Rabu, Desember 28, 2011

IDEOLOGI PENGEMBANGAN PENGETAHUAN

Oleh: Muh. Didi Haryono

Sebelum dijelaskan lebih dalam tentang pengembangan pengetahuan terlebih dahulu kita pahami tentang ideologi. Ideologi berasal dari dua kata yang berbeda yaitu idea dan logos. Idea berarti ide, pokok pemikiran atau pokok persoalan, sedangkan logos berarti ilmu atau pengetahuan. Jadi, ideologi secara umum berarti ilmu tentang ide. Namun, banyak pakar yang menjelaskan tentang definisi tentang ideologi diantaranya: ideologi sebagai pandangan hidup, ideologi sebagai sebuah system yang jelas, dan ideologi sebagai pemikiran yang menyeluruh dan konprehensif. Sehingga, bisa kita simpulkan bahwa ideologi merupakan pemikiran yang menyeuruh melahirkan seluruh system dan aturan.
Pertanyaan kemudian adalah apakah dalam pengembangan pengetahuan memerlukan sebuah ideologi? Jawabannya perlu. Karena jika kita perhatikan definisi di atas maka ideologi perlu untuk dijadikan pandangan atau arah yang jelas dalam mengembangakan pengetahuan. Oleh karena itu, dalam analisis ini penulis mencoba menganalisia tentang ideologi pengembangan pengetahuan.
Ideologi pengembangan pengetahuan sama dengan atau equivalen dengan arah pengembangan pengetahuan dalam memajukan dunia pendidikan Indonesia. Dalam memajukan dunia pendidikan seharusnya tidak ada perbedaan atau dikotomi antara ilmu umum dengan ilmu agama karena terlihat terjadi diskriminasi ilmu pengetahuan (knowledge). Pada hal, hakikatnya ilmu adalah ilmu yang tidak ada perbedaan antara keduanya. Sehingga, untuk memajukan dunia pendidikan seharusnya terintegrasikan antara ilmu pengetahuan dalam hal ini ilmu umum dan ilmu agama agar dengan motivasi atau spirit keagamaan yang tertuang dalam kitab suci mendorong manusia untuk meneliti (research) dalam memajukan dunia pendidikan Indonesia. Jika, kita melihatnya secara historis (sejarah) pada masa ke-Khilafahaan kemajuaan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, ilmu kedokteran, matematika, biologi, fisika, arsitektur, filsafat, ketatanegaraan, geografi, dan sebagainya. Pada perkembangan itu Barat dan Eropa mengakui kemajuan tersebut dan berutang budi kepada islam atas perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu, kemudian pada masa itu Barat menjulukinya dengan “The Golden age” atau masa kejayaan islam. Sosok Ibnu Sina atau Avensena yang dikenal di barat sebagai bapak kedokteran, jika kita baca biografinya, beliau bukan hanya ahli keokteran tetapi beliau juga ahli hadist dan ahli tafsir.
Saat ini dunia pendidikan Indonesia berkembangan dalam memajukan ilmu pengetahun dan teknologi. Tetapi apakah mampu Indonesia menjadi Negara superpower dalam perkembangan dan kemajuan teknologinya? Pertanyaan inilah yang menjadi motivasi dalam menetukan ideologi apa yang yag digunakan dalam mengembangkan pengetahuan indonesia. Dalam mengambil ideologi tentu banyak yang kita perhatikan, memang kemajuan barat saat ini berkembang dengan pesat dan tidak bisa kita pungkiri dengan kemajuannya, namun ada hal-hal yang perlu diperhatikan misalkan pendidikan moral, pendidikan tingkah laku dan aspek lainnya. Misalkan aspek pergaulan bebas yang dilakukan oleh remaja di barat seakan-akan sudah menjadi hal yang biasa dilakukan di negara tersebut, hampir semua remajanya terkena HIV/AIDS. Jikalau renerasi mendatang pergaulannya seperti ini maka masa depan sebuah Negara tinggal tunggu “ajal” kehancurannya. Bukankah pemuda adalah generasi selanjutnya, jika generasi saat ini baik maka generasi masa depan akan baik, sebaliknya jika generasi saat ini buruk, maka generasi akan datang hancur.
