan yang diperkenalkan peradaban Islam di Spanyol selama 781 tahun!
Dari alfalfa yang dibawa ke benua Amerika inilah kini Amerika Serikat sangat
dominan di bidang “nutritious plants” hingga kini. Dan mereka adalah
pengekspor daging terbesar di dunia.
Dari mana kita membuktikan
bahwa alfalfa yang merupakan produk pertanian terbesar ke-3 di Amerika setelah
jagung dan kedelai ini berasal dari dunia Islam? Yang termudah adalah dari sisi
bahasa! Karena peradaban Islam yang berkembang hampir 8 abad di Spanyol, maka
banyak sekali kata atau nama-nama yang berasal dari Islam – termasuk
diantaranya ya alfalfa ini. Keith Millier seorang warga Amerika yang
pakar Timur Tengah menulis dalam karyanya “Arabic Words in English” (http://millerworlds.blogspot.com/2010/07/arabic-words-in-english.html)
bahwa alfalfa berasal dari alfisfisa, yang berarti “fresh fodder” atau pakan
segar.
Dalam bahasa Spanyol maupun
dalam bahasa Inggris hingga kini tidak ada kata lain yang searti alfalfa
untuk nama tanaman bergizi tinggi (nutritious plants) yang dibawa dari dunia Islam 14
abad lalu itu. Maka dari nama ini tidak bisa disangkal lagi bahwa kekuatan
produk pertanian terbesar ke 3 di Amerika tersebut bisa dirunut berasal dari
peradaban Islam di masa lampau.
Ironisnya di dunia Islam
sendiri tanaman alfalfa ini kini nyaris tidak pernah terdengar lagi, karena
tidak menjadi perhatian untuk di produksi. Yang sudah ada baru ide
mensinergikan perkebunan sawit dengan peternakan sapi, yang masih harus
dibuktikan hasilnya.
Prof Dr Zagloul Al Najjar -
Fellow of Islamic Academy of Science di Mesir – yang menulis lebih dari 150
mukjizat Alquran dan Implikasinya pada ilmu pengetahuan, menjelaskan dengan
detil rantai makanan yang diungkapkan oleh Allah dalam serangkaian ayat di
surat ‘Abasa mulai dari ayat 24 tersebut diatas sampai ayat 32.
“Hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya, Kamilah yang
mencurahkan air yang melimpah, kemudian kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu
di sana kami tumbuhkan biji-bijian, dan ‘anggur dan sayur-sayuran’, dan zaitun
dan pohon kurma, dan kebun-kebun yang rindang, dan buah-buahan serta
rerumputan, untuk kesenanganmu dan ternakmu”. (QS ‘Abasa: 24-32).
Ketika profesor ini membahas
ayat 28 “wa ‘inaban wa qadhban” misalnya – yang dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan “dan anggur dan sayur-sayuran” - dalam bahasa Inggris
diterjemahkan “and grapes and nutritious plants” – ia menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan nutritious plants adalah tanaman alfalfa – yang memang sangat
kaya dengan gizi.
Kalau kita melihat bahwa
Alquran masih sama, masih pula dihafal oleh banyak orang, tetapi dulu kaum
Muslimin bisa menjadi umat dengan fisik yang kuat serta memiliki pasukan jihad
yang kuat, karena di belakangnya ada teknologi pertanian yang kuat, maka apa
yang hilang sehingga sekarang keunggulan kita di bidang ini tiada?
Salah satu jawabannya, karena
kita sekarang tidak memiliki lagi negara yang mendorong kita menjadi umat yang
unggul, tak ada lagi misi jihad untuk merahmati seluruh alam, tidak ada lagi
yang membutuhkan teknologi logistik di belakangnya, sehingga juga tidak ada
lagi anak-anak cerdas kaum muslimin yang mencurahkan waktu dan pikiran untuk
mempelajarinya.
Dan karena anak-anak cerdas
Muslim ini langka, kita kembali masuk ke dalam lingkaran setan, nyaris
kehilangan akal untuk meningkatkan produksi protein, sehingga anak-anak umat
kehilangan kesempatan untuk meraih gizi tinggi, dan menjadi cerdas untuk
menjadikan umatnya kuat dan disegani. Kita malah terus dibodohi oleh
negara-negara kafir untuk menjadi pasar sapi mereka, sekalipun para peneliti
ternak kita konon banyak meraih prestasi riset di bidang sapi, tetapi para
politisi kita justru ikut-ikutan “dagang sapi”, dan sebagian BUMN kita cuma
dijadikan “sapi perah” sampai mati.
Makanan Bergizi untuk Umat yang Kuat dan Disegani