Oleh karena itu, pendidikan islam sangat menjunjung tinggi nilai moral, akhlak, dan estetika yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Karena dengan itu generasi masa depan akan senantiasa betah belajar dan saling mrnghargai sesama manusia. Sehingga lebih tepat kalau ideology pengembangan pengetahuan harus kembalikan kepada pendidikan islam.

Senin, Desember 19, 2011

ISLAM DAN IDEOLOGI INDONESIA

Oleh:  M. Didi Haryono*
Islam bukan agama yang memaksa kehendak manusia, islam bukan agama doktrin yang tidak berguna, islam bukan candu dalam kehidupan manusia, islam juga bukan agama yang mendikte dan memaksa non-muslim untuk masuk dalam islam, tetapi islam merupakan agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh yang ada dalam alam semesta). Islam mengajarkan kedamaian, keadilan, keindahan, kerahmatan, dan menghargai sesama manusia untuk hidup bersama sesuai dengan batas aturan yang telah ditentukan dalam agama masing-masing.
Yang lebih penting lagi untuk diketahui bahwa islam merupakan sebuah ideologi (pandangan hidup). Ideologi merupakan cara pandang, pemikiran awal, atau ide dasar dan menyeluruh yang menjadi motivasi kepada seseorang untuk melakukan sebuah perubahan yang revolusioner. Menurut Taqiyuddin An-Nabhani bahwa ideologi merupakan aqidah aqliyah yang memancarkan seluruh peraturan. Oleh karena itu, dikatakan ideologi setidaknya memiliki dua unsur yaitu: ide dasar dan memancarkan seluruh peraturan.
Pertama, ide dasar (aqidah aqliyah), yaitu merupakan sebuah asas yang menjadi sumber aturan dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Kebijakan yang diambil harus benar-benar kebijakan yang adil dan bermartabat agar kemudian rakyat menjadi rakyat yang sejahterah tanpa ada yang miskin sedikitpun.
Kedua, memancarkan seluruh peraturan yang mengatur kehidupan manusia baik pada aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya. Sehingga, dalam pengambilan kebijakan senantiasa tidak bertentangan dengan ide dasar yang menjadi sumber dalam pengambilan kebijakan. Misalkan dalam pembuatan undang-undang, entah itu undang-undang pangan, UU-Mineral, UU-SDA, UU-Pidana, UU-Perdata dan lain sebagainya, harusnya kita mengambil kajiannya dari ide dasar yang menjadi sumber hukum tersebut. Tidak perlu kemudian para pengambil kebijakan melakukan studi banding keluar negeri untuk menyesuaikan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut sementara negara yang yang dikunjungi bukan negara yang menerapkan ideologi yang sama dengan negara kita.
Ideologi sangat penting dalam sebuah negara dalam menjaga keutuhan dan martabat sebuah negara. Apakah negara itu akan menjadi negara super-power atau hanya sekedar negara yang penguasanya adalah penguasa “boneka” yang akan melanggengkan penjajahan? Ataukan ingin menjadi negara yang sering didikte oleh negara lain yang jelas-jelas mengambil ideologi tertentu dalam menentukan martabar negaranya? Tingga kita menetukan sikap apakah kita mau menjadi negara yang mandiri dan martabat ataukan sebaliknya? Untuk menentukan apakah ideologi atau hanya sekedara set of philoshopy (sekumpulan pandangan), setidaknya memiliki tiga kriteria ideologi, yaitu: menerapkan, menjaga dan menyebarluaskan ideologi.
Pertama, menerapkan ideologi. Tentu saja sebuah negara harus menerapkan ideologi agar kebijakan yang dihasilkan suatu negara dalam memakmurkan dan memberikan kesejahteran kepada rakyat.
Kedua, ideologi harus dijaga oleh negara tanpa ada gerakan “bugat” atau pembangkan, perlawanan, dan permusuhan terhadap negara. Sehingga, seharusnya ideologi yang diterapkan adalah aturan yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia dan sesuai dengan tuntutan rakyat.
Ketiga, dalam menyebarluaskan ideologi tujuannya adalah agar ideologi tersebut bisa diemban oleh negara lain dalam mengokohkan eksistensinya dalam menguasai dunia. Itulah tuujuan dasar dalam menyebarluaskan ideologi di negeri-negeri lainnya minimal negara tersebut menjadi negara yang berkerja sama dengan negara yang menyebarluaskan ideologi.
Berdasarkan ketiga kriteria tersebut yang dijadikan indikator penilaian terhadap ideologi yang ada didunia ini, maka hanya ada tiga ideologi yang memenuhi indikator tersebut, yaitu: sosialis-komunis, kapitalisme-liberal, dan islam. Sosialis-komunis adalah ideologi yang diterapkan oleh Unisoviet (Rusia) yang menjadi negara superpower pada masa pemerintahannya dan telah runtuh pada tahun 1990-an, ada beberapa negara yang merapkannya, diantaranya cina, korea utara, kuba, indonesia pada pemerintahan Suekarno, dan negara lainnya. Kapitalisme-liberal yang saat ini yang diterapkan oleh Amerika Serikat dan “konco-konconya” yang melakukan imperialisme di negara-negara yang tidak berdaya dalam menanamkan pengaruh ideologinnya pada negara tersebut dan hampir separuh negara di dunia saat ini mengambil ideologi kapitalisme dan menerapkan di negaranya, sehingga pantas kita katakan bahwa pemimpinya adalah pemimpin boneka yang terus berlindung di bawah ketiak AS sampai di akhir masa kekuasaannya.
Sementara islam telah diterapkan pada selama 13 abad berkuasa mulai Nabi saw berhijrah di Madinah sampai pada masa Khilafah Usmaniyah di Angkara-Turki saat ini yang diruntuhkan oleh Mustafa Kemal Athatur pada  tanggal 3 Maret 1924. Pada masa itu ideologi Islam menjadi ideologi yang diterapkan oleh Khilafah islam dan menjadi negara yang menguasai dunia sehingga dalam penyebarluasan ideologinya dengan dakwah dan jihad. Itulah yang dilakukan oleh Khilafah dalam menyebarluaskan islam agar islam menjadi rahmatan lil alamin. Dan saat ini, tidak ada satupun negara di dunia yang menerapkan islam sebagai ideologi meskipun rakyatnya mayoritas islam. Sehingga, kaum muslimin tidak berdaya melawan imperialisme dan seluruh kekayaan alamnya dikuras habis oleh Asing melalui penguasa bonekanya.
Ideologi Indonesia
Indonesia menerapkan ideologi Pancasila, kata teman saya dalam sebuah dialog. Saya menyatakan jika pancasila adalah ideologi, kita akan uji apakah benar pancasila itu ideologi? Berdasarkan ketiga indikator di atas yang dijadikan patokan maka pancasila bukan ideologi melainkan set of philosphy atau sekumpulan pandangan filosofis tentang ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan dan keadilan yang dijadikan dasar negara. Sehingga pancasila tidak mencukupi untuk mengatur negara ini (not sufficient).
Bisa dibuktikan, sepanjang sejarah kemerdekaan indonesia, pemimpin yang mengambil kendali dan otoritas kebijakan negara justru mengambil sistem ideologi yang berbeda. Misalkan rezim orde lama menggunakan sosialisme, orde baru menggunakan kapitalisme, dan rezim sekarang justru menggunakan neo-liberalisme (kapitalisme-liberal). Padahal ideologi yang digunakan adalah pancasila, tetapi kenapa setiap rezim itu berbeda dalam mengambil ideologinya. Jadi, meski pada tingkat filosofisnya semua mengaku menerapkan pancasila, tetapi sistem yang digunakan ternyata lahir dari ideologi sekularisme baik bercorak sosialis-komunis maupun kapitalisme liberal. Karena pada faktanya yang diberikan pancasila hanya sebatas gagasan atau pandangan filosofis, padahal untuk mengatur negara tidak cukup gagasan  filosofis tetapi juga pengaturan yuridis yang mencakup apa yang dilakukan oleh negara dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh negara.
Jikalau negara kita betul-betul menerapkan pancasila, tentunya banyak sekali peraturan dan kebijakan pemerintah dalam undang-undangnya yang perlu dipertanyakan apakah betul-betul sesuai dengan pancasila atau tidak? Justru jawabanya tidak, misalkan UU Penanaman Modal yang memberikan Asing untuk melakukan Investasi besar-besaran nyaris tannpa hambatan, UU-Migas yang merugikan pertamina, UU-Sumber Daya Air, dan banyak lagi undang-undang yang tidak pro-rakyat akan tetapi semuannya pro-Asing. Hampir semua keayaan alam kita sudah diprivatisasi oleh Asing melalui undang-undang yang dibuat oleh negara. Yang menjadi pertaanyaan besar adalah apakah semua kebijakan tersebut berdasarkan Pancasila????
Inilah yang menjadi renungan bagi bangsa kita dalam menetukkan sikap dalam kemandirian bangsa tanpa ada tekanan dari pihak lain. Karena kita tidak tahu apakah bangsa kita akan bertahan lama dengan sistem dan ideologi yang diterapkan saat ini? Ataukan kita menggantikannya dengan ideologi Islam? Tinggal rakyat sajalah yang akan menentukan sikap untuk mendesak para pengambil kebijakan dan rezim yang memiliki otoritas untuk perubahan sistem bangsa kita agar menjadi bangsa yang bermartabat dan disegani lawan serta menjadi bangsa yang Baldatun Thoibatun wa rabun Ghafur. Wallahu a’lam bi shawab

Senin, Desember 05, 2011

Hijrah Dari Sistem Jahiliah Modern

Al-Islam edisi 583, 2 Desember 2011-6 Muharram 1433 H
Peristiwa hijrah Baginda Nabi saw. dari Makkah ke Madinah adalah momentum penting dalam lintasan sejarah perjuangan Islam dan kaum Muslim. Lewat pintu hijrahlah di antaranya Islam sebagai sebuah ideologi dan sistem bisa ditegakkan dalam intitusi negara ketika itu, yakni Daulah Islamiyah.
Sejak keruntuhan Daulah Islamiyah yang terakhir, yakni Khilafah Utsmaniyah tahun 1924 lalu, kaum Muslim berada dalam kungkungan ideologi dan sistem jahiliah modern. Karenanya perjuangan merealisasi hijrah seperti yang dilakukan Nabi saw dan para sahabat untuk saat ini tentu sangat relevan, bahkan merupakan keniscayaan.
Hijrah Secara Bahasa
Hijrah secara bahasa berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Lisan al-‘Arab, V/250; Al-Qamus Al-Muhith, I/637). Baginda Nabi saw. bersabda:
« الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ »
Muslim itu adalah orang yang menjadikan Muslim yang lain selamat dari lisan dan tangannya. dan al-Muhâjir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa saja yang telah Allah larang (HR al-Bukhari).
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani di dalam kitab Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, hijrah itu ada dua macam: lahiriah dan batiniah. Yang batiniah adalah meninggalkan apa yang diperintahkan oleh hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukan (nafs al-ammârah bi as-sû’) dan setan. Yang lahiriah adalah menghindarkan diri-dengan membawa agama-dari fitnah.
Hadits di atas setidaknya memberikan dua pelajaran penting. Pertama: seseorang dikatakan muslim jika Muslim yang lain selamat dari keburukan lisan dan tangannya. Dari sini tentu layak dipertanyakan kemusliman seorang penguasa, jika yang bersangkutan sering menzalimi rakyatnya dengan berbagai kebijakan yang memberatkan mereka. Begitu pula dengan kemusliman seseorang jika ia berdiam diri dan tidak mau menyelamatkan kaum Muslim dari kungkungan penjajahan asing di berbagai aspek saat ini.
Kedua: hijrah hakikatnya adalah meninggalkan larangan-larangan Allah SWT. Karena itu, tentu sia-sia belaka jika setiap tahun memperingati tahun baru Hijrah, sementara kita tetap merasa nyaman ada di bawah sistem kufur saat ini-sistem Kapitalisme-sekular-yang nyata-nyata diharamkan Allah SWT; dan enggan berusaha berpindah ke dalam naungan sistem Islam yang nyata-nyata telah Allah perintahkan.
Hijrah Secara Syar’i
Secara syar’i, para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Sejak runtuhnya Daulah Islamiyah (Khilafah Utsmaniyah) pada tahun 1924, tak ada satu pun negeri di seluruh dunia yang menerapkan syariah Islam secara total dalam sebuah institusi negara. Artinya, saat ini tak ada yang namanya Darul Islam, termasuk negeri-negeri Islam. Sebab, meski mayoritas penduduknya adalah Muslim, negeri-negeri tersebut tidak menerapkan syariah Islam (kecuali sebagian kecil) dan kekuasaannya pun secara riil tidak di tangan kaum Muslim.
Dalam hal ini umat Islam wajib mewujudkan Darul Islam itu, yakni dalam wujud Daulah Islam atau Khilafah Islam. Hanya dengan mewujudkan kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamlah seluruh syariah Islam bisa ditegakkan. Kewajiban ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim dan dalil-dalilnya adalah jelas berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat. Para ulama dan imam madzhabpun sepakat tentang kewajiban ini. Ibn Hajar al-Asqalani di dalam kitab Fath al-Bâri menyatakan dengan tegas :
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ نَصْبُ خَلِيفَةٍ، وَعَلَى أَنَّ وُجُوبَهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ
“Mereka (para imam madzhab) telah sepakat bahwa wajib (atas kaum muslim) mengangkat Khalifah dan bahwa wajibnya itu berdasarkan syara’ bukan akal ”
Perlu diperhatikan, pengamalan kembali makna hijrah bisa dilaksanakan kalau Darul Islam yakni Khilafah itu terwujud. Jika tidak, umat Islam, sebagaimana saat ini, tentu tak akan pernah dapat lepas dari kungkungan ideologi dan sistem jahiliah modern saat ini. Berupa sistem sistem Kapitalisme-sekular yang justru wajib ditinggalkan.
Masyarakat Pra dan Pasca Hijrah
Masyarakat yang dibentuk oleh Rasulullah saw. pasca hijrah benar-benar berbeda sama sekali dengan masyarakat jahiliyah pra hijrah. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari beberapa aspek:
Dari aspek akidah, masyarakat jahiliyah pra hijrah penuh dengan kemusyrikan, terutama penyembahan terhadap berhala. Sementara masyarakat Islam pasca hijrah dibangun diatas asas akidah Islam. Akidah Islam menjadi satu-satunya asas negara dan masyarakat. Karena itu, meski saat itu terdapat kaum Yahudi dan Nasrani, aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan adalah aturan (syariah) Islam.
Dari aspek sosial, masyarakat jahiliyah pra hijrah identik dengan kebobrokan prilaku yang luar biasa. Mabuk, pelacuran dan kekejaman menyeruak di mana-mana. Anak-anak perempuan yang baru lahir pun biasa dibenamkan hidup-hidup ke dalam tanah. Sementara masyarakat Islam pasca hijrah penuh dengan kedamaian dan ketenteraman serta jauh dari berbagai ragam kemaksiatan. Perjudian diperangi. Perzinaan diberantas. Segala bentuk kemaksiatan dan kriminalitas dibabat habis melalui penegakkan hukum Islam yang tegas.
Dari aspek ekonomi, riba, manipulasi, kecurangan dalam timbangan dan takaran, eksploitasi ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah, konsentrasi kekayaan pada segelintir orang, dsb, kental mewarnai ekonomi masyarakat jahiliyah. Sementara di masyarakat Islam pasca hijrah, ekonomi berbasis riba benar-benar dihapus. Penipuan dan berbagai kecurangan diberantas. Negara bertanggung jawab menjaga pendistribusian kekayaan atau harta agar tidak dimiliki oleh segelintir orang saja. Sebaliknya, seseorang bisa memperolah harta dengan seluas-luasnya asal dibolehkan oleh syariah Islam.
Dari aspek politik, secara politis bangsa Arab jahiliyah pra hijrah bukanlah bangsa yang istimewa. Dua negara adidaya saat itu, Persia dan Byzantium, sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan. Sementara pasca hijrah, Islam dan kaum Muslim benar-benar mulai diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Daulah Islamiyah yang dibangun Baginda Nabi saw. benar-benar disegani, bahkan ditakuti oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim. Bahkan sejarah telah membuktikan, pada akhirnya dua negara adidaya saat itu, Persia dan Byzantium, dapat ditaklukan oleh Daulah Islamiyah melalui jihad fi sabilillah. Dengan jihad yang dilancarkan oleh Daulah Islamiyah itulah hidayah Islam makin tersebar dan kekuasan Islam makin meluas.
Refleksi Hijrah Saat Ini
Sebagian ulama menyebut kondisi sekarang sebagai “Jahiliah Modern”. Kondisi akidah/ideologi, sosial, ekonomi dan politik saat ini-yang berada dalam kungkungan ideologi Kapitalisme-sekular-sesungguhnya mirip dengan kondisi sebelum Rasulullah hijrah. Dari sisi akidah, berbagai kemusyrikan dan ragam aliran sesat terus bermunculan. Dari sisi sosial, kebejatan prilaku (maraknya perzinaan, pornografi-pornoaksi, dll), tindakan kriminal (pencurian, perampokan, korupsi, pembunuhan, perjudian, narkoba, dll) terus menyeruak. Dari sisi ekonomi, riba masih menjadi basis kegiatan ekonomi. Bahkan dalam hal riba, negara adalah pelaku utamanya dengan terus menumpuk utang luar negeri berbunga tinggi. Tahun 2011 ini saja bunga utang yang harus dibayar Pemerintah adalah Rp 166 Triliun. Bandingkan dengan anggaran Jamkesmas tahun 2011 untuk puluhan juta rakyat miskin yang hanya senilai Rp 6,4 Triliun. Di bidang politik, negeri-negeri kaum Muslim, termasuk negeri ini, juga tidak pernah diperhitungkan oleh negara-negara lain; kecuali sebagai obyek penjajahan. Sumberdaya alam kita menjadi jarahan bangsa-bangsa asing. Di Indonesia, PT Freeport di bumi Papua yang menjarah jutaan ton emas hanyalah salah satu contohnya saja.
Karena itu, sesungguhnya saat ini kaum Muslim, bahkan dunia, memerlukan tatanan baru. Tatanan yang dibangun berdasarkan ideologi dan sistem Islam. Saat ini kita semua perlu membentuk kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islam, yang akan mampu mewujudkan kembali masyarakat Islam. Seperti masyarakat yang dibangun Baginda Nabi saw. pasca hijrah. Khilafah pula yang akan mengantarkan umat ini meraih kembali kemuliaan dan kejayaannya, sebagaimana pada masa lalu. Khilafah pula yang akan menjadikan dunia ini bisa hidup dalam keamanan, kedamaian, kemakmuran, keadilan, kesejahteraan dan keberkahan.
Khilafah Islamlah yang akan menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan sekaligus menyebarluaskan hidayah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Alhasil, marilah kita segera berhijrah: dari sistem jahiliah modern saat ini ke sistem Islam. Caranya adalah dengan menegakkan kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islam. Hanya dengan itulah makna hijrah secara hakiki bisa kita amalkan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (QS al-Anfal [8]: 24)
Wallahu a’lam. []